Lebih jauh ia menyebutkan, anjloknya pendapatan hotel di Sumbar, bisa dilihat dari jumlah penerbangan di Bandara Internasional Minangkabau (BIM).
“Salah contoh kurangnya pendapatan itu bisa dilihat dari penerbangan ke Sumbar. Sebelumnya kan banyak, sekarang cuma ada enam, tujuh, paling banyak 10 penerbangan yang masuk Padang. Satu pesawat itu 150 minimal penumpang biasanya kan, sekarang tidak lagi. Potensi kehilangan konsumennya sudah bisa dilihat di sana,” terangnya.
Berkurangnya orang ke Sumbar, kata Maulana, secara otomatis hunian kamar pun menurun drastis. Tidak ada kegiatan yang digelar di ballroom, okupansi hotel langsung turun.
“Salah satu pendapatan utama hotel itu kini kan event, salah satunya penggunaan ballroom. Kalau ballroom itu tidak beraktivitas, okupansi itu akan terus tertekan. Kemudian, sekarang kan terjadi perpanjangan PPKM di Kota Padang. Kami lihat ini kurang bagus, karena apapun yang dibuatkan kriterianya jika ada pembatasan maka akan sama saja,” tuturnya.
Maulana membandingkan, kebijakan pemerintah terkesan hanya membatasai kegiatan pada sektor usaha, sementara pada sektor informal lainnya, terutama kegiatan masyarakat tidak terlalu dibatasi. Padahal, kegiatan perhotelan lebih mudah dikontrol dan diawasi ketimbang sektor informal tersebut.
“Sekrang dilakukan pelonggaran, otomatis bagaimana pengawasan terhadap prokesnya. Justru kegiatan hotel yang mudah dikontrol dan diawasi, dan sudah menerapkan sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety & Environment Sustainability) atau Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan Kelestarian justru paling dulu terkena dampaknya karena tidak boleh beraktivitas,” terangnya.
“Pertanyaanya, apakah nanti akan restart setelah (PPKM) ini semua bisa diaktifkan kembali,” ulasnya.
Tidak Ada Kompensasi dari Pemerintah
Di tengah banyaknya kebijakan yang membuat hotel terpuruk, nyaris tak ada bantuan dari pemerintah yang bisa meringankan beban pengusaha hotel. Pemerintah, lanjut dia, tidak memberikan kompensasi terhadap para pengusaha perhotelan.