Merawat Smong Lewat Seni

Merawat Smong Lewat Seni

Ilustrasi Smong (Foto: Ist)

Lampiran Gambar

Ilustrasi Smong (Foto: Ist)

Padangkita.com - Di tangan Mohd. Ridwan. R, smong digubah menjadi alat seni yang universal. Smong yang bertutur dalam bahasa defayan (salah satu bahasa di Simeulue) diproduksi menjadi teks dengan kata-kata yang menawan, dan enak terdengar jika didendangkan.

Suatu siang, pertengahan September di Sinabang, ibukota Kabupaten Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam, Moris begitu dia akrab disapa, mendendangkan syair smong dengan irama cha-cha. Berikut petikan syair smong ciptaan Moris.

SMONG

Enggel mon sao curito…(Dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan…(Pada zaman dahulu)
Manoknop sao fano…(Tenggelam satu desa)
Uwi lah da sesewan…(Begitulah mereka ceritakan)
Unen ne alek linon…(Diawali oleh gempa)
Fesang bakat ne mali…(Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop sao hampong…(Tenggelam seluruh negeri)
 Tibo-tibo mawi…(Tiba-tiba saja) 
Anga linon ne mali…(Jika gempanya kuat)
Uwek suruik sahuli…(Disusul air yang surut)
 Maheya mihawali…(Segeralah cari)
Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)
Turiang da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan nafi-nafi da…(Pesan dan nasihatnya).

Syair ini diciptakan Moris tahun 2005, setahun setelah gempa dan tsunami menghancurkan Aceh, tidak terkecuali Simeulue.

Moris, mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Simeulue ini, merasakan betul kedahsyatan tsunami yang datang setelah gempa, sekaligus menyaksikan langsung kekuatan yang dimiliki masyarakat Simeulue dalam menyelamatkan diri dari kejaran tsunami.

Kekuatan itu bernama smong, sebutan tsunami bagi orang-orang Simeulue.

Gempa berkekuatan 9,3 skala richter, Ahad, 26 Desember 2004, pukul 08.00, mendatangkan gulungan tsunami yang membawa duka. Sekitar 250.000 orang di 13 negara meregang nyawa akibat peristiwa ini. Sekira 175.000 orang meninggal di Aceh. Kebanyakan akibat gulungan tsunami.

Menariknya, meski episentrum gempa dekat dengan Pulau Simeulue, namun korban jiwa bisa dihitung dengan jari, jauh dari asumsi banyak orang atau lembaga kala itu.

Darmili yang menjabat bupati Simeulue saat itu, mengatakan korban di Simeulue berjumlah 7 orang dari sekitar 78.000 populasi saat itu. Dari 7 orang tersebut, bilangnya, hanya 1 orang akibat hantaman gulungan tsunami. Selebihnya sakit setelah gempa, dan sebagian karena ditimpa bangunan.

“Satu orang yang meninggal akibat tsunami sebetulnya telah selamat dari gelombang air pertama. Dia sudah berada di bukit. Namun setelah gulungan ombak besar itu surut, dia kembali ke rumah di dekat pantai. Dan tiba-tiba ada gulungan ombak berikutnya,” jelas Darmili.

Moris menceritakan, sebelum gempa 2004 tersebut membuncah, suasana di Simeulue hening. Tiba-tiba bumi bergetar, tanah merekah, bibir pantai mengering, air laut surut.

Secara spontan, orang-orang Simeulue berteriak smong…. smong.. smong… Semua lari kocar-kacir ke arah ketinggian, menggapai gunung.

Benar saja, gerombolan ombak menjarah apa saja yang bersua.

Bukan hanya di tanah Simeulue, smong juga menyelamatkan orang-orang Simeulue di Aceh daratan (Pulau Sumatera). Alkisah, di Meulaboh, Aceh Barat, seorang perempuan (istri) yang berasal dari Simeulue, pascagempa besar 2004, berteriak-teriak smong…. smong…. smong, termasuk mengatakan kepada suaminya yang orang Meulaboh.

Dia mengajak suaminya bergerak ke tempat tinggi, dengan sepeda motor.

Namun, oleh suaminya, dia dianggap ‘tidak waras’, ngomong yang tidak jelas. Sebab, suaminya tidak tahu apa itu smong. Akhir kata, suaminya menyerahkan kunci motor kepada istri, dan dia memilih bertahan.

Apa yang terjadi? Istri selamat, sementara suami hilang ditelan tsunami.

Kisah ini muncul ke permukaan setelah gempa dan tsunami 2004. Diketahui banyak orang-orang Simeulue, termasuk Darmili dan Moris.

Artinya, smong sudah menjadi bekal dan melekat bagi orang Simeulue ke mana pun pergi.

Smong menjadi sistem peringatan dini orang Simeulue sedari dulu, pastinya pascagempa dan tsunami 1907.

Smong adalah ingatan kolektif kejadian tsunami 1907 yang direproduksi menjadi cerita-cerita dalam ruang keluarga. Kisah ini mengalir dari satu generasi ke generasi di Simeulue.

Diriwayatkan, smong 1907 didahului oleh gempa yang cukup besar, tidak beberapa lama kemudian, air laut surut, sungai pun demikian, dan hewan yang sedang bersentuhan dengan pantai lari menjauhi laut. Berselang beberapa waktu, air laut bergulung-gulung dengan warna hitam pekat, sekilat cepat menghantam yang dipinggir laut.

Rukiah yang tinggal di Salur, Teupah Barat, mengaku saat itu sudah berumur sekitar 6 tahun. Kejadian itu masih terngiang dalam ingatannya.

Kala itu, kisah Rukiah, setelah gempa besar, air laut dan sungai surut, ikan kemudian menggelepar-gelepar. Kebanyakan memilih menangkapnya. Bahkan, setelah gempa besar, ada yang naik perahu pergi ke tengah laut.

"Mungkin mereka pikir, lebih aman ke tengah laut, menghindari gempa," ujarnya.

Naas, minimnya pengetahuan tentang tanda-tanda tsunami saat itu, menjadi petaka. Banyak yang terseret ombak tsunami. Mereka yang selamat karena berada dekat kaki gunung atau yang lari cepat saat melihat ombak tinggi dari tengah laut mengarah ke tepi.

Smong sudah tahu, tapi belum mengerti. Tapi sudah bisa lari ke gunung, tidak digendong,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya di Desa Salur.

Beberapa versi menyebutkan, kejadian tersebut menewaskan ratusan orang, sebagian ada juga yang menyebutkan ribuan orang.

Rekapitulasi data kejadian gempa dan tsunami dari International Institute of Seismology and Earthquake Engineering (IISEE), tsunami 1907 didahului oleh gempa berkekuatan 7.5 skala richter.

Episentrum gempa sebelah barat dari Gunung Sitoli, Nias, atau selatan Pulau Simeulue. Sebanyak 400 orang yang diperkirakan meninggal dunia, kemungkinan besar akibat terjangan tsunami.

Versi lain, jumlah korban meninggal mencapai 1818 orang. Hal ini dikemukakan oleh L.C. Westenenk, seorang pejabat Belanda yang ditempatkan sebagai pengawas dari Simeuleoee, yang baru diciptakan tahun 1912, dengan pusat di Sinabang.

Westenenk melalui pendekatan linguistik, mendapatkan cerita kejadian smong 1907 dari penduduk setempat, pada ‘leng bano’ atau bahasa daerah dari Tapah (pribumi Oelao atau Defajan) dan Simeuloee (Aceh), Simaloer (Melayu) atau pribumi: Simoeloel.

“Tanggal 4 Januari 1907 ombak pasang yang menghantam pantai selatan setelah memakan korban 1818 orang,” demikian sepenggal cerita yang didapatkan Westenenk, yang dicatat H.T. Damste dalam Naskah Sialoer.

Lantas, mereka yang selamat ini kemudian menceritakan rekaman kejadian tersebut, dan mengingatkan generasinya agar tahu tanda-tanda akan datangnya ombak tinggi atau smong.

Nyaris semua orang Simeulue tahu tentang smong. Mereka mengungkapkan dalam pantun dengan bunyi sebagai berikut:

Smong dumek dumek mo (Smong mandi-mandi mu), linon uak uak mo (Gempa ayunanmu), ek laik kedang kedangmo (petir gendang-gendangmu), kilek suluh-suluh mo (kilat suluh-suluh mu).

Moris mengatakan, ­nafi-nafi atau pesan-pesan menjadi media transformasi informasi dari generasi ke generasi, dalam bentuk hikayat atau nandong dan nanga-nanga (sejenis pantun dalam bahas Simeulue) yang menceritakan pengalaman hidup.

Saat terjadi tsunami 2004, smong yang kemudian menggiring mereka secara sadar untuk lari ke tempat yang tinggi setelah melihat tanda-tanda akan terjadi tsunami sebagaimana bercirikan kejadian tahun 1907. 

Dijelaskan Moris, ungkapan tersebut memberi pesan, dengan berbekal pengalaman peristiwa smong 1907, masyarakat tidak perlu takut dengan gempa, dan anggaplah sebagai ayunan. Sementara tsunami, anggaplah air mandi sendiri, lalu kilat, anggaplah suluh atau penerang mu, dan jika tiba petir, anggaplah gendang-gendang mu.

“Ungkapan ini bermakna jangan takut terhadap berbagai reaksi alam, dan hadapi saja. Sebab, Simeulue dikeliling lautan luas, dengan berbagai ancaman,” jelas budayawan Simeulue ini. 

Syair smong yang diciptakan Moris telah menjadi duta budaya Simeulue sekaligus siar kearifan masyarakat Simeulue dalam urusan bencana. Syair ini pernah didendangkan oleh penyanyi jazz Iga Mawarni dalam acara di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan tema From Simeulue With SMONG, setelah tsunami 2004.

Moris juga mengatakan, syair smong ciptaannya juga dilagukan oleh Afridawati, istri Bupati Darmili, saat diundang ke Jepang oleh sebuah institusi di sana, atas dasar ampuhnya smong menyelamatkan banyak orang Simeulue ketika kejadian tsunami 2004.

Halaman:
Tag:

Baca Juga

Tembus Pasar Internasional, Perusahaan Lokal Pariaman Ekspor 140 Ton Pinang ke India
Tembus Pasar Internasional, Perusahaan Lokal Pariaman Ekspor 140 Ton Pinang ke India
Pemprov akan Bangun Kantor MUI Sumbar Bertingkat 5 dengan Anggaran Rp24 Miliar
Pemprov akan Bangun Kantor MUI Sumbar Bertingkat 5 dengan Anggaran Rp24 Miliar
Bank Nagari Ingin Ikut Pembiayaan Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik, Sanggup Rp500 Miliar
Bank Nagari Ingin Ikut Pembiayaan Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik, Sanggup Rp500 Miliar
Survei Pilkada Limapuluh Kota
Survei Pilkada Limapuluh Kota
Latgab Megathrust, Audy Sebut Pusat Tak Pernah Biarkan Sumbar Sendiri Hadapi Bencana
Latgab Megathrust, Audy Sebut Pusat Tak Pernah Biarkan Sumbar Sendiri Hadapi Bencana
Media Sosial dan "Fluid Identity"
Media Sosial dan "Fluid Identity"