Surat dinas merupakan surat resmi yang harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penulis surat harus berhati-hati dalam menulis agar surat yang ditulis dapat mencerminkan kemampuan dan kualitas pengetahuan si penulis. Bahkan, surat dinas merupakan perwakilan dari diri orang yang menulis surat. Jika ditemukan kesalahan pada penulisan surat, diprediksikan masyarakat dapat meragukan kemampuan pejabat wewenang yang menandatangani surat tersebut.
Salah satu hal yang harus diutamakan dalam penulisan surat ialah memilih kata yang tepat atau tidak bermakna ganda.(ambigu). Misalnya, kata mau dan kata jam. Kata mau bisa bermakna ‘suka’ dan bisa bermakna ‘akan’. Oleh karena itu, penulisan yang tepat ialah kata akan, seperti pada kalimat, “Kegiatan ini akan dilaksanakan pada”, bukan “Kegiatan ini mau dilaksanakan pada”.
Begitu pula dengan kata jam. Kata jam digunakan untuk mengacu pada benda atau bisa juga digunakan untuk menyatakan durasi waktu. Oleh sebab itu, untuk menyatakan waktu pada penulisan surat, digunakan kata pukul. Penerapan kata pukul dapat dilihat pada kalimat, “Pukul berapa sekarang? “ atau “Pukul berapa acara itu dimulai?”.
Contoh lainnya, kata bersamaan. Kata bersamaan digunakan apabila ada yang dilampirkan pada surat. Akan tetapi, kalau tidak ada, dapat digunakan kata melalui atau kata dengan. Hal ini terdapat pada paragraf pembuka, “Melalui surat ini”.
Di samping itu, dalam penulisan surat dinas juga harus dihindari penggunaan singkatan, terutama untuk kata sapaan. Penulisan kata sapaan Bpk, Sdr, dan Sekcam merupakan bentuk yang tidak tepat dan dianggap kurang menghargai orang yang disapa/penerima surat. Penulisan yang benar ialah dengan tidak menyingkat kata sapaan tersebut atau menuliskan secara utuh kata Bapak, Saudara, dan Sekretaris Camat.
Hal lain yang juga ditemukan sebagai kesalahan pada surat-menyurat ialah penggunaan tanda baca pada singkatan nomor induk pegawai, atas nama, dengan alamat, untuk beliau, dan lain-lain, dan nomor surat. Banyak surat yang ditulis belum menggunakan tanda baca yang tepat dalam penulisan singkatan tersebut. Ada yang menggunakan titik pada akhir singkatan, ada yang di tengah singkatan, bahkan ada yang tidak menggunakan tanda titik dalam menggunakan singkatan. Hal tersebut tentunya belum sesuai dengan kaidah penulisan singkatan.
Untuk nomor induk pegawai, singkatan harus ditulis dengan cara pengekalan huruf pertama masing-masing kata, yaitu NIP (tanpa diikuti tanda titik). Sementara itu, singkatan atas nama, dengan alamat, dan lain lain disingkat dengan menggunakan tanda titik, yaitu a.n., d.a., dll. (tidak menggunakan garis miring).
Untuk penulisan nomor surat, boleh ditulis lengkap, boleh disingkat. Bila digunakan bentuk singkat, setelah No harus diberi tanda titik, yaitu No. Setelah itu, baru diikuti tanda titik dua (:). Selain itu, nama pejabat yang menandatangani surat tidak perlu menggunakan tanda kurung atau diapit dengan tanda kurung, antara nama jelas dan NIP juga tidak perlu digarisbawahi.
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis surat diharuskan memiliki pengetahuan dalam hal surat-menyurat. Penulis surat harus mempertimbangkan seperangkat kaidah yang sudah ditetapkan, seperti tata cara penulisan huruf, penulisan kata, dan penulisan tanda baca. Selain itu, kalimat yang digunakan harus ringkas, jelas, dan efektif. Yang terpenting lagi, kalimat harus memiliki unsur-unsur sebuah kalimat, paling tidak unsur subjek dan predikat.
Bila aspek-aspek ini diabaikan, akan muncul kesan negatif terhadap si penulis surat, misalnya dianggap tidak pandai membuat surat atau dianggap tidak pandai berbahasa Indonesia. Bahkan, penilaian yang lebih buruk lagi ialah bahwa si pembuat surat dianggap berpendidikan rendah. Bahasa surat yang demikian akan menjatuhkan harkat dari pejabat dan instansi penulis surat.
Penulis:
Dra. Noviatri, M.Hum
Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas