Padangkita.com - Ikatan Keluarga Besar (IKB) alumni Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta (FH UBH) Padang, menolak penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Miko Kamal, Ketua Umum IKB Alumni FH UBH menyatakan angket tersebut bertentangan dengan Undang-Undang (UU). Selain itu hal tersebut sangat tidak elok dalam upaya bangsa ini memberantas korupsi.
"Ini bisa meninggalkan preseden buruk dimana DPR RI akan membentuk Pansus ketika kolega mereka dijadikan tersangka oleh KPK," kata Miko Kamal dalam rilis yang diterima Padangkita.com, Sabtu (16/07/2017).
Selain itu, IKB Alumni FH UBH juga menegaskan menolak semua dan segala bentuk bentuk dan upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Man mendukung upaya perbaikan terhadap beragam kekurangan dalam pelaksanaan kewenangan KPK dengan mendorong pembentukan pengawas independen KPK.
Dalam rilis yang diterima, IKB Alumni FH UBH menyatakan pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus saja berlangsung seperti yang dikakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam bentuk penggunaan Hak Angket.
Penggunaan Hak Angket tersebut mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk dari para pegiat anti korupsi dan akademisi. Perdebatannya adalah apakah Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket yang dibuat oleh DPR RI berwenang atau tidak memeriksa KPK terutama berkenaan dengan kasus yang sedang dalam proses penyidikan, yaitu kasus korupsi penggadaan E-KTP.
Membaca Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang menyebutkan: "Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan".
Maka secara hukum yang menjadi objek Hak Angket adalah kebijakan yang dilaksanakan
sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian.
Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), KPK adalah lembaga negara yang yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam
penjelasan Pasal tersebut, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individu dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban KPK dalam menjalankan tugasnya sudah disebutkan di dalam Pasal 20 UU KPK, yaitu: "Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara
terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan".
Sementara itu, soal pertanggungjawaban publik KPK dilaksanakan dengan cara: a. wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya; b. menerbitkan laporan tahunan; dan c. membuka akses informasi.
Bahwa dalam praktiknya, apa yang dilakukan oleh Pansus Hak Angket tersebut tidak bisa dibantah telah mempengaruhi proses penyidikan yang sedang dilakukan KPK dalam kasus korupsi penggadaan E-KTP. Pasalnya, saat ini beberapa nama anggota dan mantan anggota DPR RI disebut-sebut menerima aliran dana E-KTP.
Oleh karena itu, Pansus Hak Angket yang bersikukuh mengatakan mempunyai kewenangan memanggil pimpinan KPK sebagaimana menurut Pasal 79 ayat (3) UU MD3 adalah keliru, karena hak angket tersebut melakukan penyidikan pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau “kebijakan yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat”.
Dalam konteks ini, terlalu berlebihan mengatogerikan kasus korupsi yang melibatkan beberapa oknum anggota dan mantan anggota DPR RI tersebut sebagai kasus yang penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat.
Sebagai lembaga negara, KPK yang diberi kewenangan yang luas dibanding lembaga penegak hukum lainnya tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan, namun kekurangan tersebut bukan berarti KPK harus diamputasi atau dilemahkan. Sebagai lembaga yang
masih diharapkan oleh masyarakat, KPK harus terus didukung dan diawasi supaya menjadi lembaga anti korupsi yang lebih kuat dan tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirugikan dan menjadikan alasan untuk melemahkan KPK.