Padangkita.com - Banjir besar yang melanda Kota Padang pada 29 September 1907, mendorong pemerintah kolonial Belanda berpikir keras untuk mengatasi agar tidak berulang.
Banjir adalah keniscayaan bagi Padang bila disigi geografisnya, dengan topografi sempit pada dataran.
Sungai-sungai besar yang mengalir dari hulu tidak terlalu panjang dan lebar, tapi memiliki kemiringan yang membawa air cepat mengalir ke pusat kota yang datar, sebelum berlabuh di Samudera Hindia.
Di masa lalu, banjir yang cukup besar dan diingat tentu saja di akhir bulan September 1907. Banjir ini, mengutip Algemeen Handelsblad, 26-10-1907, menyebabkan satu orang tewas dan banyak ternak tenggelam. Kerugian ditaksir sebesar 2 ton emas.
Kemudian hari, banjir ini menjadi salah satu dalih bagi pimpinan Padang saat itu meminta ‘B.O.W’ (Burgerlijke Openbare Werken) atau Dinas Pekerjaan Umum, untuk mendesain tata kota berbasis pengendalian banjir.
Dalam laporan B. O. W. Selama tahun 1911 sampai 1913, untuk mengatasi banjir, maka mesti melakukan tiga hal yakni; menggali saluran drainase, mendorong air di Batang Arau agar masuk ke saluran drainase, dan memanfaatkan drainase tersebut untuk jalan atau lalu lintas.
Jadi, sebagaimana ditulis di Indisch Bouwkundig Tijdschrift, 28 Februari 1917, pada mulut kanal dikunci, diikuti dengan pembangunan pintu air untuk kebutuhan sawah dan usaha di Alai.
Saat bersamaan, saluran drainase (kanal) juga dibangun antara Lubuk Begalung dengan Purus.
Kanal besar juga dibangun, namun dalam penggaliannya mengalami kesulitan karena persoalan tanah dan air hujan.
Kanal awalnya dibangun antara Alai dengan ujung Belantung (maksudnya jalan Rasuna Said saat ini). Selanjutnya diteruskan ke Purus, mulut muara.
“Di sisi lain, lokasi di mana air dari kanal turun mengalir ke mulut Purus, sering tidak lancar setahun awal karena ada semacam gundukan tanah (gosong) di mulut muara, sehingga air kadang tertambat,” demikian penjelasan dari pihak pelaksana proyek saat itu.
Agar saluran drainase tetap memiliki kapasitas yang memadai di mulut saluran, maka diputuskan untuk mengangkut kapal pengeruk yang ditempatkan di mulut Batang Arau, melalui pelabuhan layanan pelabuhan ke Purus.
“Sampai dua kali, ia berusaha menarik kapal pengeruk ini ke arah laut yang tinggi melintasi bukit pasir, namun saat tiba di sana selalu ganjalan,” tulis Indisch Bouwkundig Tijdschrift.
Tantangan lain dalam pembebasan Padang dari banjir bukan saja pengerjaan drainase hingga kanal yang sulit, melainkan juga infrastruktur yang sudah ada atau melintas di koridor drainase dan kanal.
Infrastruktur yang menjadi kendala tentu saja rel kereta api. Tahun 1914, moda transportasi kereta api menjadi vital karena satu-satunya angkutan masa. Sehingga selalu sibuk lalu lalang membawa penumpang.
Ketika kanal melewati Alai, persis beririsan dengan rel kereta api dan saluran air. Untuk melancarkan pengerjaan kala, maka jembatan yang membentang diatasnya serta saluran air mau tak mau harus dibuka.
Akhirnya, ada banyak tantangan dari mereka yang memanfaatkan air tersebut sepertii dari pemilik penumbuk padi, Setelah bertahun-tahun bernegosiasi dengan pemiliknya, namun tidak membuahkan hasil. Hingga akhirnya, sempat dilakukan penghentian penggalian.
Selanjutnya, ketika banjir kanal semakin terbuka karena penggalian yang menyambungkan dari aliran Batang Arau ke Purus, semakin mendekati kenyataan, jembatan penghubung antar konsentrasi penduduk pun dibangun.
Ada lima jembatan yang dibangun yakni di Marapalam, Andalas, Jati, Ujung Belantung (jalan Rasuna Said), dan Purus.
Demikian sepenggal kisah pemerintah kolonial Belanda melalui B.O.W, membangun infrastruktur pengendali banjir. Pembangunan Padang di masa kolonial berbasis kondisi alam dan morfologi kota.
Letak Padang di tepian samudera yang luas, dikatakan akademisi Universitas Bung Hatta (UBH) Eko Alvares dalam buku Paco-paco (Kota) Padang, karya Freek Colombijn, pembangunan perkembangan kota dilakukan melalui strategi ekspansi saluran air dan kanal. Ini merupakan cara mencegah banjir.
Kini fisik pengendalian banjir peninggalan Belanda masih menjadi wajah Padang. Namun sayang tidak sanggup menghentikan banjir yang selalu menghampiri Padang jika hujan turun dengan intensitas tinggi dan lama.
Banyak faktor yang menjadi penyebabnya jika ditelaah lebih jauh. Antara lain, daerah resapan air di sisi timur yang berubah fungsi, lalu drainase perkotaan yang tidak memadai dan sering tersumbat, serta belum adanya fisik tambahan yang mestinya harus ada ketika kota terus bertumbuh dan berkembang.
Guru Besar Teknik Tanah dan Air Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas Isril Berd, menilai banjir hebat yang melanda Padang karena permukaan kawasan tidak mampu menampung volume air yang tinggi sebagai akibat curah hujan yang tinggi,
“Kalau volume besar mengalir dari hulu ke hilir, badan sungai tidak sanggup menampung air, tentu melimpah,” ujarnya.
Kota Padang dengan luas 694,96 Km2, menurut Isril, hanya 30 persen yang bisa dijadikan daerah pemukiman dan kegiatan ekonomi lainnya. 70 persen merupakan hutan, atau lereng bukit barisan hutan lindung,
Dalam hal ini, Ketua Forum DAS Kota Padang ini menyebutkan, lima DAS yang ada di Kota Padang dalam keadaan kurang baik alias sudah mulai mengalami degradasi.
“Buktinya karena setiap hujan di kawasan hulu, air selalu keruh dan volume airnya cepat besar. Jadi tidak ada yang tertahan atau sedikit tertahan di hulu DAS,” ujarnya.
Kelima DAS tersebut adalah DAS Kuranji, Aia Dingin, Timbalun, Batang Kandis, dan Batang Harau.
Kondisi demikian, jika tidak ada disegerakan solusi konkret, maka banjir akan selalu datang.