Padang, Padangkita.com - Etnis Tionghoa telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Kota Padang. Mereka telah melewati perjalanan sejarah panjang, sepanjang perjalanan sejarah Kota Padang sendiri.
Belum ada kepastian mengenai kapan persisnya etnis Tionghoa datang ke Padang. Namun, setidaknya sejak abad ke-17, sudah terdapat permukiman etnis Tionghoa di pantai barat Sumatra, termasuk Padang.
Menurut dosen Universitas Negeri Padang (UNP) Erniwati, yang fokus menekuni sejarah etnis Tionghoa di Sumatra Barat (Sumbar), etnis Tionghoa telah menetap setidaknya sejak delapan generasi di Kota Padang.
"Pada abad ke-17, orang Tionghoa sudah membuat perkampungan di pantai barat Sumatra, seperti Tiku di Pariaman, Padang, dan Painan di Pesisir Selatan. Bahkan mereka ada yang tinggal di daerah pedalaman seperti Payakumbuh," ujar Erniwati ketika berbincang dengan Padangkita.com, Kamis (11/2/2021).
Penulis buku Asap Hio di Ranah Minang itu mengatakan, kedatangan orang Tionghoa di Padang tidak lepas dari motif ekonomi. Pada masa lampau, Padang merupakan kawasan yang ramai dengan aktivitas perdagangan. Hal ini mengundang banyak orang dari berbagai daerah untuk datang.
Di Padang, etnis Tionghoa terlibat secara aktif dalam kegiatan perdagangan. Mereka melakukan kontak dagang dengan penduduk Minangkabau hingga terjalin kerja sama. Walaupun sama-sama memiliki keahlian berdagang, orang Tionghoa dan Minang punya hubungan yang saling mengisi.
"Orang Minang lebih banyak berdagang secara ritel, walaupun ada yang meningkat menjadi grosir, tetapi mereka masih sebatas distributor atau penyambung dari eksportir. Adapun eksportir pada umumnya dipegang oleh orang Tionghoa karena mereka memiliki jaringan dagang yang terbina baik secara klan maupun dari kemampuan mereka membina jaringan secara internasional," terangnya.
Dengan dukungan modal serta jaringan yang mereka punya, para pedagang Tionghoa mampu menguasai perdagangan barang impor di Padang.
Asimilisi Tionghoa di Kota Padang
Pada abad ke-19, Padang telah menjelma menjadi kota yang majemuk. Penduduknya terdiri dari berbagai etnis, yakni Minang, Tionghoa, Nias, Tamil, dan Jawa.
Permukiman etnis Tionghoa terkonsentrasi di kawasan yang kini dikenal sebagai Kampung Pondok. Selain faktor kecenderungan manusia yang ingin hidup secara berkelompok, pengelompokan ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintahan kolonial Belanda.
"Belanda mengeluarkan kebijakan yang dikenal sebagai wijkenstelsel, yang intinya membatasi kawasan permukiman bagi etnis Tionghoa," ungkap Erniwati.
Hubungan etnis Tionghoa dengan etnis lainnya di Padang relatif aman dari konflik. Bahkan, mereka telah mengalami proses asimilasi dengan masyarakat Minangkabau, yang merupakan etnis mayoritas di Padang.
Asimilasi ini dapat dilihat dari digunakannya bahasa Minangkabau oleh orang Tionghoa sebagai bahasa sehari-hari. Mereka menuturkan bahasa Minang, tetapi bercampur dengan bahasa Indonesia.
"Orang Tionghoa Padang itu unik, mereka lebih Padang lagi daripada orang Padang. Bahasanya sangat medok dengan Minangnya, tapi kalau mereka sudah keluar dari Padang, mereka minder dengan sesama orang Tionghoa karena tidak bisa berbahasa Mandarin," terang Erniwati.
Bahasa yang dipertuturkan etnis Tionghoa di Pondok dikenal sebagai Bahasa Minang Pondok. Penggunaan bahasa ini membuat mereka tampak berbaur dengan masyarakat Minangkabau.
Selain bahasa, asimilasi etnis Tionghoa dengan etnis Minang dapat dilihat dari digabungkannya pola kekerabatan patrilineal dan matrilineal oleh mereka.
"Sebetulnya pola kekerabatan orang Tionghoa kan patrilineal. Namun, dalam beberapa catatan Belanda pada abad ke-19, sekitar tahun 1885, ada sebuah laporan perjalanan yang mengatakan bahwa orang Tionghoa sudah mulai menggabungkan patrilineal dengan matrilineal.”
“Tionghoa di Padang memang patrilineal dalam sistem adat, tapi mereka memberi perhatian cukup besar terhadap anak perempuan mereka, berbeda dengan Tionghoa di daerah lain yang sangat patrilineal sekali,” ulas Erniwati.
Erniwati mengatakan, relasi yang terbangun antara orang Minang dan Tionghoa sejak berabad silam membuat hubungan antar-etnis ini berlangsung harmonis. Hal tersebut dibuktikan ketika terjadinya kericuhan Mei 1998.
Saat orang Tionghoa di banyak tempat di Indonesia mengalami perlakukan yang tidak baik, tidak pernah dilaporkan adanya tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasaran di Padang.
"Di Padang, peristiwa demonstrasi mahasiswa terhadap pemerintah yang berujung kericuhan juga terjadi. Boleh dikatakan korbannya hanya satu orang (dari Tionghoa), dan itu bukan karena kebencian terhadap etnis, tetapi salah sasaran. Sasarannya adalah oknum agen togel. Itu yang dicari, ternyata salah sasaran, yang kena adalah pastor. Rumah pastor yang terbakar. Korbannya di situ," terang Erniwati.
Walaupun demikian, Erniwati mencatat, sempat ada peristiwa demonstrasi dari sekelompok masyarakat yang menjadikan krematorium etnis Tionghoa sebagai persoalan.
"Kalau saya melihat, itu bukan suatu hal yang prinsip, karena krematorium itu tidak mengganggu. Kalau dia mengganggu (merusak lingkungan) tentu pemerintah tak mengeluarkan amdal. Ada beberapa orang yang menilai tidak tepat krematorium diletakkan di tengah kota. Padahal asapnya tidak bau karena menggunakan teknologi canggih dan barangnya sangat mahal. Ketika hati kita tertutup, kita sudah tidak bisa lagi diajak dialog kan?"
Pada masa kini, harmonisasi antara etnis Minang dan Tionghoa terlihat dari ramainya warga yang berwisata kuliner di kampung Pondok.Dalam hal perayaan Imlek, etnis Tionghoa di Padang diberi kebebasan merayakan Imlek, walaupun dalam ruang terbatas, yaitu di sekitar Pondok. Bahkan, Pemerintah Kota Padang belakangan mengangkat atraksi budaya Tionghoa sebagai festival tahunan Kota Padang.
Sejak 2018, perayaan Imlek telah masuk menjadi kelender wisata Kota Padang yang dikemas dalam Festival Multikultural. Pada 2019, diadakan Festival Bakcang Ayam dan Lamang Baluom, yang bertujuan mempromosikan kuliner etnis Tionghoa dan Minang yang memiliki kemiripan, yakni sama-sama berbahan utama ketan.
"Itu yang menarik. Perayaan Imlek disaksikan berbagai etnis dan menjadi hiburan. Itu semua terjadi karena sebuah kolaborasi. Orang Tionghoa Padang punya tokoh masyarakat yang memimpin klan mereka. Itu sangat penting sekali menjadi media komunikasi antar-entis yang tentunya harus dimediasi oleh pemerintah," ujar Erniwati.
Bermukim dan tinggal selama delapan generasi membuat etnis Tionghoa di Padang merasakan kota mereka layaknya kampung halaman.
Pasca-gempa bumi pada September 2009, orang Tionghoa sempat mengalami masa-masa sulit. Situasi itu bahkan mendorong sebagian mereka melakukan eksodus dan mengalihkan usaha mereka ke kota lain di luar Sumatra Barat, seperti Medan dan Pekanbaru. Namun, dikatakan Erniwati, sebagian mereka yang eksodus, kembali lagi ke Padang setelah situasi Padang pulih.
"Tak sampai satu tahun (setelah gempa) mereka kembali lagi ke Padang. Ada sebuah panggilan. Panggilan kampung halaman," bebernya.
Meskipun Padang mengalami situasi yang sangat sulit pasca-gempa, terutama ekonomi, tetapi orang Tionghoa punya mekanisme dan manajemen sendiri dalam mengatasinya.
Mereka punya organisasi etnis, yakni Himpunan Tjinta Teman (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh (HBT). "Dua organisasi ini mengayomi dan membantu mereka dalam upaya pemilihan ekonomi," kata Erniwati yang juga menulis buku 140 Tahun Heng Beng Tong. [pkt]