Jakarta, Padangkita.com – Salah satu Politeknik di Sumatra Barat (Sumbar) mengirim sejumlah mahasiswa magang ke Jepang, yang ternyata kemudian dijadikan buruh. Ini menjadi temuan modus baru kasus Tindak Pidana Perdagangan Orag (TPPO) yang diungkap Bareskrim Polri.
"TPPO dengan modus program magang ke luar negeri mengakibatkan korban sebagai mahasiswa mengalami eksploitasi," ujar Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro saat konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (27/6/2023), seperti dikutip dari Antara.
Pengungkapan kasus TPPO modus baru ini, kata Djuhandhani, bermula dari laporan korban berinisial ZS dan FY kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo. Menurut keduanya, mereka bersama 9 mahasiswa lainnya dikirim oleh salah satu Politeknik di Sumatra Barat (Sumbar) untuk mengikuti program magang.
"Namun, korban dipekerjakan sebagai buruh," kata Djuhandhani.
Para korban tertarik untuk kuliah di Politeknik tersebut, karena tersangka berinisial G yang menjabat sebagai Direktur Politeknik periode 2013-2018 menerangkan keunggulan dari Politeknik tersebut, yaitu beberapa program magang ke Jepang.
Adapun beberapa jurusan di Politeknik itu adalah teknologi pangan, tata air pertanian, mesin pertanian, hortikultura dan perkebunan.
Namun, kemudian, selama setahun mengikuti program magang ke Jepang, para korban dipekerjakan layaknya buruh dengan ketentuan bekerja selama 14 jam, mulai pukul 08.00 hingga 22.00.
Pekerjaan tersebut dilakukan setiap hari selama 7 hari sepekan, tanpa libur. Dan, hanya diberikan waktu istirahat selama 10 hingga 15 menit untuk makan.
Parahnya lagi, para mahasiswa yang jadi korban juga tidak diperkenankan untuk beribadah. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 3 tahun 2020 di Pasal 19 menegaskan bahwa pembelajaran 1 SKS pada proses pembelajaran berupa jam-nya, seharusnya 170 menit per minggu per semester.
Djuhandhani menyebutkan para korban diberikan upah sebesar 50.00 yen atau Rp5 juta per bulan. Namun dari upah itu, para korban harus memberikan dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 yen atau setara Rp2 juta per bulan.
Korban diberangkatkan ke Jepang menggunakan visa pelajar yang berlaku selama satu tahun. Namun, setelah habis masa berlaku diperpanjang oleh pihak perusahaan menjadi visa kerja selama enam bulan.
"Setelah mengetahui hal itu korban menghubungi pihak Politeknik untuk dipulangkan, namun justru korban diancam oleh Politeknik apabila kerja sama Politeknik dengan pihak perusahaan Jepang rusak maka korban akan di-drop out," terang Djuhandhani.
Lebih jauh Djuhandhani menyampaikan, berdasarkan hasil penyidikan, penyidik memperoleh fakta bahwa Politeknik tersebut tidak memiliki izin untuk proses pemagangan di luar negeri. Soal ini diatur Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor: per.08/men/v/2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Pemagangan di Luar Negeri.
Dalam menjalankan program magang, Politeknik tersebut juga tidak memiliki kurikulum pemagangan di luar negeri. Politeknik tersebut menjalin kerja sama dengan pihak luar negeri, dalam hal ini, perusahaan di Tokyo, Jepang, tanpa diketahui oleh pihak KBRI Tokyo.
Dalam perkembangan, semakin banyak mahasiswa baru masuk Politeknik yang berada di Sumatra Barat (Sumbar) itu.
“Karena adanya program magang ke Jepang, sebelumnya peminat di bawah 1.000 orang, namun pada saat dipimpin G menjadi 1.200 sampai dengan 1.400 orang," kata Djuhandhani.
G sendiri juga pernah berangkat ke Jepang melihat perusahaan tempat mahasiswa sedang melaksanakan magang menggunakan dana kontribusi dari para mahasiswa. Dana kontribusi yang dibebankan kepada mahasiswa magang luar negeri juga digunakan untuk membayar biaya-biaya lainnya.
Djuhandhani merinci dana kontribusi itu digunakan untuk supervisi ke Jepang, biaya pengurusan visa Jepang di Medan, seleksi mahasiswa, pengiriman surat-surat mahasiswa yang telah lulus ke Jepang, transportasi penandatanganan MoU dan LoA dengan pimpinan perusahaan di Jakarta sekali pada Tahun 2017.
Kemudian, biaya pelatihan traktor sebagai pembekalan, dan biaya kursus bahasa Jepang Tahun 2013-2018, biaya konsumsi kedatangan pimpinan perusahaan Shimota, dan biaya transportasi pengantaran mahasiswa ke bandara Padang, serta penjemputan mereka pada saat kembali ke Indonesia.
"Sampai dengan bulan Januari 2021, masih terdapat saldo penerimaan dana kontribusi sebesar Rp238.676.000. Namun pembebanan dana kontribusi kepada mahasiswa magang luar negeri belum mempunyai dasar hukum," kata Djuhandhani.
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus mengirimkan mahasiswa magang ke Jepang ini telah dilakukan sejak 2012. Dua mantan Direktur Politeknik berinisial G dan EH telah ditetapkan polisi sebagai tersangka.
Mereka dijerat Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan TPPO. Ancaman hukumannya, maksimal 15 tahun penjara minimal 3 tahun penjara, dan denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Baca juga:
Kemudian, Pasal 11 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan TPPO, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara minimal 3 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta. [*/ant/hdp]