Kepiawaian orang Minang dengan modal kata-kata juga terpatri pada aktivitas niaga. Lini pasar tradisional, orang Minang masih mendominasi untuk tidak mengatakan menghegemoni.
Di sana, sorak-sorai menjadi bumbu untuk menarik pembeli. Kepintaran obral kata, menjadi magnet untuk dagangan menjadi laris manis.
Mengolah kata-kata sejatinya bukanlah ilmu yang didapatkan dari bangku sekolah atau pun kuliah. Secara kultur berhulu dari surau dan lepau.
Diplomat yang lahir dari rahim Minangkabau, sedikit banyaknya bersentuhan dari inkubator bernama surau dan lapau. Dua kutub unsur berdirinya sebuah nagari ini memainkan peran dalam menjaga Minang sebagai etnis oral, penuh wacana kata-kata, dan dialektika dalam bentuk mengasah hingga menjadi tajam.
Budayawan Minangkabau Musra Dahrizal mengatakan, kepiawaian orang Minang dalam mengolah kata-kata bermula dari surau. Sebab, di surau pidato adat diajarkan, selain mengaji dan bersilat tentunya.
Mula-mula secarik kertas diberikan ke masing-masing pembelajar, lalu mereka disuruh menghafal, dan selanjutnya diberi kesempatan unjuk gigi; dalam dirkusus adat dan dialektika isu teraktual terkadang.
“Silat kata adalah anatomi pidato (batang tubuh pidato). Kalau tidak paham dengan batang tubuh pidato, maka kadang pidato tidak masuk akal, dan menjemukan. Kata kunci silat kata adalah alur terukur dan runut,” jelas pria yang biasa disapa Mak Katik ini.
Silat kata berbeda dengan silat lidah, dalam makna yang lebih spesifik. Silat katanya memiliki makna positif. Dipakai oleh niniak mamak (pimpinan kaum atau suku) dalam dialog adat atau retorika dihadapan kaumnya, dan bertutur ke kemenakan.
Mak Katik memberi kias silat kata dalam dialek Minang, basilek diujung lidah, malangkah ka pangka karih, maniti di mato pedang). Artinya, awal sebuah persoalan, sebelum keris dicabut, dan pedang dihunuskan, bersilat kata-kata terlebih dahulu.
“Bersilat diujung lidah dulu, baca persoalan. Disana ditimbang kaji buruknya, kalau ndak ya diadu runcingnya pedang dan tajamnya keris,” imbuhnya.
Biasanya sebuah persoalan lebih terselesai dengan kata-kata ketimbang senjata. Maka hura-hara konflik fisik di Minang lebih minim dibanding etnis lain semacam Bugis.