Padang, Padangkita.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Padang yang memutus bebas 13 terdakwa kasus dugaan korupsi ganti rugi lahan Jalan Tol Padang – Pekanbaru.
Putusan hakim disampaikan dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Padang, Rabu (24/8/20220).
Diketahui, 8 dari 13 terdakwa adalah warga peneriman ganti rugi, dan sisanya aparat pemerintah serta tokoh masyarakat. Setelah sempat ditahan, mereka diseret ke pengadilan atas dugaan korupsi ganti rugi lahan untuk jalan tol di Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) di Parit Malintang, Kabupaten Padang Pariaman.
“LBH Padang mengapresiasi putusan bebas bagi 8 orang masyarakat penerima ganti rugi tanah. Kami berharap pada upaya hukum lanjutan masyarakat juga dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Sejatinya masyarakat Parit Malintang adalah korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), bukan koruptor,” ungkap Direktur LBH Padang Indira Suryani, dalam keterangan tertulis yang diterima Padangkita.com, Kamis (25/8/2022).
Kasus ini bermula saat pembangunan Ibu Kota Kabupaten (IKK) Padang Pariaman tahun 2007. Menurut penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatra Barat (Sumbar), saat pengadaan tanah untuk IKK tersebut yang di dalamnya termasuk Taman Kehati, pemerintah telah mengganti rugi lahan masyarakat.
Sehingga, ketika lahan yang sama masuk lokasi Jalan Tol Padang – Pekanbaru Seksi I Padang – Sicincin, tidak perlu lagi ada ganti rugi. Ketika ganti rugi tetap dicairkan, maka penyidik Kejati berpendapat telah terjadi kerugian negara karena pembayaran ganti rugi yang dobel.
Makanya, 13 orang yang membantu mencairkan ganti rugi dan penerima ganti rugi ditahan dan dibawa ke pengadilan.
Namun, di pengadilan, ternyata fakta yang terungkap berbeda. Masyarakat yang memiliki lahan tidak pernah menerima ganti rugi ketika pembangunan IKK Padang Pariaman.
“Pemerintah menetapkan 100 hektare tanah untuk lokasi perkantoran Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman. Hingga saat ini, rakyat belum menerima ganti rugi tanah dari pemerintah,” kata Indira.
Dalam fakta-fakta persidangan, lanjut Indira, terungkap bahwa proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum saat itu (IKK Padang Pariaman) penuh dengan pelanggaran HAM.
Antara laian, kata Indira, berupa dugaan perampasan lahan tanpa ganti rugi, sehingga proses pengadaan tanah ini tidak terselesaikan hingga saat ini. Nasib ganti rugi tanah rakyat masih terkatung-katung tak tahu rimbanya hingga saat ini.
“Situasi bertambah kacau ketika datang proyek jalan tol yang memberikan ganti rugi tanah bagi rakyat, namun kemudian masyarakat penerima ganti rugi malah dituduh korupsi,” sesal Indira.
Menurut Indira, masyarakat boleh sedikit bahagia dengan putusan bebas tersebut. Namun, dia mengingatkan, masih banyak tugas yang harus dilakukan ke depannya.
“Kita mesti mendorong pemulihan HAM bagi masyarakat Parit Malintang lainnya yang masih menjadi korban pelanggaran HAM,” kata Indira.
Menurut dia, ada puluhan persil tanah yang tidak diganti rugi oleh negara dalam proses pembangunan IKK Padang Pariaman.
“Kita wajib malu proses pembangunan dilakukan dengan menindas rakyat dan melanggar HAM. Bahkan hal ini berdampak pada kriminalisasi masyarakat dengan penggunaan pasal-pasal korupsi. Tidak hanya rakyat yang jadi korban bahkan aparatur negara pun ikut menjadi korban atas situasi ini,” ungkapnya.
Lebih jauh ia mengingatkan, aparat penegak hukum dalam menerima laporan kasus korupsi mesti menelaah lebih cermat sehingga masyarakat tidak menjadi korban kriminalisasi dengan tuduhan korupsi.
Baca juga: 13 Terdakwa Divonis Bebas, Jaksa Bakal Ajukan Kasasi Korupsi Lahan Tol Padang – Pekanbaru
“Sudah saatnya Bupati Padang Pariaman menyelesaikan permasalahan ini, jika tidak maka bisa terulang kembali kriminalisasi bagi masyarakat dan juga aparatur pemerintahan,” demikian Indira mengingatkan. [*/pkt]
*) BACA informasi pilihan lainnya dari Padangkita di Google News