Padangkita.com - Emas menjadi pendulum ketenaran bagi pulau Sumatra, tidak terkecuali Minangkabau di masa lalu. Catatan-catatan pengelana masa lalu, sudah menyebut Ophir, dan sekitar Pagaruyung sekarang seperti Saruaso di Tanjung Emas, sebagai pusat penghasil emas.
William Marsden, dalam bukunya History of Sumatera (1783), mengatakan, Sumatra pernah diduga sebagai Ophir, tempat armada Solomon (Sulaiman) mengambil muatan emas dan gading.
Baca juga : Tambang Salido, Jejak Tambang Emas Tertua yang Terlupakan
Meski dugaan tentang Ophir menurut Marsden tak berdasar, tapi menurutnya pulau ini memang penghasil emas utama, tiada tara.
Ophir, seringkali dikaitkan dengan 'nama purba ini', sebagaimana dikenal luas dengan penamaan Gunung Ophir, dan hari ini disebut Gunung Talamau, masuk wilayah Pasaman Barat hari ini. Tapi bisa jadi merujuk pada Bukit Barisan hari ini, mengingat aktivitas menambang emas sudah menjadi pekerjaan turun temurun di ceruk-ceruk Bukit Barisan, hingga sungai-sungai besar yang mengalir di lembahnya.
Sangat masuk akal juga, tentu saja kawasan Minangkabau, yang dianggap membentang secara kultur di pusar Bukit Barisan, pulau Sumatra.
Berikutnya, jaminan Minangkabau sebagai penghasil emas terpatri dari Manggani, Salido, hari ini sepanjang sungai Batang Kuantan, sungai-sungai lebar lainnya di wilayah Solok Selatan, dan Dharmasraya.
Tempo dulu, emas adalah komoditi populer, paling dicari, di samping lada, pala, dan barus. Tentu saja, catatan-catatan atau laporan pengelana, menjadi masukan berharga bagi bangsa Eropa yang memerlukannya, dan menjadi magnet untuk mereka taklukkan di kemudian hari.
Kabar dari Luiz de Camoens (1524-1580), penyair kebangsaan Portugis, dalam Os Lusiadas tentang Gunung Ophir, kaya dengan emas, diduga menjadi salah satu yang mendorong bangsa-bangsa eropa termasuk Belanda untuk datang ke Sumatra.
Berbekal cerita tentang Gunung Ophir dan catatan mengenai Minangkabau, menjadi pedoman bagi bangsa seperti Portugis dan Belanda, untuk menjalin hubungan dengan penguasa setempat.
Lambat laun, hasrat menguasai dan menjajah pun timbul.
Seturut yang mereka ketahui, ada Kerajaan Pagaruyung yang berdiri gagah di pedalaman Minangkabau, sekitar Saruaso sekarang. Mereka teramat berpengaruh di jantung Pulau Sumatera, dan dianggap representasi penguasa Minangkabau.
Memiliki titah dari barat seperti pesisir barat Sumatera Barat hari ini, hingga ke pesisir timur sebagaimana disebut daerah-daerah seperti Siak, Indragiri dan Patapan.
Belanda, negeri mungil di Barat Eropa, sangat bernafsu untuk bisa berdagang dan menguasai Minangkabau.
Merajut hubungan dengan Kerajaan Pagaruyung, artinya Belanda melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) ketika itu, harus memulai komunikasi langsung dengan Raja.
Ternyata bukan hal yang mudah bagi Belanda untuk bisa menguasai wilayah pantai timur Sumatera dulunya.
Belanda mulai berdagang dan menempatkan loji-lojinya di wilayah pantai timur Sumatra sejak akhir abad ke 16. Tapi itu tidak diperoleh secara mudah.
Setelah menguasai Malaka dengan menaklukkan Portugis tahun 1641, VOC harus berusaha keras melakukan lobi-lobi terhadap raja-raja kerajaan yang menguasai wilayah strategis di timur Sumatra masa itu. Salah satunya Kerajaan Pagaruyung, penguasa timur Sumatera, seperti Siak, Indragiri, dan Patapan.
VOC sangat bernafsu untuk menguasai wilayah tersebut karena terdapat pelabuhan yang penting bagi perdagangan komoditas lada, rempah-rempah, dan emas.
Istana Pagaruyung adalah tantangan berat bagi VOC. Celakanya, hingga masa itu belum ada orang Eropa yang berani datang ke Pagaruyung dan bertemu Raja (ketika itu diduga bernama Indermansyah - berdasarkan surat yang diterima regent VOC di Padang dan gubernur Belanda di Malaka, tahun 1670).
Sebelum menguasai timur Sumatra, VOC telah lebih dahulu menginjakkan kakinya di Sumatra’s Westkust (pantai barat Sumatra).
Pada tahun 1660-an, VOC telah singgah di Kerajaan Inderapura, melancarkan misi-misi diplomatik untuk diberi konsesi wilayah berdagang di pantai barat Sumatra. Awal Mei 1662, VOC menduduki Pulau Cingkuak (poulo chinco), berdasarkan Traktat Painan. Konsekuensinya, VOC dengan bebas bisa berdagang di pantai barat Sumatra.
Pada tahun 1684, Gubernur Malaka, Cornelis Van Quaalbergen, memerintahkan Thomas Dias, berkebangsaan Portugis yang berada di Malaka ketika itu, untuk melakukan ekspedisi menjelajahi pedalaman Sumatra Tengah dan bertemu dengan Raja Pagaruyung penguasa Minangkabau.
Misi utama dari kunjungan tersebut adalah melakukan diplomasi untuk mendapat persetujuan bagi VOC agar bisa berdagang di Timur Sumatra.
Kisah perjalanan Dias ini dapat ditelusuri dalam laporan perjalanan yang dibuatnya. Sebuah laporan yang sangat rijit. Catatan itu dirankum oleh Timothy P. Barnard lalu memberinya judul “Thomas Dias: perjalanan ke Sumatera Tengah pada tahun 1684”.
Catatan ini adalah sumber penting untuk mengetahui awal mula hubungan antara VOC dengan Raja Pagaruyung masa itu. Selain itu, mengenai perjalanan Dias ini pun pernah dikisahkan oleh Sejarawan Anthony Reid dalam bukunya yang berjudul Witnesses to Sumatra. A Travellers' Anthology.
Perjalanan itu dimulai 28 Mei 1684. Ia bersama rombongannya berlayar dari Malaka menuju Siak. 13 hari kemudian Ia menyauhkan kapalnya di Pelabuhan Siak. Dari Siak Ia melanjutkan perjalanan selama tujuh hari menuju Patapan.
Beberapa hari di Patapan, Dias menerima surat dari Raja Pagaruyung. Surat yang diantar oleh sembilan orang utusan raja itu berisi undangan untuk berkunjung ke Istana. Dalam pikiran Dias, ini adalah kesempatan yang Ia tunggu dan tidak boleh disia-siakan oleh Kompeni untuk mulai menancapkan pengaruhnya terhadap Kerajaan Pagaruyung.
Setelah mengatur strategi dan mempersiapkan bekal, dengan rombongan berjumlah 37 orang, perjalanan dari Patapan menuju Pagaruyung pun dimulai. Namun ada ketakutan di benak Dias mengenai rencana perjalanannya.
Ia gusar, perjalanan dari Patapan menuju Pagaruyung bukan hal yang singkat dan mudah. Jalur yang dilalui sudah pasti akan menimbulkan kecurigaan penduduk lokal. Apalagi Ia adalah orang Eropa pertama menuju pedalaman Sumatra dan Seorang Nasrani.
Akhirnya ia memutuskan tidak melewati jalur perjalanan yang biasa dilalui. Ia memilih melewati pegunungan, menerabas hutan dan sungai yang belum terjamah.
Pertaruhan Thomas Dias Menerabas Gelapnya Hutan Sumatra
Thomas Dias mungkin pengelana yang mesti dihormati Belanda. Betapa tidak, untuk menjalin hubungan dengan penguasa Pagaruyung, dia menaiki bukit, menuruni lembah, menerabas rimba belantara.
Dari Patapan, Dias memulai perjalanannya menuju arah selatan, melewati Ajertiris (Air Tiris).
Di sana Ia singah sejenak dan bermalam, esoknya melanjutkan perjalanan melewati Belimbij (Si belimbing), Cata Ridan dan tiba di Cata Padan (Kota Padang di Kerajaan Kampar Kiri masa itu).
Setiba di Kota Padang, malang bagi Dias dan Rombongan, Ia ditolak penduduk lokal untuk bermalam dan akhirnya bermalam di hutan dan esok paginya melanjutkan perjalanan ke Kota Pacu (Kota Paku di Kerajaan Kampar Kiri masa itu).
Dari Kota Paku, Dias kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Pagaruyung melewati Hutan belantara.
Tujuh hari perjalanan menempuh ganasnya hutan Sumatra, Ia tiba di sebuah desa yang hanya terdapat tiga sampai empat rumah yang letaknya berjauhan. Ia pun memutuskan untuk bermalam. Esok paginya melanjutkan perjalanan menerabas hutan, melewati Gunung Pima (begitu orang lokal menyebutnya) hingga tiba 10 hari kemudian di Kota Nugam (kemungkinan besar Ngungun) yang terletak sekitar 4 Mil (sekitar 6,5 KM) dari Istana Pagaruyung.
Nugam kemudian menjadi jangkar bagi Dias dan rombongan mengatur strategi untuk bertemu Raja Pagaruyung. Dari sana Ia kemudian mengutus sembilan orang untuk menemui Raja Pagaruyung, memberitahukan kedatangannya.
Dias beberapa kali meminta kepada utusan Raja Pagaruyung untuk menunda pertemuannya dengan sang Raja.
Ini tidak lebih dari intrik untuk mengetahui strategi yang dimainkan orang-orang istana terhadap rombongannya. Hingga tiba lah masa Raja Pagaruyung mengutus seorang pembesar kerajaan beserta 500 orang dengan membawa panji-panji kerajaan berwarna kuning untuk menyambut Thomas Dias. Dan Dias pun pergi bersama rombongannya ke Istana bertemu dengan raja.
Kesepakatan Dias dan Raja Pagaruyung
Mulanya, tidak mudah bagi Dias waktu itu menjelaskan Identitasnya sebagai orang Eropa kepada Raja Pagaruyung, apalagi posisinya sebagai penganut Nasrani.
Raja Pagaruyung mengatakan Ia adalah orang Eropa dan penganut Nasrani pertama yang bertemu dengannya. Bahkan hampir saja karena hal itu Ia menjadi korban hasutan seorang Kelasi Muslim dari India kepada Raja. Yang mengatakan bahwa orang Nasrani tidak patut diterima di Pagaruyung.
“Tanpa mohon izin, kelasi itu diam-diam menghampiri Raja dengan berperilaku seolaholah seorang suci, sambil mengatakan bahwa dia baru saja datang dari kota Mekkah,...mengatakan betapa dia menduga bahwa di kerajaan Yang Mulia terdapat orang-orang Nasrani serta orang-orang bertopi, dan menambahkan bahwa Yang Mulia adalah Baginda Raja yang maha besar serta maha suci dan sebab itu tidak pantas menyilahkan orang-orang terkutuk demikian berada dalam kerajaan...”. Tulis Thomas Dias dalam catatan perjalanannya.
Untunglah ketika itu, salah seorang dalam rombongan Dias mengenal Kelasi tersebut. Ternyata Ia adalah seorang kelasi India Muslim yang suka mabuk, dan karena hutang-hutangnya Ia melarikan diri dari Malaka ke Riau.
Dias pun memberitahu kabar itu kepada Raja. Malang bagi Kelasi tersebut, Raja pun memerintahkan Dubalang untuk membunuhnya.
“Oleh karena orang itu sudah minum anggur dan menjadi mabuk, maka dia bukan lagi seorang haji melainkan seorang penipu, yang diutus ke mari atas tipu daya. Pergi dan kejar dia dan bunuh dia.” Ujar raja setelah menerima laporan dari Dias. 300 hingga 400 orang kemudian mengejar Kelasi itu.
Dias dan Rombongan tinggal beberapa hari di Pagaruyung. Oleh raja Ia diberi tempat persinggahan.
Dalam suatu waktu pada masa itu dilakukanlah pertemuan antara Dias dan Raja Pagaruyung. Disinilah awal mula terjadi kesepakatan antara Dias mewakili VOC dan Raja Pagaruyung.
Pembicaraan hangat itu bermula ketika Raja mengetahui Dias ternyata adalah Nahkoda yang memberikan tumpangan kepada keponakannya Raja Itam, ketika berlayar menuju Malaka. Hal itu tertulis dari surat Raja Itam kepadanya.
Menunjukkan rasa simpati dan rasa terimakasihnya, Raja pun memberikan gelar kehormatan kepada Dias yaitu Orang Kaya Saudagar.
Sebagai tanda diterima baik oleh Raja, Ia diberikan sebuah panji berwarna kuning dan sebuah senjata yang menyerupai tombak yang berlapiskan perak dan diletakkan di atas sebuah pinggan perak dan sebuah cincin dari tembaga suasa (keris).
Paling utama dari pertemuan itu adalah surat resmi dengan cap kerajaan, yang berisi keterangan mengizinkan Kompeni diperbolehkan berdagang di tiga pelabuhan wilayah kekuasaan Pagaruyung, yaitu Siak, Patapan dan Indragiri.
“Barangsiapa yang sudah diterima sebagai orang di dalam istanaku, seperti anda yang sudah saya terima sebagai pedagang saya maka oleh karena itu anda diizinkan untuk pergi dan masuk dan berperilaku seperti orang-orang lain dalam istanaku.” Ujar Raja Pagaryung.
Sebagai imbalan, dalam pertemuan itu Raja Pagaruyung meminta kepada Kompeni agar membatu Pagaruyung untuk membalas dendam terhadap penghianatan yang dilakukan Indragiri, dan menjanjikan kepada Kompeni atas bantuan itu mendirikan benteng dan lojinya di Indragiri.
Selain itu, dalam pertemuan itu Raja Pagaruyung melalui Dias, Kompeni juga diberikan kuasa penuh untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu di ketiga pelabuhan (Siak, Patapan dan Indragiri). Bahkan juga untuk menerapkan hukuman mati dan memiliki budak-budak.
Kembali Pulang
Puas dengan hasil kesepakatan yang dicapai dengan Raja Pagaruyung, Dias pun kembali Ke Malaka melalui pelabuhan di Patapan. Ia mengitari Pantai Barat Sumatera menuju Patapan.
Perjalanan dari Pagaruyung pun dimulai, pagi itu Ia didampingi serang pembesar dari Pagaruyung dan 3000 orang hingga Kota Luca (Siluka). Dari Siluka Thomas Dias berjalan melewati Maranty (Menganti, Barat Laut dari Siloeka), Sunipo (Sumpur), dan tiba Ungam (Ungan, utara Sumpur).
Dari Ungan Ia melewati pegunungan dan menerabas hutan kemudian tiba di Madiangem (Mandiangin), lalu berjalan melewati Air Tanam (Aia Tanang), Pancalan Serre (Pangkalan Sarai) hingga tiba di Turusan.
Dari Turusan, yang masa itu sudah dikuasai VOC, Dias berjalan melewati Catobaro (Kotobaru), Dari tempat itu melanjutkan perjalanan hingga kota Merorum (Mariring) melewati kota Merobiaan, kemudian tiba di Tanjong Bale (Tanjung Balik), melanjutkan pejalanan melewati Pasar Lama, kota Oedjom Boket (Ujung Bukit) Kota Damo (Domo).
Dari Damo melanjutkan perjalanan ke kota Sava (Padang Sawah), dari Sava hingga kota Cuncto (Kuntu), dari kota Cuncto ke kota Lagumo dari Lagumo ke kota Liepa Cain (Lipat Kain), dari sana ke kota Pacu (Kota Paku) lalu ke kota Calubee, dan tiba di Catapadan (Wilayah Kampar Kiri) dan dari Catapadan tiba di Belenbun kemudian sampai di Air Tiris, setelah itu tiba di Patapan, memulai pelayaran menuju Malaka dan melewati Pelabuhan Siak. (AP)