Berita Padang hari ini dan berita Sumbar hari ini: Dalam sejarah, Gubernur Sumbar telah dijabat sejumlah tokoh, dari latar belakang berbeda
Padang, Padangkita.com- Presiden Joko Widodo telah resmi melantik Mahyeldi Ansharullah dan Audy Joinaldy sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Barat (Sumbar) di Istana Negara, Jakarta, pada Kamis (26/2/2021).
Dengan demikian, otomatis pasangan ini menambah panjang daftar pemimpin Sumbar. Dalam sejarahnya, Gubernur Sumbar telah dijabat sejumlah tokoh dengan berbagai latar belakang, mulai dari pendidik, birokrat, cendekiawan, militer, politikus, akademisi, guru besar, hingga ustaz.
Awal Kemerdekaan: Silih Berganti Residen dan Gubernur
Pada awal kemerdekaan Indonesia, Sumatra Barat yang kita kenal sekarang berstatus keresidenan. Keresidenan Sumatra Barat dibentuk pada 1 Oktober 1945 dengan residen pertamanya yakni Muhammad Sjafei, seorang pendidik yang dikenal sebagai pendiri INS Kayutanam.
Jabatan Sjafei berlangsung singkat. Ia mengundurkan diri pada 15 November 1945. Selama ia menjabat, Sjafei telah meletakkan dasar-dasar bagi pemerintahan selanjutnya, khususnya mengenai penyusunan organisasi kepegawaian mulai dari atas sampai ke bawah, sehingga pemerintahan sipil dapat berjalan lancar sebagaimana .
Pengganti Sjafei adalah Roesad Datuk Perpatih Baringek, bekas demang pada masa kolonial Belanda. Penunjukan Roesad sempat menuai polemik karena "kedekatannya" dengan Belanda pada masa lampau. Roesad terpaksa hengkang sebagai residen pada 14 Maret 1946.
Selama Roesad menjabat, ia berjasa dalam melakukan perombakan pamong praja. Sebagian besar pejabat yang semula adalah mantan pegawai pemerintah Belanda dan Jepang diganti dengan "pemimpin rakyat", yakni tokoh yang dianggap paling mewakili daerah mereka.
Residen Sumatra Barat berikutnya dijabat oleh Mohammad Djamil, seorang dokter. Ia mulai menjabat pada 18 Maret 1946, dalam suasana perang melawan Belanda yang berusaha menjajah kembali Indonesia.
Walau tanpa pengalaman politik, semangat juang Djamil begitu menggebu menentang Belanda. Ia terkenal dengan sebutan "Residen Lipat" karena menyerukan agar para pengkhianat "dilipat" (dibunuh) saja. Namun, Djamil memilih mengundurkan diri pada 1 Juli 1946, .
Sejarawan Universitas Negeri Padang (UNP) Mestika Zed mengatakan, selama satu tahun pertama kemerdekaan, tidak ada residen yang benar-benar sanggup atau mau memegang peranan sentral daerah.
“Selama tahun pertama perjalanan revolusi, jatuh bangun kekuasaan residen terjadi silih berganti,” tulis Mestika dalam buku Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (1997).
Pasca-pengunduran diri Djamil, jabatan residen kosong beberapa minggu. Pada 20 Juli 1946, barulah Sumatra Barat memiliki residen yang baru, yakni Sutan Mohammad Rasjid.
Rasjid menjabat sebagai residen hingga 29 April 1947. Perjuangan yang belum terkonsolidasi dan upaya tentara Belanda untuk kembali menguasai Sumatra Barat menjadi tantangannya.
Jabatan residen yang terus silih berganti, menurut A.A. Navis, adalah hal wajar. Kedudukan residen dipandang sebagai "formalitas bahwa Republik Indonesia mempunyai pemerintahan yang teratur".
Setelah Rasjid, kepemimpinan Sumatra Barat dilanjutkan oleh Mohammad Nasroen, seorang birokrat. Ia kelak dikenal sebagai pelopor kajian filsafat Indonesia.
Jabatan Nasroen sebagai residen berakhir pada 15 April 1948, seiring keluarnya UU Nomor 10 Tahun 1948 yang menghapus status keresidenan di Indonesia. Selanjutnya, Sumatra Barat bersama Riau dan Jambi digabungkan dalam satu provinsi yakni Sumatra Tengah. Nasroen ditunjuk menjadi Gubernur Sumatra Tengah pertama.
Selama menjadi bagian dari Sumatra Tengah, Sumatra Barat menjadi basis sejumlah peristiwa penting. Ketika eksistensi Republik Indonesia terancam akibat Agresi Militer Belanda ke-2, para pemimpin Sumatra Barat berinisiatif membentuk PDRI di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara pada 19 Desember 1948.
Di tengah suasana darurat, jabatan gubernur yang sebelumnya dipegang oleh sipil diserahkan kepada militer. Terhitung dari Januari hingga Oktober 1949, Sumatra Tengah dipimpin oleh Gubernur Militer Sutan Mohammad Rasjid.
Setelah situasi berangsur pilih, kepemimpinan Sumatra Tengah kembali ke tangan Mohammad Nasroen, walaupun statusnya tetap sebagai gubernur militer. Namun, di tengah jabatannya, terjadi peristiwa Mosi Tan Tuah. yang berujung "didepaknya" Nasroen dari Sumatra Tengah pada 1 Agustus 1950.
Mengantisipasi kekosongan kepemimpinan Sumatra Tengah, pemerintah pusat melantik Ruslan Muljohardjo, seorang birokrat asal Jawa Tengah, sebagai Penjabat Gubernur Sumatra Tengah pada 9 November 1950.
Pengangkatan gubernur yang bukan berasal dari Sumatra Tengah ini banyak ditentang. Pusat dianggap tidak menghargai aspirasi daerah. Walau demikian, pemerintah bukannya mengganti Ruslan, malah melantiknya sebagai Gubernur Sumatra Tengah definitif pada 1 Mei 1951. Ini pula yang menjadi bibit konflik berlarut antara Sumatra Tengah, khususnya Sumatra Barat dengan pemerintah pusat.
Pada 20 Desember 1956, Ahmad Husein mengambil alih jabatan Roeslan dan mengklaim dirinya sebagai Ketua Daerah Sumatra Tengah. Ia menganggap gubernur yang ditunjuk pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan daerah. Konflik antara daerah dan pusat berlanjut dengan dideklarasikannya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) oleh Ahmad Husein pada 15 Februari 1958.
Gubernur Pasca-PRRI
Dalam suasana kemelut akibat PRRI, pemerintah Indonesia memecah Provinsi Sumatra Tengah menjadi tiga, yakni Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. Gubernur Sumatra Barat pertama Kaharudin Datuk Rangkayo Basa, seorang tokoh kepolisian sarat pengalaman, dilantik pada 17 Mei 1958. Ia dipilih oleh pemerintah pusat karena sikapnya menolak bergabung ke dalam PRRI.
Walau demikian, hubungan Kaharudin dengan pemerintah pusat tidak berjalan mulus. Pada 5 Juli 1965, ia diberhentikan oleh Presiden Soekarno. Jabatan yang kosong sementara diisi oleh Penjabat Gubernur yakni SoepoetroBrotodiredjo, seorang pegawai pada Kementerian Dalam Negeri.
Soepoetro diketahui adalah seorang tokoh yang dekat kelompok komunis. Ini pula yang kembali memicu penolakan masyarakat Sumatra Barat. Mengantisipasi konflik yang pernah terjadi sebelumnya, pemerintah pada 4 Juni 1966 akhirnya mengganti Soepoetro dengan Harun Zain, seorang pengajar yang merupakan mantan Rektor Universitas Andalas.
Mestika Zed dalam bukunya Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945–1995 mengatakan, bukan hal yang mudah bagi Harun Zein saat pertama memimpin daerah yang dilanda konflik akibat PRRI. Ia awalnya dicurigai oleh masyarakat sebagai "orang pusat". Namun begitu, kepemimpinan Harun Zain terbukti berlanjut dua periode dan berhasil mengangkat kembali kepercayaan diri masyarakat Sumatra Barat.
Pada 18 Oktober 1977, jabatan Harun Zein berakhir dan digantikan oleh Azwar Anas, seorang tokoh militer yang pernah menjabat sebagai Dirut PT Semen Padang.
Azwar Anas dianggap sukses membangun Sumatra Barat secara fisik. Dua penghargaan bergengsi pada masa Orde Baru, yakni Prasamya Purnakarya Nugraha dan Prayojana Kriya Pata Prasamya Purnakarya Nugraha, berhasil diraih oleh Sumatra Barat di bawah kepemimpinannya.
Sayangnya, pada masa Azwar Anas pula, nagari-nagari di Sumatra Barat dipecah menjadi desa. Kebijakan ini ditempuh untuk mendapatkan Inpres Bandes yang dianggarkan sebesar Rp2 juta untuk setiap desa.
Seperti pendahulunya, Azwar Anas menjabat sebagai gubernur selama dua periode. Pengganti Azwar Anas, Hasan Basri Durin, seorang pamong senior, dilantik pada 30 Oktober 1987.
Hasan Basri Durin tidak sesukses Azwar Anas dalam pembangunan fisik, tetapi ia cukup fokus dalam melakukan pengembangan pendidikan di Sumatra Barat. Hal itu terlihat dari keterlibatannya dalam pendirian Yayasan Pendidikan Nusantara yang mengelola Universitas Bung Hatta
Mengikuti jejak dua gubernur sebelumnya, Hasan Basri Durin memimpin Sumatra Barat selama dua periode. Penggantinya dilantik pada 29 Desember 1997, yakni Muchlis Ibrahim, seorang perwira tinggi militer.
Muchlis Ibrahim hanya menjabat gubernur kurang dua tahun. Ia mengundurkan diri lantaran merasa diremehkan oleh pemerintah pusat. Pasalnya, menunjuk pejabat yang tidak ia pilih untuk menjadi wakil gubernurnya.
Pada 27 Maret 1999, Muchlis Ibrahim menyerahkan jabatan gubernur kepada Penjabat Gubernur Dunidja. Dunidja memimpin Sumatra Barat sembari menunggu gubernur definitif hasil pemilihan di DPRD Sumatra Barat
Pada 24 Februari 2000, Zainal Bakar dilantik sebagai Gubernur Sumatra Barat bersama dengan wakilnya, Fachri Ahmad. Zainal Bakar adalah seorang pamong, sedangkan Fachri Ahmad adalah seorang akademisi mantan Rektor Universitas Andalas.
Jabatan Zainal Bakar seharusnya berakhir pada 24 Februari 2005, tetapi diperpanjang hingga 14 Maret 2005 untuk mencegah kekosongan. Setelah itu, Sumatra Barat dipimpin Staf Ahli Mendagri Muhammad Thamrin dengan status Penjabat Gubernur. Thamrin bertugas mempersiapkan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 27 Juni 2005.
Gubernur Hasil Pilkada
Pada 15 Agustus 2005, Gamawan Fauzi dilantik sebagai Gubernur Sumatra Barat didampingi Wakil Gubernur Marlis Rahman. Pasangan ini keluar sebagai pemenang dalam pemilihan gubernur dengan raihan 41,5% total suara, mengalahkan empat pasangan calon lainnya .
Gamawan Fauzi adalah seorang birokrat yang pernah menjabat Bupati Solok dua periode (1995–2005), sedangkan Marlis Rahman adalah seorang akademisi yang pernah menjabat Rektor Universitas Andalas.
Namun, Gamawan tidak menyelesaikan masa jabatannya. Pada 22 Oktober 2009, ia diangkat menjadi Mendagri di kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), meninggalkan Sumatra Barat yang baru saja luluh lantak akibat gempa bumi.
Jabatan gubernur yang tinggalkan praktis diisi oleh Marlis Rahman dengan status Pelaksana Tugas Gubernur, sebelum dilantik menjadi gubernur definitif pada 7 Desember 2009, menuntaskan sisa masa jabatan Gamawan.
Dalam pemilihan Gubernur Sumatra Barat berikutnya pada 2010, Irwan Prayitno keluar sebagai pemenang. Irwan menggandeng Muslim Kasim sebagai wakil gubenur. Pasangan ini berhasil meraup meraup 32,44% total suara, mengalahkan empat pasangan calon lainnya.
Irwan Prayitno adalah politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tiga kali terpilih sebagai anggota DPR-RI sejak 1999. Adapun Muslim Kasim adalah birokrat yang pernah menjabat Bupati Padang Pariaman periode 2000–2010.
Dilantik pada 15 Agustus 2010, Irwan Prayitno memimpin Sumatra Barat dalam kondisi terpuruk akibat gempa. Selama kepemimpinannya, ia fokus pada upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana
Dalam pemilihan Gubernur Sumatra Barat 2015, Irwan Prayitno kembali melenggang sebagai Gubernur Sumatra Barat dengan menggandeng Wakil Gubernur Nasrul Abit, politikus Partai Gerindra yang pernah menjabat Bupati Pesisir Selatan dua periode (2005–2015). Pasangan ini keluar sebagai pemenang dengan raihan 58,62% total suara, unggul dari pasangan Muslim Kasim–Fauzi Bahar.
Baca juga: Warisan Kolonialisme dalam Bahasa, Bentuk Prestasi Orang Minang
Terakhir, pada pemilihan Gubernur Sumatra Barat 2020, duet Mahyeldi dan Audy Joinaldy terpilih sebagai pemenang. Mahyeldi yang merupakan politikus PKS ini sebelumnya telah dua kali terpilih sebagai Wali Kota Padang sejak 2014. Adapun Audy Joinaldy memiliki latar belakang pengusaha dan baru terjun dalam dunia politik.(den/pkt)
Baca berita Sumbar hari ini hanya di Padangkita.com.