Jakarta, Padangkita.com - Polemik kenaikan tarif BPJS masih menjadi isu hangat, meski harga baru resmi diberlakukan sejak 1 Januari 2020 lalu.
DPR RI dan Komisi XI DPR RI menyatakan penolakan dan meminta Pemerintah agar melakukan pembersihan data peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sebelum menaikkan iurannya.
Dilansir dari infopublik.com, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyatakan telah melakukan permintaan kedua komisi tersebut dengan meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit terhadap data kepesertaan BPJS Kesehatan.
Dari pemeriksaan yang dilakukan ditemukan 27,44 juta identitas orang yang memiliki kecenderungan tidak valid berdasarkan aturan yang berlaku.
Baca juga: PANRB Usulkan PNS Pensiun Terima Uang Rp1 Miliar Lewat Sistem “Fully Funded”
"Ada orang yang sudah mati memiliki kartu BPJS dan orang yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) ganda itu menjadi rekomendasi BPKP untuk dilakukan pembersihan data," katanya.
Data tersebut memunculkan dugaan, apakah defisit yang terjadi pada BPJS setiap tahunnya adalah dampak dari jutaan data yang tidak valid tersebut?
Dugaan ini datang dari anggota Komisi IX DPR RI, Ribka Tjiptaning.
Ribka mengatakan permasalahan data yang kurang valid mungkin menjadi penyebab utama yang membuat anggaran yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan menjadi defisit setiap tahunnya.
“Adanya kesalahan terkait data tersebut membuat beban negara dalam memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh warga negara menjadi lebih berat," Ujarnya
Ribka menambahkan bahwa di berbagai tempat masih ada satu orang yang memiliki lebih dari satu kartu BPJS kesehatan, artinya bisa memakai dua kartu disaat yang bersamaan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.
Akibatnya, anggaran yang dikucurkan oleh BPJS untuk pelayanan kesehatan masyarakat bisa berjumlah semakin besar dari yang seharusnya. Dan hal tersebut berpotensi membuat berbagai pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin terdampak.
"Di tempat saya ada yang mempunyai kartu jaminan sampai empat kartu. Ini yang membuat defisit anggaran," ungkapnya melanjutkan dugaannya.
Meski menemukan data tidak valid dengan angka yang cukup tinggi, Sri Mulyani menegaskan pemerintah tetap akan melanjutkan kenaikan iuran tersebut dan berencana menerbitkan Perpres yang berkaitan dengan hal ini.
"Kami tidak berani melanggar konstitusi, apa yang kami lakukan sesuai dengan konstitusi," pungkasnya,
Hingga saat ini belum ada kesepakatan terkait solusi dari dampak yang mungkin timbul akibat kenaikan tarif tersebut, meski rapat telah dilakukan.
"Belum adanya kesepakatan antara Komisi IX dengan mitra pemerintah ini tidak dapat diimplementasikan kebijakan tersebut," ujar Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar. (*/pk-29).