Silat lidah juga berkecamuk disaat memainkan batu domino, kartu remi dan bakoa. Sekali-sekali penjaga lepau juga terseret atau meleburkan diri dalam arus debat.
M Nasruddin Anshoriy Ch dan Djunaidi Tjakrawerdaya dalam buku Jejak Dokter Pejuang dan Pelopor Kebangkitan Nasional, terbitan 2008 pernah menyinggung, budaya Minang yang melahirkan tradisi petatah-petitih umumnya tidak hanya bernilai seni retorika, tetapi juga latihan berpikir dan pengakumulasian pengetahuan lokal yang unik.
Sebab itu, di Minang, mulut dan lidah menjadi amat berharga, tidak hanya berfungsi sekadar indra pengecap selera masakan -yang membuat berkembangnya aneka makanan khas Minang- melainkan lebih luas lagi, yaitu sebagai sebuah lembaga pemikiran.
“Di lepau, hampir semua bidang, mulai dari sosial, agama, politik, ekonomi menjadi tema-tema yang dipecahkan dalam frame berpikir yang berbeda-beda dalam konteks intelektualitas,” ujar tokoh masyarakat Padang Sago, Padang Pariaman, Bustami Tanjung.
Kebiasaan duduk di lepau seringkali dicap buruk. Betul bila dinilai intensitas yang teramat sering. Seorang petani di kampung-kampung, kadang menghabiskan sepertiga hari untuk duduk di lepau.
Minum pagi di lepau, jelang matahari di ubun-ubun ngopi dulu di lepau, sore sehabis ke sawah singgah di lepau, dan malam sehabis magrib juga langsung duduk di palanta lepau.
Pola-pola demikian hampir terjadi di seantero Minang, mulai dari darek (pedalaman Minangkabau), hingga pesisir seperti Pariaman.
Namun, lepau bukan sebuah ruang untuk bermalas-malasan. Di sini, misalnya petani tadi, bukan hanya tahu tentang cangkul, tanam benih, dan bajak, tapi juga membuka jalur pedalaman kepalanya untuk hanyut dalam cerita-cerita yang terhempas di lepau saat itu.
Ruang debat di lepau bisa dikatakan perwujudan bertutur tidak teratur yang dibungkus metafora. Dengan ini dahi akan berkerut memaksa otak berpikir untuk menumpahkan komentar atau malah sebaliknya, menjadi sebuah hal yang disimpan di kepala untuk terus dipikirkan.
Peneliti kias pribahasa minang Oktavianus mengatakan, lepau merupakan arena latihan bertutur dan debat yang sangat bagus. Di sana ruang mengomentari dan bicara dibuka seluas-luasnya.
Apalagi, kata-kata metafora yang dilepaskan, menjadi sebuah telaah yang begitu mendalam secara makna.