Bagaimanakah seharusnya posisi dan peran kaum intelektual dalam dunia politik? Apakah partisan atau harus netral?
Itulah pertanyaan filosofis yang tetap layak diangkat kembali dalam wacana politik Indonesia akhir-akhir ini sehubungan dengan ramainya kalangan intelektual memperlihatkan sikap partisannya pada kontestasi politik, khususnya jelang Pemilihan Presiden-Wakil Presiden Tahun 2024.
Posisi intelektual dalam dunia politik memang polemis. Ada yang mengatakan, intelektual sebaiknya mengambil sikap partisan kepada partai, capres atau kekuatan politik tertentu yang sesuai dengan gagasan dan ideologi yang diyakininya. Di samping itu, dalam tataran politik praktis, keterlibatan intelektual di belakang partai atau capres-cawapres akan menambah bobot politik kita.
Tetapi ada pula pendapat, intelektual harus netral, berdiri di atas semua golongan, kecuali berjarak dengan golongan politik yang mengkhianati amanat rakyat. Intelektual, terutama yang di perguruan tinggi, semestinya menjaga jarak, baik dengan kekuasaan maupun kekuatan-kekuatan politik. Menurut pandangan ini, intelektual partisan berarti suatu ‘pengkhianatan intelektual’.
Sikap ‘netral’ kaum intelektual dalam politik praktis kelihatannya ideal sekali. Apalagi dunia politik terlanjur identik dengan persoalan tarik-menarik kepentingan kekuasaan, alih-alih kontestasi gagasan untuk kepentingan publik dan bangsa. Dalam berbagai kasus, politik bahkan dianggap kotor, karena menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Jika intelektual terlibat dan bahkan menopang politik praktis, ia bisa ‘larut’ dalam pergulatan kepentingan kekuasaan sehingga akan melunturkan kredibilitasnya sebagai penjaga ‘kekuatan moral’.
Di era ‘pasca-kebenaran’ dewasa ini peran kaum intelektual Indonesia betul-betul ditantang. Proses demokrasi yang dilalui saat ini jelas tidak mudah, sekalipun reformasi sudah dilewati lebih dari seperempat abad. Praktik berdemokrasi dewasa ini bahkan cenderung makin menominasikan kekuatan-kekuatan pemodal besar, pesohor, dan bahkan politik dinasti, sekalipun mereka berkontetasi dalam ranah demokrasi.
Di sisi lain banyak intelektual telah ‘bersalin rupa’ menjadi ‘partisan’ dalam arti berpihak pada kekuatan-kekuatan politik tertentu. Keterlibatan mereka dalam politik yang bersifat memihak belum tentu dapat memperbaiki keadaan, bahkan dikhawatirkan ikut menjustifikasi dan ‘membela’ perilaku menyimpang kekuasaan.
Refleksi Historis
Dalam konteks yang tak jauh berbeda, Indonesia pernah menghadapi dilema politik pada tahun 1950-an. Pada masa demokrasi parlementer memuncak pelbagai kekecewaan masyarakat politik terhadap perkembangan keadaan bangsa. Demokrasi yang dijalankan para elite dewasa itu dianggap melenceng jauh dari cita-cita Proklamasi dan Revolusi Nasional.
Bung Hatta melukiskan, setiap orang bebas melaksanakan pandangannya sendiri tentang ‘hidup merdeka’, tanpa menghiraukan kepentingan lebih besar. Kebebasan dimanfaatkan untuk mengejar kepentingan diri dan golongan sendiri. Idealisme dan cita-cita luhur proklamasi kalah oleh nafsu dan ego sektoral. Hampir dalam segala lapangan, pejuang idealis mundur ke belakang, digantikan kaum ‘profitir’.
Bahkan semua orang merasa bebas mengerjakan politik, tanpa dibekali pengetahuan cukup. Berpolitik tidak lagi diartikan menunaikan tanggung jawab bagi kebaikan umum, tetapi sebagai jalan untuk membagi-bagi rezeki dan jabatan untuk golongan sendiri.
Dalam risalahnya berjudul ‘Tanggungdjawab Kaum Intelegensia’ (1957), Hatta mengakui, pelaksanaan demokrasi tidak mudah, apalagi bagi Indonesia sebagai negara baru. Demokrasi menghendaki latihan yang memakan waktu, didikan kepada rakyat tentang tanggungjawab untuk menentukan nasib sendiri. Yang terpenting, demokrasi menghendaki pula pemimpin bermoral dalam segala lapangan hidup: politik, ekonomi dan sosial. Jika moralitas politik diterapkan konsisten, secara berangsur kualitas pelaksanaan demokrasi di Indonesia dapat ditingkatkan.
Dalam konteks itulah Hatta menggugah perhatian kaum intelektual (inteligensia), khususnya yang berbasis di perguruan tinggi, untuk proaktif memikirkan nasib masyarakat dan bangsanya yang kian terpuruk. Mereka tidak bisa bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin masyarakat dan negara. Kaum intelektual, dengan kapasitas intelegensi dan nilai kebenaran yang dijunjungnya, harus ikut bertanggungjawab.
Hatta menolak apologi, bahwa sebagai minoritas, kaum intelektual tak dapat ‘menundukkan’ golongan mayoritas. Dalam demokrasi tidak selalu kuantitatif yang dipandang, nilai kualitatif dapat pula menentukan. Memang, dalam keadaan biasa, jika semuanya berjalan normal, pendapat golongan terbanyak sering memutuskan.
"Tetapi dalam keadaan di mana kapal negara kandas jalannya, di mana golongan terbesar merasa salah dan tak tahu mencari jalan keluar dari bencana, suara kualitatif kaum inteligensia berat timbangannya dan mendapat sambutan dalam hati rakyat banyak.”
Membela Kebenaran
Ketika tantangan demokrasi elektoral dewasa ini makin berat, himbauan Hatta kepada kaum intelektual di atas seakan menemukan relevansinya. Seperti kita ketahui, perjalanan reformasi selama seperempat abad ini masih meninggalkan banyak ‘pekerjaan rumah’, termasuk dalam konteks tantangan mengurangi ketimpangan sosial ekonomi rakyat, korupsi, dan lainnya, termasuk di daerah-daerah.
Zaman memang sudah berubah, tetapi tugas kaum intelektual semestinya tidak berubah. Ia tetap menyuarakan kebenaran di manapun ia berada. Seperti kata Edward W Said, “intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya.”
Kalau merujuk kepada konsep Said, jelas tak sembarang orang yang bisa disebut intelektual. Seseorang yang memiliki gelar akademik tinggi seperti profesor atau doktor, belum tentu bisa disebut intelektual, kalau ia tak berani menyuarakan kebenaran kepada penguasa, masyarakat atau siapapun.
Dengan pengertian itu, tidak masalah sebenarnya seorang intelektual terlibat sebagai think tank capres atau partai politik, bahkan menjadi politisi sekalipun, seperti yang pernah dilakukan Bung Karno, Bung Hatta, Mohammad Natsir, Sam Ratulangi dan para bapak bangsa yang lain, asal dia tak berhenti menyuarakan kebenaran yang diyakininya.
Di sini nampak bahwa posisi kaum intelektual sesungguhnya bukanlah persoalan berpihak atau netral kepada capres, partai atau kekuatan politik. Tugas intelektual pada dasarnya berkaitan dengan masalah tanggung jawabnya menyuarakan kebenaran esensial yang diyakininya.
Dalam konteks politik dewasa ini, bangsa Indonesia sebenarnya membutuhkan keterlibatan kaum intelektual dalam proses demokratisasi. Keterlibatan itu tidak hanya sebatas menjadi partisan politik atau sebaliknya menjaga jarak dengan semua kekuatan politik, tetapi sebagai wujud tugas dan tanggung jawabnya bagi masa depan masyarakat dan bangsa Indonesia yang masih terpuruk.
Walaupun intelektual partisan tidak masalah dalam konteks politik demokrasi, namun yang penting dijaga dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya adalah konsistensi, objektivitas dan rasionalitas publik. Jangan sampai keberpihakan intelektual dalam politik menjustifikasi ketidakbenaran sehingga mereka tergelincir pada – apa yang disebut Harry J Benda—sebagai ‘la trahison des clerc’ atau ‘pengkhianatan kaum intelektual’. [*]