Padangkita.com – Bagi Mohammad Hatta, Bapak Proklomator Indonesia, satu-satunya jawaban untuk mengatasi ketimpangan ekonomi adalah gotong royong. Di mana, setiap orang bisa bekerja secara wajar dan mampu memenuhi kebutuhannya.
Goyong royong dalam perekonomian ini diwujudkan Hatta dalam bentuk koperasi, sistem ekonomi kerakyatan dengan asas kebersamaan dan persaudaraan untuk kemandirian bangsa Indonesia.
“Koperasi merupakan bentuk kongkret sistem ekonomi gotong royong. Yang dituntut dalam koperasi pemerataan kerja dan pembagian hasil, sehingga tidak ada lagi ketimpangan,” begitu ditulis Hatta dalam bukunya Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun yang disarikan Padangkita, Minggu (13/8/2017).
Hatta melihat, koperasi adalah jawaban tepat untuk kemandirian bangsa Indonesia dari belenggu sistem kapitalisme yang menempatkan perseorangan menumpuk kekayaan untuk diri sendiri dan penguasaan ekonomi oleh kelompok tertentu.
Sistem gotong royong jelas melawan kemapanan kapitalisme itu. Karena pembagian dilakukan secara adil sesuai porsinya, yang mendistribusikan kekayaan secara merata.
Baginya, koperasi adalah sistem ekonomi untuk jangka panjang, karena dampaknya tidak bisa langsung dirasakan begitu saja. Makanya untuk jangka pendek, tidak masalah rakyat kecil bekerja bagi pemodal perseorangan.
Tetapi, bekerja bagi pemodal perseorangan sifatnya hanya sementara. Koperasi lah yang utama, yang akan menjadi tulang punggung menghidupi masyarakat Indonesia di masa mendatang.
Dalam buku itu, Hatta yang juga dianugerahi gelar ‘Bapak Koperasi Indonesia’ sudah menjabarkan strategi pengembangan koperasi jangka panjang.
Ia menekankan, sistem ekonomi dan koperasi harus seimbang. Bukan hanya idealis, tetapi juga realistis. Makanya, ia menyarankan ada langkah taktis dan strategis.
Sebagai ekonom, bapak bangsa yang berhaluan ekonomi kerakyatan ini, dengan tegas menyatakan koperasi harus dibangun dengan kemandirian atau tidak bertumpu pada orang lain atau negara lain.
Ia mengingatkan mesti ada skala prioritas, dengan memperbanyak produksi, terutama untuk usaha-usaha kecil, menengah, dan rumah tangga. Lalu perbaiki kualitas barang, sehingga mampu bersaing dengan produk negara lain.
Benahi pula distribusi agar setiap produksi bisa sampai kepada konsumen secara tepat. Dan budayakan masyarakat untuk menabung agar terbentuk modal.
Hatta yang mengenyam pendidikan Eropa banyak belajar dari berkembangnya koperasi di negara-negara maju di sana. Di Belanda, Denmark, Jerman, dan negara Eropa lainnya yang tumbuh pesat pasca revolusi industri di Inggris dan revolusi Perancis.
Ia memadukan konsep kebersamaan dan perlawanan terhadap kapitalisme dengan budaya gotong royong masyarakat Indonesia sebagai nilai-nilai koperasi.
Bahkan, di negara model Denmark, Norwegia dan Finlandia, sektor ekonomi pertanian, perikanan dan ritel dikuasi oleh koperasi hingga sekarang. Di Denmark misalnya hampir setengah penduduknya adalah anggota koperasi.
Lalu, bagaimana nasib koperasi di Indonesia, terutama Sumatera Barat saat ini ? Negeri di mana Hatta lahir dan diagungkan perjuangannya.
Ekonom Universitas Indonesia Sri Edi Swasono, yang juga menantu Hatta dalam satu kesempatan mengatakan keberpihakan pemerintah kepada koperasi masih lemah, terbukti dengan minimnya perhatian ke koperasi.
“Koperasi akan terbunuh saat pemerintah memberikan kesempatan luas kepada ekonomi liberal. Karena dengan asas kebersamaan dan persaudaraan, koperasi tidak pernah bersaing, tetapi berlomba,” ujarnya.
Ia menggarisbawahi kata berlomba dan bersaing. Dalam sistem liberal, istilah bersaing artinya saling membunuh. Berbeda dengan berlomba dalam konsep koperasi, yakni saling berusaha menjadi yang terbaik.
Kini, nasib koperasi kian merana. Sekitar 30 persen koperasi di Indonesia tidak aktif. Di Sumbar, misalnya, awal tahun ini pemda setempat berencana membubarkan 1.167 koperasi karena tidak aktif lagi.
Alasannya, pembubaran itu merupakan bagian dari upaya mereformasi koperasi dengan tujuan untuk rehabilitasi, reorientasi dan pengembangan koperasi.
“Yang dibubarkan itu, koperasi yang tidak melakukan RAT (Rapat Anggota Tahunan) dalam lima tahun terakhir. Bahkan ada koperasi tidak RAT hingga 10 tahun,” kata Zirma Yusri, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Sumbar.
Ia menilai perlu dilakukan reformasi koperasi, untuk menghasilkan koperasi yang betul-betul bisa berkembang dan berkontribusi bagi ekonomi masyarakat dan kesejahteraan anggotanya.
“Saya kira jumlahnya tidak perlu banyak. Yang penting kualitasnya dan ada penambahan anggota setiap tahun,” ucapnya.
Data Diskop dan UMKM Sumbar, total jumlah koperasi di seluruh wilayah Sumbar mencapai 3.853 unit dan sebanyak 1.167 koperasi dalam status tidak aktif.
Pembubaran, katanya, mengacu Permen Koperasi dan UKM No.10 tahun 2015 tentang Kelembagaan Koperasi, yang menyatakan bahwa koperasi yang tidak melakukan RAT selama tiga tahun berturut-turut atau tidak menjalankan aktifitas usaha dalam dua tahun berturut-turut dinyatakan tidak aktif dan pemerintah daerah bisa melakukan pembubaran.
Menurutnya, rata-rata koperasi yang akan dibubarkan itu, sudah memenuhi kriteria tidak aktif, sehingga layak dibubarkan oleh pemerintah.
Sementara itu, untuk pembubaran koperasi berdasarkan UU Koperasi bisa dilakukan melalui dua mekanisme, yaitu keputusan anggota melalui RAT dan dibubarkan oleh pemerintah.
“Sesuai UU Koperasi kami (pemerintah) bisa bubarkan koperasi yang tidak aktif itu dan urusan yang masih tersangkut bisa diurus kemudian,” katanya.
Ekonom Universitas Bung Hatta (UBH) Syafrizal Chan menilai fungsi koperasi untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat tidak bisa dicapai, karena sistem pasar yang menyulitkan pengembangan koperasi.
Menurutnya, sistem ekonomi Indonesia sudah terperangkap kepada sistem liberal, sehingga tidak mungkin lagi mengharapkan koperasi sebagai tumpuan kesejahteraan masyarakat.
“Kita sudah terperangkap dalam sistem liberal, sulit bagi koperasi untuk berkembang,” katanya.
Makanya, percepatan reformasi koperasi dan mengembalikan peran koperasi sesuai Undang-undang dan keinginan pendiri bangsa mutlak dilakukan.
Jangan sampai di negara yang katanya menganut sistem ekonomi kerakyatan ini, koperasi hanya sebatas angan Bung Hatta. Maka terkutuk lah kita.