Padangkita.com- Awaloeddin Latief adalah seorang putra Minangkabau yang bersama para pemuda nasionalis lainnya telah berjuang mengusir penjajah Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali di akhir 1940-an.
Awaloeddin lahir di Kampung Bawah Balai, Sungai Tarab, Batusangkar, pada 14 September 1924. Ayahnya bernama Abdoel Latief Datuak Simaradjo, seorang pengusaha pertanian yang cukup berada, dan ibunya bernama Salamah (istri kedua dari empat istri ayahnya). Awaloeddin mengenyam pendidikan dasar di Batusangkar, Payakumbuh, dan Bukittinggi.
Ketika berusia 24 tahun, saat Belanda melancarkan agresi ke-2 di Bukittinggi (dan daerah-daerah lainnya di Indonesia), Awaloeddin dan kawan-kawan sebayanya langsung terjun ke kancah perjuangan, bergabung dengan PDRI, untuk mempertahankan kedaulatan negaranya.
Ia dan banyak pejuang lainnya mengungsi ke pedalaman, menghindari gempuran tentara Belanda. Pemuda pemberani ini turut mengambil peran dalam perang gerilya pada masa itu.
“Seperti sudah sama kita ketahui, para pejuang PDRI menyingkir ke Kototinggi dan Halaban di pedalaman Minangkabau untuk menghindari aksi bombardemen Belanda yang brutal,” papar Suryadi Sunuri, dosen dan peneliti di Universitas Leiden, Belanda, dilansir dari laman pribadinya, Rabu (16/5/2018).
Menurut Suryadi, salah satu aksi Awaloeddin Latief dan kawan-kawannya yang banyak dikenang oleh generasinya adalah penyusupan yang dilakukannya ke Bukittinggi yang sudah dikuasai Belanda untuk mendapatkan vaksin pemberantas penyakit cacar. Kala itu, cacar sedang berjangkit di pedalaman.
Ia berhasil memasuki kota Bukittinggi dengan berpura-pura menjadi pemberantas cacar (pokken bestrijder), ditemani oleh dua orang perawat, dan bertemu dengan Dr. Zahar, Kepala Rumah Sakit Federal Bukittinggi.
Peti vaksin cacar yang sudah berhasil diperoleh dari Dr. Zahar dibawa kembali ke pedalaman, diberikan kepada Dr. Dt. Itam, Kepala Rumah Sakit Darurat Cakung, Kototinggi. Vaksin ini kemudian digunakan untuk mengobati penduduk yang terserang cacar.
Aksi Awaloeddin lain yang spektakuler adalah ketika ia ditugaskan oleh Letnan Kolonel Dahlan Djambek membentuk gerakan bawah tanah di Bukitinggi yang sudah dikuasai Belanda. Tugas itu tentu sangat berbahaya.
Beberapa waktu lamanya Awaloeddin berhasil menyusupkan senjata dan bahan-bahan lainnya yang diperlukan untuk membantu para pejuang di pedalaman. Namun, akhirnya dia ditangkap Belanda karena dikhianati oleh seorang spion pribumi Belanda. “Ia disiksa, bahkan dengan sentruman listrik, sampai pingsan,” jelas Suryadi.
Pemuda ini berhasil meloloskan diri dengan meluncurkan diri di tubir Ngarai Sianok. Ia dan kepala pasukan Belanda, Letnan Goud, serta seorang komandan kompi pasukan Belanda pergi ke tepi ngarai itu untuk mengambil 50 kg emas yang disebut-sebut oleh Awaloeddin dikuburkan oleh pejuang republik di sana.
Cerita itu hanyalah taktik Awaloeddin saja untuk meloloskan diri karena ia sudah tahu pada malam sebelumnya bahwa ia bersama beberapa pejuang lainnya yang tertangkap akan ditembak mati oleh Belanda.
“Siksaan berat yang dialami Awaloeddin Latief dan para pejuang lainnya di penjara Bukittinggi mengindikasikan bahwa dugaan tentang adanya kekerasan terstruktur yang dilakukan Belanda selama Agresi I dan II (1947-1949) di Indonesia, sebagaimana sekarang sedang diperdebatkan di Belanda, sangat mungkin ada benarnya,” imbuh Suryadi.
Siksaan tak terperi yang diterima Awaloeddin di penjara Belanda di Bukittinggi membuat kelelakiannya cacat, yang mempengaruhi jalan hidupnya di kemudian hari. Di usia tuanya, Awaloeddin tinggal di Jawa dan tercatat sebagai seorang veteran perang kemerdekaan. Beberapa penghargaan telah diterimanya, antara lain Bintang Gerilya (1958) dan Piagam Veteran Pejuang Kemerdekaan RI (1981).
Awaoleddin menukilkan kisah hidupnya dalam sebuah memoar berjudul Awaluddin Latief: kisah nyata pada masa revolusi; kepahlawanan, tragedi cinta dan pengorbanan (Jakarta: t.p, [1997]).
Awaloeddin Latief meninggal pada 23 Februari 2005 di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. “Tunai sudah tugas patriotik seorang anak Minangkabau kepada bangsa dan negaranya,” tutup Suryadi.