Silek kato (penyebutan silat kata dalam dialek Minang) dalam persoalan adat dikenal dengan petatah petitih atau bakola. Dalam petatah petitih, konflik sengaja dirawat, dengan maksud dikemukan, dikaji, diperdebatkan, hingga akhirnya melahirkan sebuah rumusan yang disepakati bersama.
Misalnya saja dalam sebuah kenduri atau pesta perkawinan. Para niniak mamak, baik dari mempelai laki-laki, maupun mempelai wanita, akan adu urat leher secara bergantian dalam bahasa kias dan sartir yang bias menujam perasaan dan menelanjangi segala poko persoalan yang dirasa.
Alhasil, debat dalam tatanan silat kata menjadi olah lidah dan mulut yang bisa dikatakan lebih tajam dibanding belati sekalipun.
Kebiasan-kebiasan ini juga terpatri di lepau atau kedai kopi. Di sini, suatu istilah yang dinamakan silat lidah mendapat tempatnya.
Dialektika tak beraturan tanpa moderator yang terlegitimasi, termanifestasi dalam riak-riak seperti debat kusir.
Silat lidah di lepau mengunyah beragam isu dan persoalan, lalu dimuntahkan dalam riak-riak kata dengan ujung pangkal yang kadang tidak pasti.
Mereka berebut bicara dari perspektif adat, ekonomi, agama, politik, social, yang terkadang dengan bahasa-bahasa yang kerap dipakai oleh praktisi sekali pun.
Tak mengherankan bila cerita berkembang dan terhipnotis dalam ruang yang lebih luar; seperti berkeliling dunia. Cerita di sudut pedalaman Padang Pariaman, tiba-tiba juga membicarakan persoalan yang terjadi di Jakarta, lalu melompat pada pertandingan piala dunia atau pun konflik di Timur Tengah.
Bukan hanya ‘gosip’ seputar kampung, tapi juga menjadi khazanah mencari pekerja untuk ke sawah, bertukang, atau yang bisa memanjat kelapa esok hari. Semua terakumulasi dalam bahasa tutur yang tidak jarang sartir dan mengiris-iris perasaan.