Padangkita.com - Mr. Assaat Dt. Mudo adalah salah seorang pemuda minangkabau yang sangat berjasa dalam sejarah Republik Indonesia (RI). Putra daerah Minangkabu ini adalah penyelamat RI pada saat genting, yaitu menjadi pemangku jabatan (acting) Presiden RI ketika Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk pada akhir 1949, sebagai konsekuensi dari Konferensi Meja Bundar (KBM).
Setelah mengakui perjanjian KMB, Indonesia terbagi menjadi 16 negara bagian yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat dengan salah satu negaranya adalah Republik Indonesia yang memiliki wilayah di Yogyakarta. Assaat kemudian diangkat menjadi pemangku jabatan Presiden RI karena Ir. Soekarno-Mohammad Hatta menjadi Presiden/Wakil Presiden RIS.
Assaat lahir di Kubang Putih, Banuhampu, pada 18 September 1904. “Ia adalah tokoh nasional yang pernah memegang berbagai jabatan semasa hidupnya, ketika nasionalisme Indonesia mencapai titik didihnya di tahun 1940-an dan ketika Republik Indonesia yang masih bayi merah difedofili oleh Belanda melalui agresi militernya yang bau pesing,” papar Suryadi Sunuri, dosen dan peneliti dari Universitas Leiden dalam laman pribadinya.
Berikut adalah riwayat hidup Mr. Assaat yang diringkas oleh Suryadi dari buku lawas Hasril Chaniago, 101 Orang Minang di Pentas Sejarah (Citra Budaya, Padang 2010), hlm. 195-200.
Pendidikan
Assaat mengeyam pendidikan dasarnya di Adabiah School, Padang dan melanjutkan pendidikan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang, yaitu Sekolah Menengah Pertama pada zaman kolonial Belanda di Indonesia.
Kemudian Assaat masuk ke STOVIA (Sekolah Dokter Jawa) di Batavia namun tidak tamat, begitu pun dengan AMS; Sekolah Hakim Tinggi (Rechtshoogeschool) Batavia (tidak tamat).
Terakhir ia terdaftar di Fakultas Hukum Universiteit Leiden sampai mendapat gelar “Meester in de rechten”.
Karier politik
Saat kuliah di Sekolah Hakim Tinggi Batavia, Assaat sudah aktif dalam Jong Sumatranen Bond (yang membuat studinya tersendat). Sekembali dari Belanda tahun 1939, ia membuka praktek advokat di Jakarta, sampai masuknya Jepang di tahun 1942.
Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, Putra Minang ini menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada masa Agresi Belanda II (1948) diasingkan ke Pulau Bangka bersama Soekarno, Hatta, dan St. Sjahrir. Setelah dibebaskan kembali ke Yogyakarta, ia masih sebagai ketua KNIP.
Assaat menjadi Pemangku Jabatan Presiden R.I. dengan wakilnya, Dr. Abdul Halim, selama usia Republik Indonesia Serikat (RIS) yang singkat (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950). Pada periode itulah ia menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada, universitas pertama milik bangsa Indonesia, yaitu tgl. 19 Desember 1949.
Diangkatnya Assaat menjadi Pemangku Jabatan Presiden RI merupakan peran dan jasa yang sangat besar. Jika tidak ada pemangku jabatan Presiden RI, maka akan ada masa kekosongan kekuasaan (vacuum of power) dalam sejarah Indonesia. Sedangkan adanya kekuasaan merupakan syarat utama untuk diakui sebagai negara
Ketika Indonesia kembali ke negara kesatuan pada Agustus 1950, masa jabatannya sebagai Pemangku Jabatan Presiden RI berakhir. Ia kemudian menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Natsir, dan menjadi anggota parlemen setelah Kabinet Natsir jatuh.
Tahun 1955, menjadi anggota formatur kabinet bersama Soekiman Wirdjosandjojo dan Mr. Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta menjadi perdana menteri, tapi gagal.
Setelahnya, Assaat pulang ke Sumatera Barat dan bergabung dengan PRRI sebagai protes terhadap ketidaksetujuannya dengan politik Nasakom Presiden Soekarno.
Usai PRRI (1961), ia dipenjarakan oleh Soekarno dan baru dibebaskan pada awal 1967. Sejak itu, nama Assaat tidak terdengar lagi dalam kancah politik Republik ini.
Assaat adalah sosok pemimpin yang agamis dan sederhana. Ia tidak mau disanjung-sanjung di depan publik. Chaniago (hlm.197) mencatat bahwa ia tidak mau dipanggil sebagai “Paduka Yang Muliah Acting Presiden”, cukup “Saudara Acting Presiden” saja.
Assaat adalah seorang muslim yang saleh. Sesibuk apapun menjalankan tugas, shalatnya tak pernah tinggal. Dalam Penuntun No. 5 Th. ke IV, Mei 1950 ia menulis (hlm. 69) di bawah tajuk “Menjuburkan Kehidupan Agama”: [P]emimpin2 jang mempunjai sifat djujur dan tabah […] adalah sumber kekuatan kita. Pemimpin2 dan orang2 jang djujur itu kita dapat pada kaum beragama.
“Kata-katanya itu dipraktekkannya dalam kehidupannya sebagai pemimpin masyarakat,” ujar Suryadi.
Assaat meninggal pada 16 Juni 1976 di rumahnya yang sederhana di Warung Jati, Jakarta Selatan (Chaniago, Ibid.:199). Kondisi ini menurut Suryadi sangat berbeda dengan kondisi sekarang yang mana banyak pejabat di negeri ini mati dalam rumah mewahnya.
“Hamba kira, jika pun penguasa negeri ini tidak juga mau memberikan penghargaan yang sepadan terhadap peran penting yang dimainkan Assaat dalam menyambung ‘nyawa’ Rebuplik Indonesia selama masa RIS, arwah beliau pun di alam sana tetap bahagia, sebab di masa hidupnya pun dia bukan tipe manusia yang gila hormat dan sanjung berhadapan,” tutupnya.