Padangkita.com - Temuan batu tegak berbentuk jenis kelamin laki-laki di Jorong Balai Tabuah, Nagari Tanjung Sungayang, Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, tiga hari lalu, menjadi pembicaraan warganet. Banyak distorsi makna menyangkut bentuknya, sehingga penjelasan ilmiah dirasa perlu disampaikan.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar yang berkedudukan di Pagaruyung, Tanjung Emas, melakukan penjajakan temuan tersebut, dengan tujuan mengumpulkan data tinggalan yang diduga cagar budaya.
Kasi Pelindungan, Pengembangan, Pemanfatan BPCB Batusangkar Teguh Hidayat yang menjadi ketua penjajakan benda tersebut menjelaskan, pihaknya melakukan tindakan cepat dalam rangka penyelamatan dan pengamanan objek yang masih dalam kategori diduga cagar budaya.
“Karena pada prinsipnya, tindakan pelestarian terhadap Cagar Budaya dan yang masih diduga Cagar Budaya memiliki porsi yang sama dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,” ujarnya, kemarin.
Dia menjelaskan, batu tegak atau dalam dialek Minang, batu tagak, bertipe phallus (berbentuk alat kelamin) tersebut berada di pandam pakuburan yang diistilahkan dengan puun.
Berdasarkan informasi masyarakat, puun berasal dari kata “puhun” yang berarti pemohonan/panjatkan doa.
Secara administratif berlokasi di Jorong Balai Tabuah, Nagari Tanjung Sungayang, Kecamatan Sungayang. Lokasi berada di area pemakaman Suku Piliang (Dt. Marajo).
Secara astronomis berada pada titik koordinat S 00° 23′ 57.5” 100° 36' 29.4” E. Lokasi temuan batu tagak berada pada sebuah bukit kecil dengan ketinggian 556 mdpl. Lokasi tidak begitu jauh dari pusat kota, jarak dari ibukota kabupaten sekitar 33 km.
Berdasarkan informasi dari masyarakat (kaum Dt. Marajo), cerita Teguh, pada awalnya batu tagak ini berada dalam posisi rebah, tepatnya disisi barat laut dari posisi batu tagak sekarang.
“Kemudian pada tanggal 17 Agustus 2017 ditegakkan oleh kaum Dt. Marajo bersama masyarakat sekitar,” kisahnya.
Saat ini, batu tersebut sebelah utara berbatasan dengan pemakaman, sebelah selatan berbatasan dengan pemakaman, sebelah barat berbatasan dengan pemakaman, dan sebelah timur berbatasan dengan pemakaman.
Lebih lanjut dia mengatakan, batu tagak terbuat dari batu andesit yang telah mengalami pemahatan. Secara visual batu tagak tersebut berbentuk menhir bertipe phallus.
Dikatakan Teguh, batu tagak berukuran 2 m, 60 cm tertanam dan sisanya 140 cm masih berada di atas permukaan tanah, lebar 34 bagian atas, 38 cm bagian tengah dan 41 bagian bawah.
“Di sekitar batu tagak tipe phallus ini terdapat beberapa batu-batu lainnya ada yang sudah dikerjakan dan ada pula berupa batuan alam yang pada dasarnya merupakan nisan makam,” tandasnya.
Dijelaskannya, batu tagak phallus sekarang juga diistilahkan dengan “batu perkasa”. Menurutnya, merupakan temuan yang unik yang menjadi perbicangan dalam beberapa hari yang lalu. Bahkan pejabat seperti Bupati Tanah Datar pun menyambangi batu tersebut.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, katanya, didapatkan data teknis terkait dengan batu tagak tipe phallus dan temuan sekitar batu tagak tersebut.
Di sekitar objek terdapat beberapa batu-batu lainnya seperti batu koncek (kodok), lesung batu, nisan bungo, dan nisan makam lainnya yang bertipe hulus keris, tipe balok dan nisan tanpa pengolahan.
Analisa awal dari hasil observasi di lapangan, beber Teguh, menunjukkan bahwa batu tagak yang berada di Puun, Jorong Balai Tabuah, Nagari Tanjung Sungayang tersebut bukan dalam pengertian menhir dari budaya megalitik (Pra-sejarah). Melainkan bentuk “nisan menhir” yang dapat ditafsirkan sebagai tradisi megalitik dan/atau tradisi berlanjut dari masa Pra-sejarah ke masa Islam.
“Batu tagak/menhir di lokasi ini merupakan tanda makam (masa Islam) yang terlihat pada orientasi nisan makam yang sudah U-S yang berarti sudah menghadap kiblat,” ungkapnya.
Menurut Ambary (1991,1198), sambung Teguh, Islam pada beberapa aspek berkesinambungan dengan anasir budaya dari etnis tertentu (permanensi etnologis) yang telah muncul jauh sebelum Islam itu sendiri diterima masyarakat.
Bentuk permanensasi etnologis yang dapat diamati adanya adanya tradisi “nisan makam” yang menggunakan batu berbentuk menhir.
“Karena dalam disiplin ilmu arkeologi, menhir/batu tegak adalah batu yang didirikan/tegak yang berfungsi sebagai batu peringatan dalam pemujaan arwah leluhur (Soejono, 1993: 321),” jelas Teguh.
Ditambahkan pula bahwa karena menhir media untuk penghormatan arwah leluhur dalam tradisi megalitik. Karena pada prinsipnya pemahaman “tradisi berlanjut” ini lebih pada bentuk visual dari artefaknya saja, namun memiliki perbedaan dalam hal fungsi dan pemanfaatan dari objek tersebut.
Dengan demikian, beber Teguh, kontinuitas tradisi megalitik yakni penggunaan menhir sebagai nisan kubur, menandai karakteistik Islam yang sangat akomodatif terhadap paham-paham lokal yang merupakan bentuk kepercayaan terhadap leluhur yang diwarisi sejak zaman megalitik dan terus bertahan hingga persentuhannya dengan Islam.
“Pemberian tanda (misalnya kayu, batu) pada penguburan Islam merupakan salah satu sunnah, sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim “ disunnahkan memberi tanda kubur dengan batu atau tanda lain pada bagian kepala”,” bilang Teguh.
Pemberian tanda makam berupa menhir pada Prasejarah seperti di situs Bawah Parit, Belubus, Koto Tinggi di Kabupaten Limapuluh Kota, dan nisan pada masa Islam (misalnya Makam Ustano Rajo Alam, Makam Kuno Simawang, Makam Talago Gunung, Kab. Tanah Datar), secara prinsip mempunyai kesamaan, yaitu sebagai tanda adanya makam atau penguburan.
Adanya kesamaan ini, menimbulkan pemanfaatan fungsi, terutama dari fungsi atau bentuk menhir yang berfungsi sebagai tanda kubur pada masa Islam (Wiyana, 2008: 311).
Bentuk phallus, kata Teguh, cukup banyak kita temui pada tingalan makam-makam kuno masa Islam di Sumatera Barat.
Bentuk alat kelamin, jelas Teguh, pada awalnya merupakan lambang/simbol kesuburan bagi masyarakat pra-sejarah, namun pada masa Islam bentuk phallus lebih pada penanda bahwa yang dimakamkan adalah berjenis kelamin laki-laki dan juga tanda yang dimakamkan adalah tokoh khususnya tokoh adat/pemuka adat.
Dari data lapangan yang dilakukan tim BPCB, didapatkan pula bahwa pada awalnya lokasi “batu perkasa” tersebut dikelilingi oleh batu-batu sungai sebanyak dua lapis yang sekilas seperti jirat makam.
Namun, penambahan jirat pada batu tagak tipe phallus dapat ditafsirkan pula memiliki maksud dan tujuan yang khusus. Kemungkinan pemberian jirat yang melingkari batu tagak tersebut bertujuan untuk memberikan kesan keramat, dan atau menjadi sentral magis/pusat magis bagi orang yang mengunjungi lokasi tersebut.
“Ambary (1998) mengatakan soal pengkeramatan makam, tampaknya hal tersebut sudah menjadi tradisi sebagaian besar masyarakat Muslim di wilayah Nusantara,” bebernya.
Posisi letak dari beberapa makam kuno di Puun tersebut yang sekilas tanahnya ditinggikan yang mungkin bermaksud untuk lebih mengagungkan dari orang yang dimakamkan di lokasi tersebut.
Dapat pula dipahami bahwa lokasi tersebut merupakan pandam pakuburan (pemakakan) kuno dari para leluhur Kaum Dt. Marajo. Sehingga, kemudian ketika masyarakat dari Kaum Dt. Marajo meninggal, lokasi pemakaman berada sisi selatan dari pemakaman lama.
Kedepannya, Teguh mengatakan, perlu dilakukan survei lanjutan untuk mendata seluruh tinggalan yang ada di sekitar lokasi temuan menhir tipe phallus tersebut dalam rangka untuk melengkapi data agar dapat dipakai nantinya dalam rangka pelestariannya.
Kemudian, diharapkan kedepannya perlu perhatian bersama baik dari nagari, kecamatan dan pemerintah daerah dalam melindungi dan melestarian tinggalan masa lalu yang mempunyai nilai penting baik bagi pendidikan, sejarah lokal, agama dan sebagainya.
“Karena tinggalan makam kuno di Puun, Balai Tabuah merupakan bagian dari sejarah Nagari Tanjung,” pungkasnya.