Dinamika Berita Sepanjang 2020: Perspektif Sosiologi Media

Opini Padangkita - Kolom: Mohammad Isa Gautama.

Mohammad Isa Gautama. [Dok. Padangkita.com]

Tahun 2020 telah usai. Apa yang terjadi sepanjang tahun itu tidak akan terhapus dalam jejak sejarah. Segala yang terjadi terekam oleh memori publik. Dalam konteks ini, media massa menjadi (semakin) penting, disebabkan telah dan akan selalu berperan sebagai pencatat sejarah yang paling alamiah. Apa pun kejadian dan opini yang menyertainya dicatat otomatis oleh aktor yang memproduksi berita (baca: media massa)

Di era digital ini, peran media massa semakin ‘terbantu’ pula oleh media sosial. Apa yang disebut sebagai citizen journalism menyiratkan partisipasi aktif dari tidak saja insan pers namun juga publik secara umum. Netizen, yang berperan timbal balik sebagai komunikan (penerima informasi) segala peristiwa di era ini menjelma sekaligus sebagai komunikator yang memposting segala laku kejadian melalui akun pribadi masing-masing. Seiring gerak laju teknologi media, produksi berita semakin mudah, cepat dan efektif.

Kondisi ini bermula (dan tak henti berkembang) sedari ditemukannya internet. Sejak cikal-bakalnya ditemukan pada 1963 oleh J.C.R. Licklider, internet telah berkontribusi tidak saja dalam dunia jurnalistik dan media massa, namun juga terhadap komunikasi manusia. Bersama Taylor, Licklider (1990, dalam Heryanto, 2018) mendefinisikan empat prinsip kontribusi internet terhadap komunikasi manusia. Dua di antaranya yang relevan dikutip di sini: pertama, komunikasi didefinisikan sebagai proses interaksi yang kreatif. Kedua, masyarakat akan terbentuk berdasarkan kepentingan umum yang dipengaruhi oleh bagaimana masyarakat itu menggunakan media.

Berbasiskan kondisi bebas berkomunikasi di mana saja dan kapan pun serta kepada siapa pun, disrupsi media dan teknologi yang kini hadir sampai ke relung paling pribadi umat manusia membuat individu tidak lagi menjadi insan yang pasif menerima informasi. Informasi ada di mana-mana, sebagaimana juga diproduksi di mana-mana dan dari mana pun untuk kemudian disampaikan ke segala arah. Konsekuensinya, informasi kemudian menjadi sangat pervasive, meresap dan menembus serta eksis di mana-mana.

Konsekuensi lanjutannya, media di era digital (kerap disebut ‘new media’, media baru), tak pelak menghadirkan pula dua dampak klasik, positif dan negatif. Dampak itu seringkali tidak terprediksikan, tak terduga, bahkan tak diharapkan dan tak terantisipasi. Sebagaimana salah seorang tokoh besar ilmu komunikasi massa, Everett M. Rogers (1986: 92) jauh-jauh hari mewanti-wanti, “The social impact of the new media communication technologies that are desireable, direct and anticipated often go together, as do undesireable, indirect and unanticipated impact.”

Berita Hoaks versus Ruang Publik

Pada gilirannya, kecemasan Rogers semakin menemukan relevansinya saat fungsi utama media massa dan media baru yang idealnya menyediakan sarana untuk membuka saluran pendapat, cara pandang dan alat informasi yang berguna ke tengah publik mengalami benturan dengan sisi mata uang lainnya dari media. Kebebasan menyampaikan apa pun yang dibantu oleh efisiensi teknologi menyebabkan menganganya peluang berseliwerannya secara tidak terkontrol apa yang kemudian dengan sangat populer disebut sebagai berita menyesatkan, palsu dan tidak benar, yaitu hoaks.

Padahal, kondisi di mana saling bertemunya produk pikiran dan perasaan publik merupakan hasil amatan sekaligus cita-cita visioner dari seorang Jurgen Habermas pada tahun 1962 lalu yang murni konstruktif bagi masa depan komunikasi massa. Itulah yang disebut sebagai public sphere, ruang publik. Lebih jauh, melalui terbangunnya ruang publik, Habermas sejatinya menitipkan asa akan terbentuknya kepekaan publik (sense of public) sebagai praktik sosial yang melekat secara budaya. Pada titik ini, kondisi ini tentu sangat bertentangan dengan esensi dari budaya hoaks di tengah masyarakat, yaitu merebaknya saling sengkarut dan terciptanya benih konflik akibat meresapnya kepalsuan informasi menembus relung kehidupan sosial-politik-budaya, bahkan keagamaan (spiritualitas).

Itulah kenapa kemudian kondisi tumbuh suburnya hoaks secara sosiologis selalu didengungkan sebagai musuh yang kontra-produktif terhadap demokratisasi, dan toleransi di tengah heterogenitas sosial dan budaya. Dalam lanskap negara yang berbhineka-tunggal-ika seperti Indonesia, berita menyesatkan sesungguhnya ibarat paku berkarat yang diam-diam menggembosi roda kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ujung-ujungnyanya, laju kendaraan berbangsa dan bernegara sangat mungkin berhenti di tempat bahkan berjalan mundur kembali ke peradaban layaknya hukum rimba, siapa yang kuat (menguasai dan mendominasi informasi) akan ‘mengalahkan’ kaum yang secara literasi media termarjinalkan dan larut dalam sikap pasif dan tidak kritis.

Membaca 2020 Melalui Dialektika Berita

Banyak yang bisa dipetik di tahun 2020 dari kacamata bagaimana berita berperan memengaruhi kondisi komunikasi publik, komunikasi politik, juga komunikasi massa hari ini. Tak terbantahkan, mayoritas berita utama (head line) yang mendominasi lalu lintas berita di media massa, baik media arus utama maupun media baru (media online/digital) melulu tentang dan apa pun yang berkaitan baik secara langsung maupun tak langsung dengan pandemi Covid-19.

Dalam konteks ini, orang-orang, tidak saja para jurnalis, namun juga citizen journalis memberitakan pandemi Corona sebagaimana menceritakan kondisi dirinya sendiri. Wajar, pandemi ini adalah masalah seluruh orang di muka bumi. Di kita, Indonesia, sejak 2 Maret 2020 pandemi ini telah menjadi bulan-bulanan bahan pikiran dan dasar bertindak sehari-hari. Mungkin setelah diksi Pandemi, Corona dan Covid-19, diksi berikutnya yang sangat populer dan bisa jadi merupakan 5 besar word of the year adalah new normal. Berikutnya masker dan hand sanitizer serta social distancing dipastikan membuntuti di belakangnya.

Menarik dan penting diingat bahwa apa pun yang dimuat dalam berita sesungguhnya adalah realitas sosial yang sudah terkonstruksi sedemikian rupa tersebab apa pun yang terjadi secara faktual (apa adanya) kemudian diserap oleh realitas subjektif yang ada dalam pengetahuan individu yang menangkapnya. Para pakar teoritisi sosial yang melahirkan paradigma konstruksi sosial percaya bahwa tidak ada apa pun yang lahir dari olahan interpretasi manusia merupakan murni salinan dari realitas objektif.

Lebih jauh, Berger dan Luckmann (1967, dalam Bungin, 2002), mengatakan bahwa realitas merupakan fakta sosial yang bersifat eksternal, general dan ‘memaksa’ terhadap kesadaran masing-masing individu. Terlepas dari individu mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, maka realitas tetap ada dan terus terjadi. Sedangkan pengetahuan diartikan sebagai realitas yang hadir dalam kesadaran individu yakni realitas yang subyektif sifatnya.

Beranjak dari konsep dasar dalam paradigma konsruksi sosial tersebut, media sebagai institusi di mana selalu ada ekosistem dan individu-individu dan kelompok yang mengelolanya, mustahil menghindar untuk tidak melakukan distorsi, baik sadar maupun tak sadar terhadap realitas objektif yang terhidang di depan matanya. Realitas faktual diterima untuk kemudian diserap dan diolah berdasarkan multi-perspektif dan multi-kepentingan yang ada di baliknya.

Dalam tataran ini, Michael Schudson (2011: 17) mengatakan bahwa berita pada dasarnya berkontribusi kepada masyarakat secara lebih luas dan disebarkan oleh para aktor, mereka tidak sekadar menyebar informasi namun juga menyampaikan makna dan simbol ke tengah publik. Dalam analisis yang lebih dalam, Schudson meyakini informasi yang ada di dalam berita bertransformasi sebagai cause, penyebab yang berfungsi sebagai ‘komunikator’ berbagai agenda dan dinamika politik.

Konsekuensinya, dalam setiap berita sejatinya ada ilusi kekuasaan yang diam-diam disampaikan secara tersembunyi oleh produsen berita. Tidak ada yang tidak sependapat bahwa di era digital informasi adalah segalanya, siapa yang menguasai dan menjadi sumber informasi akan sangat berpotensi menguasai dunia. Dalam hal ini, tesis Manuel Castells mengenai media sebagai alat kekuasaan (media as power of communication) menemukan relevansinya. Tidak terlalu penting lagi apa isi pesan, orang lebih melihat siapa yang menyampaikan pesan. Pada titik ini, idealisme produsen berita dipertaruhkan. Apakah berita yang disampaikan sudah memenuhi fungsi normatifnya, yaitu to inform and to educate?

Pandemi Corona dan Pemberitaannya di Indonesia

Kita sudah sampai dalam kondisi di mana dari hari ke hari media massa, dalam hal ini media baru, semakin memiliki pengaruh dan dominasi terhadap cara berkomunikasi dan bertindak semua individu. Pandemi Covid-19 yang mendera bangsa kita sepanjang 2019 memberi banyak pelajaran bahwa kita mau tak mau harus menjadi semakin tergantung kepada pemberitaan di media. Gebalau informasi yang disebabkan oleh semakin mudah dan praktis bahkan gratisnya informasi di mana-mana menawarkan jebakan jika sebagai audiens kita tidak aktif dan kritis memilah informasi.

Maka, sepanjang 2020 kita mendapati rentetan fenomana keterjebakan itu, mulai dari hal yang paling umum dan makro sampai ke yang khusus dan mikro. Di awal pandemi topik utama adalah apakah virus ini berbahaya, lumayan berbahaya, atau sangat berbahaya? Apakah sudah masuk bencana global atau regional? Bagaimana respons pemerintah dan apa yang seharusnya warga lakukan? Pertanyaan itu menjadi bahan berita dan tak pelak menjadi konsumsi diskursus bahkan perang wacana di mana.

Berikutnya topik bergeser ke hal yang lebih mikro, karena memang bencana mesti disiasati secara praktis. Apakah masker perlu, wajib atau sangat wajib? Mantan Menteri Kesehatan, Terawan, pernah membuat publik buncah di awal merebakkan pandemi di negeri ini saat mengatakan bahwa masker tidak perlu digunakan bagi yang tidak terkena virus. Ini hanya salah satu dari sekian banyak contoh kasus jebakan gebalau informasi yang terjadi di awal pandemi ini bergerak, dan tidak ada siapa pun yang berani dan sigap mengklarifikasinya kala itu.

Kini, di awal 2021 kita sampai pada topik mengenai efektivitas vaksin, dan tentu saja tentang bagaimana prosedur paling ideal mengenai proses vaksinasi, mulai dari pusat hingga ke daerah, dari sentral hingga ke periferal. Schudson pernah menyebut mengenai ini, bahwa dinamika media selalu berkelindan dengan budaya politik dan komunikasi politik di suatu negara. Ada perbedaan antara negara berpenduduk sedikit dengan negara perpenduduk banyak seperti Indonesia. Di negara dengan penduduk besar, peran pers akan menjadi lebih penting dan pada saat yang sama bisa jadi tidak efektif (baca: gagal) dalam membantu terwujudnya komunukasi yang koheren antar sesama elit politik (2011: 152).[*]


Mohammad Isa Gautama
Pengajar Sosiologi Komunikasi dan Sosiologi Media di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.

 

Baca Juga

Indonesia Vs Arab Saudi: Duel Seru di Lapangan, Sampah Plastik Jadi 'PR' Kita Semua
Indonesia Vs Arab Saudi: Duel Seru di Lapangan, Sampah Plastik Jadi 'PR' Kita Semua
Media Sosial dan "Fluid Identity"
Media Sosial dan "Fluid Identity"
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat
Pembangunan Sumbar Era Prabowo dari Perspektif Kolaborasi Politik: 'Manjuluak' dan 'Maelo'
Pembangunan Sumbar Era Prabowo dari Perspektif Kolaborasi Politik: 'Manjuluak' dan 'Maelo'
"Trash Talking": Ejekan di Game Online
"Trash Talking": Ejekan di Game Online
Negeri Ini (Selalu) Butuh (Suara) Kita
Negeri Ini (Selalu) Butuh (Suara) Kita