Padangkita.com – Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumatera Barat Eri Gusman menyebut Sumbar sedang dalam status darurat kekerasan terhadap anak. Dari tahun ke tahun laporan kasus kekerasan terhadap anak cenderung meningkat.
LPA Sumbar mencatat ada 58 laporan yang masuk pada 2014, 117 laporan 2015, 108 laporan 2016, dan mendekati 100 laporan hingga Oktober 2017. Angka tersebut, kata Eri, belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan ke LPA Sumbar.
“Dalam dua tahun terakhir, pelaku kekerasan juga dari kalangan anak-anak itu sendiri,” ujar Eri, (09/11/2017).
Kasus kekerasan tersebut, kata Eri, rata-rata didominasi oleh tindak kekerasan seksual yang jumlahnya mencapai 58 persen. Selain itu, juga ada kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak.
Pelaku kekerasan, lanjut Eri, cenderung berasal dari orang-orang terdekat korban, seperti kerabat, lingkungan, dan sekolah.
Ada pun penyebab masih maraknya kasus kekerasan terhadap anak, antara lain orang tua kurang memperhatikan anak, terlalu percaya dengan anak, terlalu percaya dengan orang lain, pengaruh kemajuan informasi dan teknologi, dan pudarnya norma-norma agama dan susila di tengah masyarakat.
Eri juga mengkritik ketidaksiapan pemerintah dalam penanggulangan korban kekerasan. Pemerintah menyiapkan berbagai peraturan dan kebijakan, tetapi implementasinya tidak tampak. Misalnya, soal Rumah Sosial Perlindungan Anak (RPSA). Menurutnya, RPSA memang telah disiapkan, tetapi anggaran untuk operasionalnya tidak disediakan. Padahal setiap RPSA membutuhkan tenaga seperti psikolog, dokter, kesehatan anak, guru pendidikan agama, dan sebagainya.
Selama ini, kebanyakan korban hanya dikembalikan ke keluarga, tidak ada upaya rehabilitasi. Kondisi ini tentu akan mengganggu masa depan anak akibat trauma. Di samping itu, peningkatan jumlah kekerasan juga berpotensi terus terjadi.
“Pada kasus kekerasan seksual, korban anak perempuan rentan untuk kembali menjadi korban, sedangkan korban anak laki-laki akan menjadi pelaku. Upaya rehabilitasi memang sangat dibutuhkan,” kata Ketua STIH Padang ini.
Untuk memastikan tidak lagi terjadi tindak kekerasan terhadap anak, perlu adanya ketegasan penerapan hukum. Sekarang untuk kekerasan seksual, sudah UU yang mengatur kebiri dan hukuman mati terhadap predator anak. Pemerintah, kata Eri, harus berani memberikan hukuman yang berat terhadap para predator anak.
“Misalnya, untuk kasus yang di Sijunjung kemarin. Belasan anak sudah jadi korban. Pelakunya itu termasuk predator anak. Kalau pemerintah berani memberikan hukuman kebiri atau mati, itu pertama kali terjadi di Indonesia,” ujarnya.
Selain penerapan hukum yang tegas, semua pihak juga diharapkan untuk lebih serius melakukan pencegahan terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak. Khusus untuk masyarakat Sumbar yang kebanyakan orang Minang, kata Eri, perlihatkanlah karakter Minangkabau yang sesungguhnya, jangan hanya sebatas slogan.
Sementara itu, Direktur Women's Crisis Center Nurani Perempuan Yefri Heriani memandang kekerasan terhadap anak di Sumatera Barat semakin beragam. Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian oleh pemerintah.
Kekerasan itu, kata Yefri, tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, psikologis, ekonomi (penelantaran), atau seksual, tetapi juga kekerasan dalam bentuk lainnya. Misalnya, pemaksaan anak korban perkosaan untuk aborsi, pemaksaan anak untuk menjadi pekerja seks, atau pemaksaan tanpa sadar kepada anak untuk masuk ke garis aliran fundamentalis.
“Bentuk-bentuk itu belum dianggap pemerintah sebagai kekerasan. Padahal sebenarnya itu termasuk kekerasan,” ujar Yefri di kantornya, Rabu (08/11/2017).
Untuk ideologi fundamentalis yang dimasukkan ke anak sejak dini, pemerintah mesti meresponnya dengan segera. Kalau tidak, negara akan sangat dirugikan. Masuknya aliran fundamentalis akan membuat anak-anak tidak mempunyai kacamata keberagaman dalam memandang suatu realita sosial.