"MASALAH ekonomi Indonesia sudah terlalu ruwet dan ribet, tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara konvensional. Harus dengan terobosan-terobosan yang efektif, smart, berani, dan terukur." (Rizal Ramli)
Pemerintahan Presiden Prabowo telah meniupkan angin semilir yang menyejukkan harapan rakyat. Setidaknya sudah ada gerakan "Perubahan" mendorong ekonomi rakyat ditandai antara lain, Gerakan Swasembada Pangan (GSP), Makan Bergizi Gratis (MBG), dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).
Penting jadi perhatian, kerja keras pemerintahan Presiden Prabowo jangan sampai ternodai oleh beberapa isu yang kontraproduktif antara: kebijakan pajak yang kurang bijak; masalah blokir "dorman account" bank; koruptor yang tidak kunjung disikat; dan penegakan hukum yang lemah. Selain itu, dari hasil survei sederhana penulis diketahui bahwa rakyat rindu menunggu "positioning" Prabowo yang mandiri, tidak berada di bawah bayang-bayang siapapun.
Secara pribadi Presiden Prabowo adalah Anak Mas "Trah" ekonomi kerakyatan dari ayahnya begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo dan kakeknya perintis koperasi di Banyumas, Margono Djojohadikusumo. Dengan demikian, secara teoritis DNA "political influence" Prabowo dapat dipastikan akan konsisten mendukung demokrasi ekonomi sesuai Pasal 33 dan 34 UUD 1945.
Gagasan demokrasi ekonomi yang diusung oleh Bung Hatta sesuai pasal 33 dan 34 UUD 1945 terinspirasi dari model ekonomi di negara-negara Nordik. Pada tahun 1925, Bung Hatta mengunjungi Swedia dan Denmark guna mempelajari sistem koperasi di sana.
Bung Hatta mengambil esensi dari koperasi Nordik yang berlandaskan pada kolektivisme dan keadilan ekonomi, lalu memodifikasinya dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia untuk menciptakan sistem ekonomi yang sesuai dengan karakter dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia.
Tujuannya jelas untuk mencapai Kesejahteraan Bersama, bukan pola ekonomi Liberal-Kapitalis yang pro kesejahteraan individu atau kelompok tertentu saja.
Demokrasi Ekonomi Politik Indonesia
Dari Perspektif Ekonomi Politik, Pasal 33 dan 34 UUD 1945 merupakan fondasi ideologis yang fundamental bagi sistem perekonomian Indonesia. Kedua pasal ini mencerminkan komitmen negara terhadap demokrasi ekonomi dan kesejahteraan sosial, yang menentang model ekonomi liberal-kapitalis yang berorientasi pada pasar bebas (free market) sepenuhnya.
Pertama, "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan": Sistem ekonomi Indonesia tidak boleh didasarkan pada persaingan bebas yang brutal, melainkan pada prinsip kerja sama dan gotong royong. Meskipun hingga kini belum terwujud sepenuhnya.
Kedua, "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara": Topik ini paling krusial yang sering menjadi perdebatan. Dalam perspektif ekonomi politik, "dikuasai oleh negara" dapat diinterpretasikan antara lain: (a) Kepemilikan Penuh: Negara memiliki aset dan mengelola langsung sektor-sektor publik melalui BUMN; (b) Pengendalian dan Regulasi: Negara tidak harus memiliki seluruh aset, tetapi memiliki kewenangan kuat untuk mengatur harga, distribusi, dan memastikan ketersediaan layanan publik. Hal ini memungkinkan partisipasi swasta sambil tetap menjaga kepentingan publik.
Dalam kenyataannya, sejak era reformasi, terjadi pergeseran kebijakan yang lebih condong ke arah liberalisasi dan privatisasi, yang sering kali dianggap bertentangan dengan semangat Pasal 33.
Ketiga, Kesejahteraan sosial: Menunjukkan Negara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan jaring pengaman sosial. Kesejahteraan bukan hanya hasil dari pertumbuhan ekonomi, melainkan hak yang harus dijamin oleh negara.
Secara politis, para elit sering kali menggunakan narasi Pasal 33 dan 34 untuk mendapatkan dukungan publik. Ternyata dalam implementasi kebijakan, mereka cenderung lebih pragmatis dan terpengaruh oleh kepentingan pasar global serta kekuatan oligarki domestik.
Hal inilah yang menyebabkan inkonsistensi penerapan pasal 33 dan 34 UUD 1945 yang seharusnya secara konstitusional menjadi pedoman utama ekonomi bangsa dan negara Indonesia.
Realitas Penyimpangan Idealisme Demokrasi Ekonomi
Realitas penerapan Pasal 33 dan 34 UUD 1945 sebagai konstitusi acuan demokrasi ekonomi tidak kunjung konsisten karena berbagai faktor.
Inti masalahnya terletak pada perbedaan penafsiran terhadap pasal-pasal tersebut:
Pertama, Interpretasi yang Berbeda: Terdapat beragam penafsiran terhadap makna "dikuasai oleh negara" dan "asas kekeluargaan." Sebagian pihak menafsirkan bahwa negara harus sepenuhnya menguasai sektor-sektor strategis, sementara pihak lain berpendapat bahwa penguasaan oleh negara bisa berbentuk regulasi, bukan kepemilikan.
Kedua, Pengaruh Ekonomi Global dan Neoliberalisme: Pasca krisis moneter 1998, Indonesia sangat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Mereka mendorong kebijakan yang mengarah pada liberalisasi pasar, deregulasi, dan privatisasi. Kebijakan ini seringkali bertentangan dengan prinsip penguasaan negara dan asas kekeluargaan.
Ketiga, Dominasi Kepentingan Kelompok dan Oligarki: Kekuasaan ekonomi dan politik cenderung terkonsentrasi pada sekelompok kecil elit. Mereka memiliki pengaruh besar dalam pembentukan undang-undang dan kebijakan yang lebih menguntungkan kepentingan bisnis mereka, bukan kepentingan rakyat banyak.
Keempat, Masalah Kebijakan Pelaksana: Banyak undang-undang dan peraturan pelaksana yang dibuat setelah UUD 1945 diamandemen tidak sepenuhnya mencerminkan semangat demokrasi ekonomi. Seringkali, aturan-aturan tersebut justru membuka celah bagi masuknya modal asing secara berlebihan atau praktik monopoli oleh swasta.
Kelima, Orientasi Pembangunan yang Pragmatis: Terkadang, tujuan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek (pragmatisme) lebih diutamakan daripada visi jangka panjang untuk mencapai keadilan sosial dan pemerataan ekonomi.
Jalan Kembali
Menerapkan demokrasi ekonomi sesuai Pasal 33 dan 34 UUD 1945 secara konsisten bukanlah hal yang mudah dan memerlukan strategi multi-sektoral. Ini membutuhkan komitmen politik yang kuat, perubahan kebijakan struktural, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat:
Pertama, Memperkuat Peran Negara dan BUMN: Memperkuat peran negara dalam mengendalikan sektor-sektor strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak antara lain: (1). Reorientasi BUMN: mengubah orientasi BUMN dari profit-oriented ke public-service oriented; (2). Pengendalian Sumber Daya Alam: Negara harus memiliki kontrol penuh atas pengelolaan sumber daya alam. Pengelolaan ini harus transparan dan hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan segelintir korporasi; (3). Penguatan Regulasi: Pemerintah harus membuat regulasi yang ketat guna mencegah monopoli dan persaingan yang tidak sehat, serta melindungi UMKM.
Kedua, Mendorong Partisipasi Ekonomi Kerakyatan; "Asas kekeluargaan" yang menjadi landasan Pasal 33 menuntut penguatan ekonomi kerakyatan, bukan hanya ekonomi yang berpusat pada konglomerat besar: (a). Pemberdayaan Koperasi: Koperasi harus dihidupkan kembali sebagai soko guru perekonomian; (b). Dukungan untuk UMKM: meliputi memberikan akses pembiayaan, pemasaran termasuk pemasaran digital, kebijakan yang pro-UMKM misalnya prioritas dalam proyek-proyek pemerintah.
Ketiga, Implementasi Jaminan Sosial yang Menyeluruh: Sesuai amanat Pasal 34, negara wajib menjamin kesejahteraan rakyat sebagai hak konstitusional mencakup Jaminan Sosial menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk pekerja informal dan kelompok rentan.
Keempat, Reformasi Kebijakan dan Penegakan Hukum: Strategi paling fundamental adalah reformasi kebijakan yang memihak rakyat dan penegakan hukum yang adil. Pemberantasan Korupsi dan Praktik Oligarki yang menjadi hambatan utama dalam penerapan demokrasi ekonomi. Penegakan hukum yang tegas terhadap praktik-praktik ini akan menciptakan iklim yang lebih adil dan merata.
Komparasi dengan Negara Nordik
Bung Hatta muda memiliki obsesi untuk mencoba pola ekonomi politik negara Nordik (Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, dan Swedia) yang lebih manusiawi sejalan dengan budaya Indonesia gotong royong.
Ternyata kemudian Indonesia dan negara Nordik memiliki kesamaan dalam visi konstitusional untuk mewujudkan perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan bersama, bukan hanya keuntungan individu.
Namun, dalam praktiknya, negara-negara Nordik telah lebih konsisten dalam menerapkan model "demokrasi sosial" mereka melalui sistem perpajakan progresif yang kuat, layanan publik universal, dan jaring pengaman sosial yang komprehensif. Sebaliknya, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengimplementasikan amanat Pasal 33 dan 34 secara konsisten akibat dominasi kekuatan pasar global dan kepentingan oligarki domestik, sehingga kesenjangan sosial makin menjadi masalah.
Kunci sukses negara-negara Nordik berhasil mencapai negara kesejahteraan (welfare state) yang komprehensif dan berkelanjutan:
Pertama, Sistem Pajak yang Progresif dan Tingkat Pajak Tinggi: Berarti individu dengan pendapatan lebih tinggi dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi. Meskipun pajaknya tinggi, mayoritas warga Nordik mendukung sistem ini karena mereka melihat manfaatnya secara langsung dalam bentuk layanan publik yang luar biasa.
Kedua, Layanan Publik Universal dan Komprehensif: Layanan publik berkualitas tinggi untuk semua warga negara, tanpa memandang status sosial atau ekonomi mencakup Pendidikan Gratis, Layanan Kesehatan Universal, dan Jaminan Sosial yang Kuat.
Ketiga, Kepercayaan Sosial dan Rendahnya Tingkat Korupsi: Warga percaya bahwa pajak yang mereka bayar akan digunakan secara efisien dan transparan untuk kepentingan publik, bukan dikorupsi oleh pejabat.
Keempat, Pasar Tenaga Kerja yang Fleksibel: Model Nordik menggabungkan jaring pengaman sosial yang kuat dengan pasar tenaga kerja yang fleksibel disebut "flexicurity" (fleksibilitas + keamanan).
Memperhatikan analisis di atas, penulis mencoba menyusun pendapat yang bisa memberikan gambaran masalah yang komprehensif:
(1). Dari periode awal kemerdekaan RI, kelompok "oligark" tertentu senantiasa berupaya membelokkan prinsip Demokrasi Ekonomi Politik ke arah Liberal-Kapitalis dengan tujuan "kebebasan" menguasai Sumber Daya Ekonomi (SDE).
(2). Pemerintah seringkali tidak menyadari akibat dari butir (1) di atas, yang mengangkangi konstitusi dan telah menggagalkan tujuan negara mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (Welfare State).
(3). Presiden Prabowo menjadi tumpuan terakhir harapan mayoritas rakyat yang hampir merasa putus asa setelah 80 tahun Merdeka masih bergelimang dalam lumpur kemiskinan.
Bagi bangsa Indonesia yang besar ini, tidak ada jalan lain selain kembali ke Demokrasi Ekonomi Politik sesuai Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Tentu dengan Kesadaran, Kekuatan, dan Gerakan Bersama. [*]
"Dirgahayu HUT ke-80 RI, Merdeka"
Jakarta, 17 Agustus 2025
Penulis: Dr. Iramady Irdja, Analis Ekonomi Politik, Mantan Pegawai Bank Indonesia