Payakumbuh, Padangkita.com - Sumur tertua di Payakumbuh menjadi saksi sekaligus bukti sejarah dimulainya asimilasi budaya di kota ini. Nah, kini di manakah sebetulnya letak sumur itu?
Tanjuang Himpun atau Tanjuang Alai adalah sebuah kawasan di Kampuang Dalam, Nagari Aia Tabik, Kecamatan Payakumbuh Timur. Di kawasan Tanjuang Himpun inilah, persisnya di belakang rumah gadang kaum Datuak Panjang Suku Payobada, terdapat sebuah sumur atau lebih tepat disebut sebagai lubuk karena bentuknya yang kecil dan dangkal.
Penduduk di Nagari Aia Tabik mengenal sumur di Tanjuang Himpun atau Tanjuang Alai sebagai ini "Luak". Namun, Ketua Panitia Peresmian Kotamadya Payakumbuh pada Desember 1970, HC Israr, lebih suka menyebutnya sebagai sumur.
Menurut HC Israr dalam sejumlah tulisannya, sumur di Tanjung Himpun, Nagari Aia Tabik, dibuat ratusan tahun lalu. Sehingga boleh dibilang, inilah sumur tertua atau sumber air pertama yang sengaja dibuat di Payakumbuh.
Lalu, siapa yang membuat sumur ini? Untuk menjawabnya, pembaca perlu menyimak “Kisah Rombongan 50 dan Tiga Orang Penghuni Pertama Kota Payakumbuh” yang dimuat Padangkita.com pada Sabtu (19/9/2020).
Dalam kisah ini disebutkan, bahwa ada 50 orang dari lereng Gunung Marapi di Pariangan, Tanah Datar, yang berjalan menuju kaki Gunung Sago, Limapuluh Kota, untuk mencari permukiman baru. Dalam perjalanan, mereka berpencar-pencar. Diantaranya, ada yang datang ke Payakumbuh, tepatnya ke kawasan yang disebut sebagai “Kumbuah Nan Payau” atau “Payau Nan Kumbuah”, “Titian Aka” (Tiaka), dan “Aia Tabik”.
Baca Juga: Kisah Rombongan 50 dan Tiga Orang Penghuni Pertama Kota Payakumbuh
Saat anggota rombongan 50 kaum dari Pariangan ini datang, ternyata di kawasan “Kumbuah Nan Payau” atau “Payau Nan Kumbuah”, “Titian Aka”, dan “Aia Tabik”, sudah ada tiga orang yang lebih dahulu menghuninya. Yakni, Jano Katik atau Jhino Kotik di "Aia Tabik". Kemudian, Rajo Panawa atau Raja Pendawa di "Titian Aka" dan Barabih Nasi di Kumbuah Nan Payau atau Payau Nan Kumbuah. Mereka disebut sebagai "Niniak Nan Batigo" atau "Tigo Niniak" (Tiga Nenek Moyang).
Nah, mengingat sudah ada tiga orang yang lebih dahulu menghuni kawasan “Kumbuah Nan Payau” atau “Payau Nan Kumbuah”, “Titian Aka”, dan “Aia Tabik” ini, maka anggota rombongan 50 kaum dari Pariangan, menggelar pertemuan atau musyawarah dengan "Niniak Nan Batigo" tersebut.
Musyawarah yang bisa jadi merupakan rapat akbar perdana di Payakumbuh ini, digelar di Tanjuang Alai, Aia Tabik. Kemudian, nama Tanjuang Alai ini disebut juga sebagai Tanjuang Himpun karena menjadi tempat berhimpun atau tempat bermusyarawah nenek moyang masa lalu.
Dalam pertemuan di Tanjuang Himpun tersebut, anggota rombongan kaum 50 dari Pariangan, Tanah Datar, sadar betul kalau mereka tinggal di daerah yang telah ada penghuninya. Karena itu, mereka wajib mengikuti tatanan adat setempat. Ibarat pepatah Minang, "limbago mesti dituang, cupak meski diisi". Mereka tidak bisa semena-mena saja, tetapi harus seiya-sekata dengan pemilik daerah.
Sedangkan Jano Katik, Rajo Panawa, dan Barabih Nasi selaku "Niniak Nan Batigo", dalam pertemuan Tanjung Himpun juga tidak mau mengedepankan kesombongan. Mereka, enggan bersikap primodialisme (kedaerahan) berlebihan. Tetapi justru menerima pendatang dengan tangan terbuka. Sebab mereka sadar, masih banyak daerah yang bisa diteruka. Masih ada lahan yang belum dijadikan sawah. Masih ada tanah untuk dijadikan kebun.
Dengan sikap saling menghormati ini, tidak heran, bila musyarawah atau pertemuan Tanjuang Himpun di Aia Tabik, melahirkan sebuah kesepakatan bermakna persaudaraan. Intinya, anggota kaum 50 yang datang dari Pariangan, bersedia mengikuti aturan adat yang sudah ada.
Sedangkan "Niniak Nan Batigo" atau "Tigo Niniak" yang ada di payakumbuh, resmi menganggap anggota rombongan kaum 50 sebagai saudara mereka sendiri. Karena sudah saudara, mereka dibolehkan malaco atau meneruka di sekitar kawasan "Payau Nan Kumbuah", "Aia Tabik", dan "Titian Aka"
"Untuk lebih mempertegas hasil musyawarah ini, Niniak Nan Batigo dan anggota rombongan Kaum 50 dari Pariangan, Tanah Datar, menggali sumur di Tanjuang Himpun. Sumur itulah yang sampai sekarang masih ada dan bisa dijadikan bukti sejarah. Keterangan ini juga dibenarkan oleh Pewaris Rajo Mufakat Luak Limopuluah, Syamsir Alamsyah Datuak Marajo Indo Mamangun, tahun 2000-an silam.
Di sisi lain, sikap rombongan 50 kaum dari Pariangan, Tanahdatar yang bermusyawarah "Niniak Nan Batigo" di Tanjung Himpun, lalu membuat sumur atau lubuk sebagai simbol persaudaraan d tempat tersebut, menjadi catatan menarik banyak tokoh di Payakumbuh. Termasuk diantaranya, tokoh muda Wendra Yunaldi.
Menurut Wendra, spirit dari musyawarah atau pertemuan nenek moyang Payakumbuh di Tanjuang Himpun, ditiru dan ditauladani. Apalagi pada zaman milenial sekarang. Zaman dimana orang gampang untuk terpecah-belah. Hidup dengan berbagai warna dan bendera. Zaman di mana musyawarah mulai tidak menjadi raja.
"Jika kita di Payakumbuh hari ini masih mengedepankan primordialisme sempit, maka belajarlah dari sejarah Niniak Nan Batigo dan rombongan kaum 50 dari Tanah Datar yang bermusyawarah di Tanjuang Himpun. Sejarah ini memberikan kearifan kepada kita, bahwa proses asimilasi budaya itu di Payakumbuh sudah berlangsung lama dan paripurna. Peran kita bersama untuk menjaga keberagaman ini," kata Wendra. [pkt]