Padangkita.com - Sebelum VOC datang ke Sumatra’s Westkust (pantai barat Sumatra) orang-orang Eropa sudah mengetahui cerita tentang Gunung Emas.Hal itu bermula ketika Luiz de Camoens (1524-1580), penyair kebangsaan Portugis, menulis dalam Os Lusiadas tentang Gunung Ophir, kaya dengan emas dan telah diperdagangkan penduduk lokal dengan orang asing.
Tulisannya bermula dari kabar yang dibawa oleh pelaut-pelaut Arab yang ditemui Luiz de Camoens ketika menjalani hukuman untuk melakukan tiga kali milisi di Orient - wilayah timur Portugis. Pada masa itu Portugis sedang gencar melakukan ekspansi ke wilayah timur.
Namun, soal Gunung Ophir yang disebutkan Luiz de Camoens masih banyak pendapat dan menjadi tanda tanya.
Suryadi, ahli filologi dan pengajar di Universitas Leiden, Belanda, menyebutkan Gunung Ophir yang dimaksud Luiz de Camoens terletak di Pasaman (mungkin menunjuk Gunung Talamau).
“Penyair Portugis yang terkenal, Luiz de Camoens (1524-1580), menulis dalam Os Lusiadas (terbit 1572), sebuah puisi epik panjang yang monumental, tentang Gunung Ophir di Pasaman yang kaya emas,” tulis Suryadi dalam blog pribadinya niadilova.wordpress.com.
Ketenaran Pulau Sumatra sebagai daerah kaya emas sebetulnya bukanlah hal baru. Pulau Sumatra sejak dulu sudah dikenal dengan nama Svarnadwipa, bahasa Sanskerta itu berarti "Pulau Emas". Hal ini terdapat dalam Prasasti Nalanda yang dipahat pada tahun 860 Masehi.
Bahkan, William Marsden, dalam bukunya, History of Sumatera (1783), mengatakan, Sumatra pernah diduga sebagai Ophir, tempat armada Solomon (Sulaiman) mengambil muatan emas dan gading. Meski dugaan tentang Ophir menurut Marsden tak berdasar, pulau ini memang penghasil emas tiada tara.
Pada masa lalu, kandungan emas banyak ditemukan di kawasan tengah pulau di sepanjang Bukit Barisan seperti di Martabe, Bangko, Rawas, Lebong, dan Natal. Minangkabau dianggap sebagai daerah terkaya sehingga Belanda banyak mendirikan loji di Padang.
Menurut Marsden, di daerah Minangkabau saja terdapat tidak kurang dari 1.200 lokasi tambang emas.
“Sebanyak 283.000-399.600 gram setiap tahun tersimpan di Padang, di pasar bebas, atau di tangan perseorangan. Sementara itu, kira-kira 28.000 gram dipasarkan di Nalabu, di Natal kira-kira sebanyak 23.000 gram, dan di Mukomuko 17.000 gram," tulis Marsden, dikutip dari Kompas, dalam tulisan Lembah Emas yang Dihuni sejak Zaman Megalitikum.
TM Van Leuwen memberikan gambaran lebih komplet soal produksi logam mulia dari Sumatra. Dalam tulisannya di Journal of Geochemical Exploration, edisi ke-50, 1994, ia memperkirakan, total emas yang dikeruk dari Sumatra sejak eksplorasi Belanda hingga 1994 mencapai 91 ton dan perak sebanyak 937 ton.
Jauh sebelum Belanda datang dan mengeruk emas dari Sumatra, perdagangan emas dari pulau ini sudah berlangsung lama.
Dalam buku Barus Seribu Tahun yang Lalu (2003), Marie-France Dupoizat dan Daniel Perret menyebutkan, pengelana Tome Pires pada awal abad ke-16 mencatat bahwa emas diperdagangkan di seluruh pelabuhan di Sumatra, terutama di Barus.
Pelabuhan tua di pantai barat Sumatra Utara ini telah disebutkan dalam karya Ptolomeus, Geographia, yang ditulis pada abad ke-2 Masehi.
Kembali tentang Luiz de Camoens, si pembawa kabar Gunung Ophir ke Eropa, pada tahun 1553 Camoens mulai meninggalkan Portugis menuju Goa, India.
Ia menuntaskan misinya, mengikuti beberapa kali pertempuran. Di sana Camoens mempelajari adat istiadat wilayah setempat, menguasai geografi, dan sejarah.
Pada akhir tugasnya, Ia mendapat jabatan menjadi chief warrant officer (Kepala Petugas Waran) di Macau. Namun kemudian Ia dituduh dan diminta bertanggungjawab terhadap kehilangan properti tentara.
Dalam masa penahanannya, Ia menyusun Os Lusiadas yang memuat tentang Gunung Ophir itu. Ia kemudian diperintahkan kembali ke Goa untuk menjalani penuntutan. Dalam perjalannya kembali ke Goa, kapal yang ditumpangi karam, dan Camoens terdampar di sungai Mekong, Kamboja. Camoens kembali ke Lisbon tahun 1570 (Luiz de Camoens : Encyclopedia Britannica).
Setiba di Lisbon Luiz de Camoens menuntaskan Os Lusiadas dan menerbitkannya tahun 1572. Awal mula kabar Gunung Ophir tersebar di Eropa. Bagian yang menyebut Sumatra Pulau Ophir itu terdapat pada puisi yang berjudul "India: Siam Siam".
Berikut isi puisi itu, diterjemahkan oleh W. J. Mickle kedalam basaha Inggris seperti dilansir dari Bartleby.com.
WHERE to the morn the towers of Tava shine,
Begins great Siam’s empire’s far stretched line.
On Queda’s fields the genial rays inspire
The richest gust of spicery’s fragrant fire.
Malacca’s castled harbor here survey,
The wealthful seat foredoomed of Lusian sway.
Here to their port the Lusian fleet shall steer,
From every shore far round assembling here
The fragrant treasures of the Eastern world:
Here from the shore by rolling earthquakes hurled,
Through waves all foam, Sumatra’s isle was riven,
And mid white whirlpools down the ocean driven
To this fair isle, the golden Chersonese,
Some deem the sapient monarch ploughed the seas,
Ophir its Tyrian name. In whirling roars
How fierce the tide boils down these clasping shores!
High from the strait the lengthening coast afar,
Its moonlight curve points to the northern star,
Opening its bosom to the silver ray
When fair Aurora pours the infant day.
Pada awal Mei 1662, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) perusahaan multinasional asal Belanda, menduduki Pulau Cingkuak (poulo chinco). Penguasaan oleh VOC didasarkan konsesi untuk berdagang di Sumatra’s Westkust melalui Perjanjian Painan (W.J.A. de Leeuw, Het Painansch Contract. Amsterdam: H.J. Paris, 1926).
VOC menguasai Cingkuak pada tahun 1662 dan menjadikan pulau kecil itu sebagai jangkar untuk menduduki Kota Padang. Pulau ini juga digunakan hingga lebih satu abad kemudian sebagai loji untuk keperluan perdagangan lada dan pala, bahkan mengelola tambang emas Salido. (Melompat ke Masa Lalu di Pulau Cingkuak : Jurnalistravel.com).
Walau banyak pendapat saat ini yang mengatakan Gunung Ophir yang disebut Luiz de Camoens dalam Os Lusiadas terletak di Pasaman (menunjuk Gunung Talamau), seperti banyak ditulis di ensiklopedia bebas, namun bangsa-bangsa Eropa tidak pernah sampai melakukan eksploitasi ke tempat itu. Tapi malah menginjakkan kaki pertama kali menambang emas di Salido (atau dalam literatur Belanda disebut Salida), Pesisir Selatan.
Tambang Emas Salido, tidak begitu dikenal. Padahal Menurut Suryadi, berkemungkinan tambang emas Salido adalah tambang tertua di Sumatra, bahkan mungkin di Indonesia. Ia menyayangkan tak banyak sejarawan yang tertarik untuk meneliti sejarah tambang Salido.
Menurut Suryadi, sebetulnya tersedia banyak sumber kepustakaan mengenai tambang Salido (statistik, naratif dan visual). Hal ini berguna untuk merekonstruksi tambang Salido untuk dijadikan sebagai aset pariwisata sejarah. Tinggal pemerintah untuk menindaklanjutinya.
Jejak-jejak Tambang Salido, masih dapat kita lihat hingga kini. Tidak begitu sulit untuk mencapai tempat itu. Terletak sekitar 10 Km dari Kota Painan, Pesisir Selatan. Oleh masyarakat sekitar, wilayah lokasi tambang lebih dikenal dengan nama Salido Ketek (Salido Kecil). Sementara tempat tambang itu masyarakat menyebutnya Gunung Harun (mungkin menunjuk kepada Karun – Harta Karun).
Hingga kini masih terdapat beberapa bangunan peninggalan Belanda. Tidak hanya lubang-lubang bekas tambang, tapi juga pembangkit listrik tenaga air yang dibangun oleh Belanda, untuk pemasok listrik pabrik semen di Indarung Padang pada masa dulu.
Lika-liku Tambang Salido
Suryadi mengatakan VOC mulai melakukan eksploitasi terhadap kandungan emas Salido pada tahun 1669, pada masa jabatan Commandeur Jacob Joriszoon Pit, yang menjabat pada tahun 1667 hingga 23 Mei 1678. Pit adalah commandeur VOC ketiga untuk pos Padang.
VOC mendatangkan untuk pertama kalinya dua ahli tambang ke Salido bernama Nicolaas Frederich Fisher dan Johan de Graf yang berasal dari Hongaria. Bersama dengan para buruh yang berasal dari budak-budak yang dibawa VOC dari Madagaskar dan tawanan perang (krijgsgevangenen) dari daerah sekitarnya.
Menurut J.E. de Meyier dalam De goud-en zilvermijn Salido ter Sumatras Westkust, De Indische Gids 32.1 (1911), disebutkan bahwa budak-budak dari Nias juga dipekerjakan di tambang itu. Kala itu Fisher dan Johan de Graf meyakinkan VOC, eksploitasi Tambang Salido akan memberi banyak keuntungan.
“Hasil penambangan awal ini masih kurang menggembirakan. Tapi penyebabnya lebih dikarenakan oleh penggunaan uang yang boros dan kacaunya administrasi Tambang Salido. Kehidupan di tambang itu juga jelek, banyak kematian buruh karena mabuk minuman keras. Ada 49 orang Eropa yang bekerja di tambang itu dengan gaji hanya f 12 sebulan, dan 104 orang budak lelaki serta 28 budak perempuan tanpa gaji. Namun penambangan tetap dilanjutkan,” tulis Suryadi.
Akhirnya bulan Juli 1679, VOC kembali mendatangkan ahli tambang ke Salido. Ia seorang insinyur bernama Johann Wilhelm Vogel asal Jerman. Selama bekerja di Salido Johann Wilhelm Vogel menulis buku berjudul Zeven jhrige Ost - Indianische Reise - Beschreibung, Altenburg: J.L. Richter, diterbitkan tahun 1707. Buku ini menceritakan pengalamanya selama bekerja di Tambang Salido.
Setelah Johann Wilhelm Vogel, VOC kembali mendatangkan ahli bebatuan gunung, Benjamin Olitzsch, bersama dengan seorang asisten bernama Elias Hesse. Tapi malang bagi Benjamin Olitzsch, Ia meninggal pada 28 Mei 1682 di Salido karena sakit. Jenazahnya dimakamkan di Pulau Cingkuak.
Elias Hesse kemudian menulis beberapa buku tentang Tambang Salido dan perjalanannya di Sumatra pada umumnya. Dalam bukunya, Gold–Bewerke in Sumatra, Hesse melaporkan antara 9 November 1680 hingga 16 Juni 1681, sebanyak 32 dari 262 buruh di Tambang Salido meninggal.
Setelah Wilhelm Vogel, pengelolaan Tambang Salido digantikan oleh Gabriel Muller. Pada masa Muller Tambang Salido mengalami kemunduran. Kehidupan di tambang itu makin buruk. Saat itu Belanda sedang berperang dengan Perancis, kondisi ini berdampak pula ke negeri-negeri jajahannya. Akhirnya Tambang Salido terpaksa ditutup.
Pada tahun 1724, VOC kembali membuka Tambang Salido dengan mendatangkan seorang ahli asal Jerman bernama Mettenus, dengan asistennya bernama Weinberg. Pada waktu yang sama, VOC juga menemukan wilayah baru yang memiliki kandungan emas, yaitu di Kerawang, Jawa Barat. Usaha membuka Tambang Salido kali ini terhanyata hanya sia-sia. VOC mengalami kerugian, dan akhirnya tambang Salido kembali ditutup.
Tahun 1732 Tambang Salido dibuka lagi, dipimpin oleh seorang ahli bernama Bollman. Eksplorasi di tambang itu ditingkatkan dengan membuat lubang galian baru bernama cloon–tunnel sepanjang 300 meter. Antara tahun 1732 hingga 1733, hasil tambang Salido dilaporkan meningkat, rata-rata per ton batu tambang mengandung bijih emas senilai f 1350. Menurut R.J. Verbeek, yang menulis beberapa buku tentang Tambang Salido (Verbeek 1880 dan 1886), antara tahun 1669 hingga 1735 Tambang Salido sudah menghasilkan 800 ton bijih emas, dengan nilai f 1.200.000 atau rata-rata f 1.500 per ton.
“Selama 150 tahun beroperasinya Tambang Salido tidak banyak diketahui orang mengenai tambang itu sampai kemudian Verbeek menerbitkan bukunya, Nota over de verrichtingen der Oost - Indische Compagnie bij de ontginning der goud - en zilveraders te Salido op Sumatras Westkust (1886). Verbeek mengusulkan agar ekploitasi Tambang Salido dilanjutkan,” tulis Suryadi.
Tergiur akan keuntungan yang menjanjikan, salah satu Girobank di Rotterdam, yang dipimpin oleh Hulshof Pol, masa itu, berminat mendanai ekploitasi kembali Tambang Salido. Maka dikirimlah seorang ahli pertambangan bernama Arthur Clay ke Salido. Di bawah manajemen baru, dengan K. Kriekhaus sebagai hoofadministrateur-nya yang pertama, Tambang Salido mempekerjakan enam orang ahli Eropa, dan 50 hingga 60 pekerja kontrak dan 200 orang kuli bebas.
Suryadi mengatakan di bawah pimpinan Kriekhaus Tambang Salido terus merugi. Neraca tambang Salido pada 12 Desember 1912 hanya menyisakan uang sebanyak f 128,33. Kriekhaus mencoba tetap bertahan sambil mencari metode dan teknologi baru untuk meningkatkan hasil Tambang Salido.
“Akhir tahun 1912 Kriekhaus masih mencoba menyelamatkan Tambang Salido, ia minta bantuan manajemen tambang Aequator (direkturnya waktu itu P. Grimmel) dan manajemen Kinandam Sumatra-Mijnbouw (K.S.M.M.), (direkturnya waktu itu Gebruiders Veth). Pada bulan Juli 1914 untuk pertama kalinya dicoba menggunakan zat kimia untuk memisahkan bijih perak dan emas di Tambang Salido,” Tulis Suryadi
Tambang Salido masih bertahan beberapa tahun lagi melewati masa-masa paling sulitnya. Kriekhaus masih memimpin tambang itu di masa-masa sulit tersebut, sebelum ia mundur pada 1 Mei 1918.
Hingga beberapa tahun kemudian, Tambang Salido masih beroperasi di bawah pimpinan Ir. de Greve. Namun, karena merugi terus, Tambang Salido akhirnya ditutup pada tahun 1928. Tidak pernah dibuka lagi hingga Belanda meninggalkan Indonesia pasca pendudukan Jepang.