Berita Padang terbaru dan berita Sumbar terbaru: Cerita orang tua anak berkebutuhan khusus selama pembelajaran daring di Kota Padang
Padang, Padangkita.com - Pandemi memaksa orang menarik diri dari ruang-ruang publik, memindahkan segala kegiatan ke dalam rumah demi mengurangi risiko tertular virus Corona (Covid-19). Tak terkecuali kegiatan belajar mengajar pun harus di rumah atau dari rumah, dengan bantuan teknologi internet yang disebut pembelajaran daring.
Di Kota Padang, yang masih berada pada zona merah atau risiko tinggi penyebaran Covid-19, pembelajaran daring berlaku untuk semua sekolah. Tanpa kecuali, termasuk Sekolah Luar Biasa (SLB). Semua siswa yang mestinya mendapatkan pembelajaran khusus, guru khusus di tempat khusus, kini tetap mesti dipindahkan ke rumah, dibimbing oleh orang tua masing-masing
Sejalan dengan kebijakan pembelajaran daring itulah, kini Dwi Novelia Zai, punya tugas wajib baru, membimbing anaknya yang berkebutuhan khusus untuk belajar di rumah. Anak Dwi, saat ini tercatat sebagai siswa di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 2 Padang.
Tugas Dwi jadi ibu sekaligus guru pembimbing dimulai sejak pagi, membangunkan sang anak bernama Fajri. Lalu mengurusnya dan menyiapkan untuk belajar, mendampingi belajar, kemudian melaporkan hasil pembelajaran kepada guru. Sekali dalam sepekan Dwi pergi ke sekolah untuk mengambil materi yang telah disiapkan oleh guru.
“Fajri masih tidur, mulai belajar biasanya pukul 09.00. Tapi, kalau dia lama tidurnya, (belajar) ketika dia sudah bangun saja. Fajri belum banyak bisa,” kata Dwi membuka cerita melalui jaringan telepon kepada Padangkita.com, pagi pekan lalu.
Fajri saat ini telah berusia 20 tahun. Ia memiliki hambatan pertumbuhan karena menyandang downsydrome berat dengan tingkat intelejensi 25. Akibat kondisi yang dialaminya membuat Fajri belum bisa mandiri mengurus dirinya.
Bagi Dwi, mengurus dan membimbing Fajri belajar tentu bukan saja sebagai kewajiban. Lebih dari itu, semua dilakukan karena cinta dan kasih sayangnya pada anaknya. Itu sebabnya, Dwi tak pernah mengeluh demi Fajri.
Dwi bercerita, memang tak mudah mengajak Fajri mengikuti materi pembejalaran. Hal pertama yang dilakukan Dwi adalah memastikan “mood” Fajri siap diajak belajar.
“Setiap pagi saya harus perhatikan ‘mood’ Fajri. Kalau dia senang bisa langsung belajar. Namun kalau tidak ‘mood’, harus dipancing dengan sesuatu yang ia sukai,” ujar Dwi.
Jika Fajri dalam fase tidak mood, Dwi menyiasati dengan memberikan hal yang ia suka, seperti menyuguhkan teh. Hal ini dilakukan Dwi, agar Fajri siap untuk belajar. Sebab jika “mood” Fajri sedang tidak baik, Fajri bisa saja mengamuk dan menyakiti diri sendiri.
“Kalau dia sudah nggak mau, tidak bisa dipaksa. Kala uterus dipaksa dia akan langsung membentak dan marah,” ulas Dwi.
Setelah Fajri dalam kondisi siap untuk belajar, Dwi akan mengajak melakukan kegiatan yang telah disiapkan dalam modul dari sekolah. Pembelajaran untuk Fajri, kata Dwi, bertujuan untuk mengasah kemampuan motoriknya seperti memegang suatu benda, melompat, dan beberapa rangkaian terapi.
“Belajarnya mesti sambil main. Dia belum bisa menulis. Motorik kasar dan motorik halusnya kurang. Dia juga disuruh terapi, misalnya untuk kegiatan melompat. Jadi, Fajri belum bisa melakukan aktivitas sendiri,” kata Dwi.
Proses belajar dijalani Fajri yang seperti bermain, hanya bisa dalam waktu 10 menit. Lalu, Dwi, akan kembali memastikan “mood” Fajri, dan jika memungkinkan baru lanjut lagi.
“Jadi, memang butuh waktu, sambil tiduran dan bermain, kita selipkan (materi) pelajaran. Kalau belajar tepat waktu itu nggak bisa, kalau durasi belajar paling bisa fokus 10 menit, nanti diulang lagi, Sudah bosan berhenti dulu,” Dwi berkisah.
Diakui oleh Dwi, belajar di rumah juga membuat Fajri stres. Fajri kerap mengalami perubahan “mood” dengan cepat.
“Ada perubahan ‘mood’ sejak tidak lagi pergi ke sekolah. Tahu-tahu suka ngambek, ngamuk, kadang nyakitin badannya. Kadang bingung juga bagaimana solusinya. Mungkin ini juga karena dipengaruhi oleh pubertasnya,” tutur Dwi.
Untuk menjaga “mood” Fajri, Dwi biasanya mengajak anak laki-lakinya itu untuk jalan-jalan sekitar Kompleks Gery Permai, tempat mereka tinggal. Lalu, memperdengarkan musik dan murrotal.
“Dicoba dengan hidupin musik, Alhamdulillah nampak senangnya,” ulas Dwi.
Dwi mengaku, Fajri akan sangat cerita ketika dikunjungi guru kelas ke rumah. Biasanya, kata Dwi, sekali sepekan, guru kelas Fajri, datang ke rumahnya melihat kondisi Fajri.
“Saat ibu Em (guru kelas Fajri) ke sini, langsung cerah wajahnya. Pernah, waktu itu saya lagi sakit, jadi guru datang ke sini. Dengan guru sekolah kita selalu bicara apa kekurangan dan kelebihan Fajri,” ujarnya.
Tidak hanya Fajri, Dwi pun mengakui jika belajar di rumah kerap membuat ia stres. Emosi naik turun. Jika dalam kondisi jenuh, biasanya Dwi berusaha mengalihkan pikirannya dengan melakukan hal-hal yang menjadi kegemarannya yaitu merajut.
“Saya kalau stres dan jenuh, saya istighfar, terus membuat sesuatu, saya kan suka merajut, melakukan hobi, atau keluar sebentar. Saya tafakur sebentar, saya harus kuat karena bagaimana pun dia adalah titipan Allah,” ucap Dwi memaparkan bagaimana ia memanajemen emosinya selama mendampingi Fajri belajar.
SLB Negeri 2 Pastikan Seluruh Siswa Terfasilitasi
Beratnya tugas orang tua membimbing anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar di rumah, diakui Rafmateti, Kepala SLB Negeri 2 Padang. Oleh sebab itu, kata Rafmateti, kunjungan ke rumah siswa merupakan kiat dari SLB Negeri 2 Padang untuk memastikan setiap siswa belajar dengan baik.
“Belajar dari rumah memang bisa dilaksanakan. Namun, kondisi ini berbeda dengan anak berkebutuhan khusus yang memerlukan sentuhan fisik dari guru-guru, ada tatap muka, harus satu guru satu anak berhadapan,” kata Rafmateti di tempat terpisah, Senin (12/10/2020).
Mengingat kondisi perbedaan pola pendidikan anak kebutuhan khusus yang membutuhkan pendampingan guru dan selama ini bertumpu pada sentuhan langsung.
Kini, lanjut Rafmateti, guru-guru di SLB Negeri 2 Padang mengombinasikan antara belajar daring dan luring. Materi ajar dikirimkan oleh guru melalui aplikasi pesan kepada orang tua. Sementara anak yang tidak memiliki jaringan internet, materi belajar harus dijemput orang tua ke sekolah.
“Sekarang belajar mengoptimalkan daring. Namun, guru-guru tetap ke sekolah. Jadi orang tua mengambil program atau materi ajar satu kali dalam seminggu ke sekolah,” katanya.
Kendala utama dalam belajar daring, lanjut Rafmateti, tidak semua siswa memilik gawai untuk penunjang komunikasi guru dan wali murid.
“Dari total siswa 150 orang, tidak semuanya memiliki handphone. Jangankan untuk handphone atau untuk beli pulsa, beli makanan saja banyak yang kesulitan,” ujar Rahmateti pihatin.
Oleh sebab itu, ia mengambil kebijakan guru-guru agar berinisiatif menjangkau siswa yang tidak bisa mengakses pembelajaran.
“Untuk itu, guru-guru harus menjangkau murid yang tidak memiliki akses. Anak harus terlayani saat pandemi ini. Senin, Selasa, Rabu, (siswa) dimonitor melalui handphone. Bagi yang tidak punya, anak harus dikunjungi,” ucapnya.
Diakui Rafmateti pembelajaran dari rumah untuk anak berkebutuhan khusus tidak optimal. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Namun yang utama, kata Rafmateti, sebagaian besar siswa SLB berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah.
“Sebagai pendidik, hal-hal di luar pembelajaran pun harus diperhatikan seperti apakah gizi anak-anak harus terpenuhi. Nah, itu sebagai pendukung proses pembelajaran. Kini, jangankan untuk belajar, ya bagaimana mereka mau belajar jika perut mereka kosong,” ujarnya.
Dengan memanfaatkan jaringan wali murid, sosial media, Rafmateti menginisiasi donasi sembako untuk keluarga siswa yang tidak mampu. Gotong-royong ini telah dilakukan saat masa Pembatasan Sosial Berskal Besar (PSBB), di mana hampir semua orang mengalami goncangan ekonomi.
“Kita mengumpulkan donasi untuk mereka, mencari sumbangan. Ada yang melalui Dinas Sosial, komunitas disabilitas dalam mengumpulkan sembako di masa yang sulit,” ujarnya.
Berdayakan Orang Dewasa dan Tetangga
Selain fasilitas penunjang belajar, kendala yang tak kalah sulit juga dihadapi oleh anak berkebutuhan khusus dengan orang tua yang juga berkebutuhan khusus. Kondisi ini membuat guru tidak bisa menitipkan materi ajar kepada orang tua.
“Apalagi ada kondisi yang di satu rumah bukan satu anak saja yang berkebutuhan khusus, ada adik, kakak, atau bahkan orang tua yang berkebutuhan khusus,” kata Rafmateti.
Seperti tidak kehabisan akal, agar hak belajar semua anak terpenuhi, guru-guru di SLB Negeri 2 menitipkan materi ajar kepada tetangga atau orang dewasa di lingkungan anak tersebut.
“Bagi kita kondisi ini tidak berarti kita menyerah. Namun mengoptimalkan potensi orang tua dan orang dewasa di sekitar anak yang menjadi target kita. Akhirnya ada beberapa cara yang dilakukan, tetangga yang didekati, mau ndak tetangganya untuk dititipkan program kemudian mendampingi anak belajar,” ulasnya.
Betapapun beratnya kondisi dan hambatan, tak akan membuat guru-guru di SLB Negeri 2 menyerah. Mereka bertekad tidak boleh ada anak yang tidak belajar apa pun kondisnya.
“Tidak ada anak yang tidak belajar, apa pun kondisinya” tegas Rafmateti. [pkt]