Cerita Foto
Perubahan Eksistensi Kawasan Pantai Padang dan Gunung Padang
Pada edisi kedua ini, Cerita Foto masih seputar objek yang berada di Kota Padang: Gunung Padang dan Pantai Padang. Dua objek yang menjadi satu kesatuan dalam bidikan kamera ini, punya cerita panjang. Rentangnya bisa lebih panjang dari garis pantai kota ini yang sekitar 84 Km.
Siang itu, umat muslim baru saja bubar meninggalkan masjid usai menunaikan salat Jumat. Fotografer Padangkita.com, Apid Sutan Kayo langsung berkemas, menyiapkan peralatan. Cuma sebentar, ia sudah duduk di atas motor bebeknya. Nyalakan mesin, meluncur ke arah "Taplaw". Tak tahu persis kapan dan bagaimana mulai munculnya, namun sejak lama Pantai Padang lebih sering disebut dengan Taplaw, yang merupakan akronim dari "tapi lawik" (tepi/pinggir laut).
Tak butuh waktu lama, Apid sudah berdiri di tempat yang dituju, Taplaw. Persisnya di titik, depan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Muaro Padang. Jumat siang (10/1/2020) itu, jarum jam menunjuk angka 2, pukul 14.00 WIB. Langit Kota Padang agak berawan. Apid mau membidik bagian pantai berlatar Gunung Padang.
Kali ini, Redaksi Padangkita.com memang telah menyepakati, foto lama yang akan "diceritakan" versi barunya adalah foto lama yang diambil kira-kira tahun 1910-an, sumbernya dari digital collections - Univ. Leiden, Belanda. Objeknya begitu jelas, dan perubahan juga tak terlalu banyak.
"Sejak awal melihat foto lama itu, saya memperkirakan titik pengambilannya dari arah sekitar pantai seberang LP Muaro. Jadi, karena tak banyak perubahan, nyaris tak ada kesulitan untuk mengambil lagi," kata Apid.
Secara kasat mata memang tetap ada perubahan yang terlihat. Salah satunya, di foto lama nampak bangunan dam pengaman pantai, yang sudah sejak lama hilang ditimbun pasir. Zahrul Umar, Pengurus Himpunan Ahli Teknik Hidraulik, Sumbar, dalam tulisannya yang terbit di Padang Ekspres, menyebut infrastruktur yang hilang bukan itu saja.
Pada tahun 1938-1967 di Pantai Padang, kata Zahrul, tepatnya di depan Gedung Pusat Kebudayaan Sumbar arah ke laut, terdapat gedung Wisma Pancasila. Sekarang gedung itu tidak ada lagi karena sudah runtuh akibat abrasi.
Dari analisanya, seandainya tidak dibangun krib, maka sejak tahun 1970 sampai saat ini garis Pantai Padang akan berkurang sekitar 100 meter dari bibir pantai. Setelah dibangun krib, ulas dia, Pantai Padang dapat dipertahankan, bahkan bertambah, seperti pantai di kawasan Danau Cimpago dan belakang Hotel Pangeran.
Kacuali yang disampaikan Zahrul, perubahan lainnya kata Apid, "Yang pasti, pada foto lama pantai nampak bersih. Kini, setidaknya waktu saya mengambil foto, banyak sampah, plastik-plastik dan sisa-sisa kemasan produk berserakan."
Kawasan Strategis Pantai Barat
Padahal, kawasan Pantai Padang sudah menjadi destinasi utama wisata Kota Padang. Banyak infrastruktur yang telah dibangun untuk mempercantik, memperindah, sekaligus untuk mengamankan kawasan itu dari hantaman ombak, dan abrasi.
Jalan dua jalur, jembatan, lampu penerangan, trotoar, jejeran batu krib, tugu dan aksesori lainnya, adalah infrastrukur yang dibangun demi menjadikan Pantai Padang sebagai objek wisata yang nyaman bagi pengunjung.
[jnews_block_16 number_post="1" include_post="28559" boxed="true" boxed_shadow="true"]
Di puncak perbukitan Gunung Padang yang pada pada zaman Belanda bernama "Apenberg", juga dibangun tulisan raksasa "Padang Kota Tercinta". Menghabiskan anggaran Rp6 miliar lebih, tulisan raksasa yang menduplikasi ide "Hollywood" di Amerika Serikat itu, sempat mencuri perhatian.
Sayang, berdiri sejak 2017 huruf-huruf tulisan yang menyala terang pada malam hari itu dihabisi api pada November 2019 lalu. Hingga kini, tulisan itu sudah tak kelihatan lagi, karena mulai tertutup rimbunnya hutan perbukitan.
Perubahan fungsi dari eksistensi kawasan itu memang keniscayaan. Tapi satu-satunya yang bergeming adalah, kawasan Pantai Padang tetap menjadi urat nadi Kota Padang. Di laut depan pantai ini pernah berbaris kapal-kapal perang Indonesia bersama 35 negara asing.
Keberadaan kapal-kapal bersenjata di pantai barat Indonesia itu bagian dari kegiatan internasional "Komodo 2016", yang tahun itu bertajuk "2nd Multilateral Naval Exercise Komodo 2016" (MNEK). Saksinya masih berdiri di Muaro Lasak, berupa prasasti dan monumen Merpati Perdamaian.
Negara-negara yang memamerkan kapal perangnya itu adalah Ameriksa Serikat, Kanada, Meksiko, Cina, Korea Selatan, Jepang, Inggris, Perancis, Rusia, Australia, Chile, Belanda, Kolumbia, Selandia Baru, Kuwait, Qatar, Pakistan, Peru, Filipina, Saudi Arabia, Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, India, Laos, Myanmar, Papua Nugini, Singapura, Srilangka, Thailand, Malaysia, Timor Leste, dan Vietnam.
Tak itu saja, sebelumnya pada akhir 2015 Padang dengan keberadaan pantai yang bersisian langsung dengan Samudera Hindia juga menjadi tuan rumah mewakili Indonesia untuk pertemuan tingkat tinggi Persatuan Negara-negara Pesisir Samudera Hindia (Indian Ocean Rim Association/IORA). Kegiatan yang diabadikan dengan monumen ini--sekarang dikenal dengan tugu IORA--telah menjadi salah satu spot berfoto wisatawan.
Dilacak jauh ke belakang, eksistensi Pantai Padang justru jauh lebih penting dan strategis. Sejak abad ke-16, atau persisnya sejalan dengan kedatangan pedagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1663, kawasan Pantai Padang adalah bagian dari zaman keemasan jalur perdagangan Pantai Barat
Pantai Padang dengan Pelabuhan Muaro, Teluk Mandeh, Inderapura, Pesisir Selatan (Pessel), hingga ke ujung Aceh, adalah kawasan yang sangat ramai hingga akhir abad ke-19. Pada rentang waktu abad ke-16 hingga awal abad ke-19, kapal-kapal VOC hilir mudik membawa beragam komoditas hasil bumi.
Meredup, Lalu Jadi Objek Wisata
Sejarawan Universitas Andalas, Padang, Gusti Asnan, sebagaimana dikutip Kompas.com, menyebutkan sejak akhir abad ke-19 cahaya keemasan di pantai barat Sumatera mulai meredup. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain, beragam komoditas ekspor dari pantai timur Sumatera menjadi sangat dibutuhkan dunia ketika itu. Sementara masa lada dan emas di pantai barat Sumatera, terus tenggelam. Apalagi relatif tidak dibutuhkannya lagi sejumlah komoditas, seperti kapur barus dan kemenyan oleh pasar internasional.
Faktor lainnya adalah pembangunan Pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) pada 1880 di tengah masa meredupnya era keemasan itu. Gusti dalam tulisannya menyebut, Teluk Bayur dibangun sebagai pelabuhan tercanggih di Asia Tenggara pada masanya untuk melayani kebutuhan transportasi batubara dari Ombilin, Sawahlunto, yang mulai ditambang Belanda pada pengujung abad ke-19.
Otomatis Pelabuhan Muara dengan pintu gerbang Gunung Padang dan Pantai Padang pun berubah fungsi. Tak ada lagi kapal-kapal dagang besar singgah di Pelabuhan Muaro. Hingga kini, Pelabuhan Muaro di kawasan Pantai Padang itu hanya menjadi pelabuhan yang melayani penyeberangan umum ke Mentawai, sekaligus tempat sandar kapal-kapal nelayan dan kapal-kapal wisata.
Kawasan Batang Arau, Muaro pun makin cepat "menua". Bangunan-bangunan jangkung peninggalan VOC itu kini menjadi bukti, betapa pentingnya Pelabuhan Muaro, Gunung Padang, dan Pantai Padang. Kini namanya Kota Tua, menjadi lokasi favorit wisatawan untuk berfoto. Kawasan itu menjadi satu paket pengembangan wisata dengan Pantai Padang, hingga ke Pantai Air Manis.
Zaman berubah, arti penting objek atau kawasan pun demikian. Dulu pusat perdagangan dunia, kini menjadi andalan dalam sektor wisata. Agar selevel, wisatanya juga mesti naik, mendunia. (Redaksi/pk-01)