Padang, Padangkita.com – Tenaga Ahli Menteri Kesehatan, dr Andani Eka Putra mengungkap penelitian terbaru soal perkembangan Covid-19 di Sumatra Barat (Sumbar) dan Indonesia secara umum.
Menurut dr Andani yang juga Kepala Pusat Diagnostik dan Riset Terpadu Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Unand ini, data-data epidemiologi 1 bulan terakhir memperlihatkan kondisi yang sangat bagus di Indonesia, termasuk di Sumbar.
Angka positivity (tingkat temuan kasus) hampir selalu di bawah 1 persen, nilai RT turun sekitar 0,6-0,8, rumah sakit sudah pada kosong yang ditandai dengan penurunan BOR (tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit) dan angka rawatan per 100 ribu penduduk menurun.
“Tapi kondisi ini jangan dianggap Covid-19 sudah habis dan semua orang abai. Akan ada bom waktu yang siap meledak, tetap prokes serta ayo vaksin. Meski Indonesia dianggap oleh lembaga internasional berada pada level 1, di mana situasi pandemi sudah sangat tekendali,” ungkap dr Andani, Jumat (4/11/2021).
Ia kemudian, mengajukan sejumlah pertanyaan soal kenapa indikator pandemi di Indonesia, termasuk Sumatra Barat menurun.
Apakah protokol kesehatan (prokes) sudah berjalan dengan baik? Apakah testing, tracing dan isolasi sudah berjalan dengan baik? Apakah vaksin sudah baik pada waktu penurunan kasus mulai terjadi?
“Jelas jawabannya tidak! Tidak ada indikator tersebut yang berkontribusi dalam penurunan pandemi,” ujar dr Andani.
Berdasarkan penelitiannya tentang kasus Covid-19 di Sumbar, kata Andani, (awalnya) pola peningkatan kasus lebih didorong oleh pergerakan varian baru.
Ia mengungkapkan, periode Agustus–Oktober 2020, dominan mutan D614G, lalu tetap ada hingga Maret 2021. Kemudian, April – Mei 2021 terlihat varian lokal B1.466.2. Namun pada Juni ditemukan 53 persen varian Delta, dan meningkat menjadi 97 persen pada pertengahan Juli 2021. Perkiraan, akhir Juli semua sudah terpapar Delta.
Menurut dr. Andani, Delta adalah varian virus Covid-19 yang tingkat penyebarannya sangat cepat. Dari 1 orang dapat dengan cepat menyebar ke 6 orang. Sehingga dalam waktu singkat suat daerah akan terpapar oleh Delta.
Memang, kata dia, tidak ada data seroepidemiologi yang mendukung ini. Namun, lanjut Andani, data-data empiris cukup membuktikan fenomena ini. Untungnya tingkat fatalitas (kematian) Delta rendah, hanya sekitar 1,5-2 persen.
Kondisi ini mampu menjawab pertanyaan kenapa indikator pandemi menurun walau perilaku tidak sesuai. Jawabannya, kata Andani, karena sebagian besar warga sudah terinfeksi Covid-19 varian Delta.
“Sudah tercapai imunitas alamiah terhadap pandemi atau istilah lainnya tercapai herd imunity varian Delta,” kata ahli penyakit infeksi asal Pesisir Selatan ini.
Lebih jauh ia mengungkapkan, data empiris yang mendukung masyarakat sudah banyak terinfeksi Delat, berasal dari beberapa kasus. Pada suatu diskusi dengan satu nagari, Andani pernah menanyakan berapa yang meninggal periode Juli 2021?
“Mereka menyatakan hampir tiap hari ada, dan bahkan pernah satu hari 4 orang. Saat ditanya lagi berapa yang demam di nagari tersebut, jawabnya hampir 50 persen,” ungkap Andani.
Namun, kata Andani, saat ditanya berapa hilang penciuman, dengan yakin mereka menyatakan hampir 95 persen warganya hilang penciuman.
Data di nagari lain melaporkan, lebih dari 20 warga meninggal dalam 2 minggu fase puncak Covid-19 bulan Juli 2021, dan lebih dari 50 persen warga dema, sebagian terjadi serumah.
“Sayangnya semua kasus ini hampir tidak pernah dilakukan test PCR untuk diagnosis. Belajar dari data ini terlihat jelas bahwa Delta sudah menginfeksi hampir 60-70 persen populasi masyarakat Sumatra Barat,” ujar dr Andani.
Apakah pelajaran dari kasus ini?
Menurut Andani pelajaran pentingnya adalah kondisi ini terlihat baik karena fatalitas varian Delta tidak tinggi dan pencatatan kematian belum berjalan dengan baik.
“Namun ada risiko yang besar, yaitu bagaimana kalau muncul varian baru dengan fatalitas tinggi? Apakah kita sudah siap?” ujar dr. Andani.
Andani tegas menyatakan bahwa jika pola penanganan masih seperti sebelumnya, akan cukup berbahaya bagi Sumbar atau Indonesia sekalipun, jika yang masuk virus dengan fatalitas yang tinggi.
“Kita perlu belajar dari kondisi yang terjadi saat ini,” ingatnya.
Reformasi Ketahanan Kesehatan
Nah, berkaca dari kondisi pandemi Covid-19 kekinian di Sumbar dan Indonesia umumnya, lanjut Andani, perlu dipersiapkan ketahanan dalam menghadapi ledakan kasus Covid-19 atau bencana pandemi biologi lainnya.
Andani mengistilahkan upaya ini sebagai reformasi ketahanan kesehatan Indonesia. Konsep ini telah dirancang dan dimatangkan di Kementerian Kesehatan.
“Reformasi ketahanan kesehatan harus mendesak dilakukan, konsep ketahanan ini bertujuan dalam membangun kesiapan kita menghadapi risiko pandemi atau wabah ke depan,” ujar Andani.
Pondasinya, adalah menyiapkan komponen dan terpenting pemberdayaan masyarakat.
“Jujur kita akui di era pandemi Covid-19, kita gagal memberikan pemahaman kepada masyarakat, sehingga banyak hal yang tidak bisa dituntaskan dengan segera. Poin lain yang harus menjadi perhatian adalah ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan laboratorium, pengelolaan sumber daya manusia, sistem anggaran, sistem manajemen bencana, sistem logistik, dan pengendalian pada pintu masuk,” ungkapnya.
“Prinsip mitigasi ini pada dasarnya hampir sama dengan yang dirancang dengan mitigasi bencana alam. Masyarakat harus siap terhadap kemungkinan terjadinya bencana, baik alam maupun biologi,” ulasnya.
Reformasi ketahanan kesehatan, antara lain, jelas Andani, menyangkut laboratorium dan fasilitas layanan kesehatan yang bertujuan menyediakan laboratorium yang mampu melakukan diagnosis dini, pemeriksaan cepat dan akurat, serta rumah sakit yang mampu menangani pasien sedang atau berat.
“Coba kita lihat saat pandemi, banyak rumah sakit tidak sanggup menangani pasien berat, kalau kita di Sumatra Barat, rumah sakit daerah banyak merujuk pasien ke RSUP M. Djamil, seringkali sudah terlambat dan berakhir dengan kematian. Ruangan rumah sakit tidak sesuai dengan standar infeksi, dan lain sebagainya,” ujar Andani.
Di Indonesia, pada era pandemi laboratorium berdiri bak jamur di musim hujan, dengan misi berbeda-beda. Kapasitas laboratorium hanya 150-200 testing per hari.
Laboratorium yang terlalu banyak, kata Andani, agak menyulitkan dalam menjamin kualitas kerja. Idealnya, saran dia, dibangun laboratorium yang bersifat sentralistik, dengan kapasitas 3.000-4.000 tes per hari, sehingga dengan cara ini tidak perlu banyak laboratorium yang dibangun dalam satu daerah.
“Betapa tidak efisien jika kita harus membayar gaji banyak orang karena laboratorium banyak, namun testing sedikit. Sumbar mungkin contoh yang baik, karena punya sedikit laboratorium namun dapat menerima sampel hingga 6-8 ribu sehari,” ujar Andani.
Selanjutnya, soal kontrol orang luar masuk Indonesia.
“Ini penting karena terkait masuknya varian baru. Ingat bahwa Delta berasal dari gagalnya kita mengendalikan pendatang dari luar. Sistem logistik menjadi sangat penting, belajar dari pandemi Covid-19, kita harus mengembangkan produk dalam negeri tidak bergantung asing,” ujar Andani.
Kemudian, manajemen bencana, seperti alur penanganan pandemi, siapa penanggung jawab utama juga harus dipastikan jelas.
“Kalau soal pandemi, ya leading harus institusi kesehatan dengan melibatkan full TNI/Polri. Pemberdayaan masyarakat harus didorong lebih ke depan. Pada pandemi Covid-19 terlihat kontribusi besar TNI/PolriI. Tracing, pengawasan tempat isolasi dan bahkan sekarang ini vaksin lebih banyak dilakukan oleh TNI/Polri. Bagaimana peran pimpinan daerah?” ungkap Andani
“Ada yang serius, ada yang asyik untuk pencitraan, ada yang masih bingung mau apa, ada yang acuh tak acuh, bahkan kadang-kadang kita bisa melihat komentar yang kontraproduktif, seperti silakan berkumpul, Covid-19 tidak ada, untuk apa testing banyak-banyak, isolasi covid positif di rumah saja dan banyak lagi lainnya,” kritik Andani.
Namun, kata Andani, setidaknya harus ada early warning system bencana pandemi.
“Harus ada kesiapan. Karena pandemi menurut saya adalah bisa saja proses alamiah namun bisa juga rekayasa. Rekayasa melalui proses molekular engineering, di mana modifikasi dilakukan pada DNA atau RNA virus, yang awalnya hanya pada hewan, namun tiba-tiba bisa pada manusia dan bahkan dapat menularkan antar manusia.”
“Rekayasa ini tidak sama dengan yang dianggap masyarakat selama ini, yang menyatakan bahwa pandemi itu tidak ad, tidak ada Covid-19. Covid-19 jelas ada, korbannya sangat banyak, saat ini lebih dari 5 juta orang. Ini bukan jumlah sedikit untuk era modern.”
Baca juga: Evaluasi Covid-19 di Sumbar, Andani: Kasus Turun Bukan Karena Prokes dan Vaksin
“Hampir sepadan dengan flu Spanyol tahun 1918-1920 yang merenggut nyawa 50-100 juta orang,” beber Andani. [*/pkt]