Padang, Padangkita.com – Munculnya surat Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri sebagai landasan menyetop pembagian pajak air permukaan (PAP) waduk PLTA Koto Panjang untuk Sumatra Barat (Sumbar), sepertinya merupakan kekeliruan. Terlalu besar risiko yang bisa terjadi, jika surat tersebut tidak segera diubah atau dicabut.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar, Yozawardi, menjelaskan terdapat Daerah Tangkapan Air /DTA (Catcment Area) di Koto Panjang seluas 150.000 hektare. Fungsi DTA ini, kata Yozwardi, untuk menampung air hujan, menyimpan dan mengalirkannya ke anak-anak sungai.
Dar anak-anak sungai air lalu mengalir ke sungai besar dan bermuara ke danau buatan Koto Panjang. Artinya, lanjut dia, sumber air waduk Koto Panjang berasal dari hutan-hutan yang berada di Sumatra Barat.
“Catchment area Koto Panjang seluas 150.000 hektare yang menampung air hujan, menyimpan serta mengalirkannya ke anak-anak sungai, terus ke sungai dan bermuara ke Danau Koto Panjang, merupakan sumber utama penggerak turbin PLTA Koto Panjang yang berasal dari sungai-sungai dan hutan dari Sumbar,” ungkap Yozawardi, sebagaimana dirilis Dinas Kominfo Sumbar, Jumat (31/7/2020).
Dia juga mengungkapkan, untuk memastikan hutan tetap terjaga di “catchment area” atau DTA itu, Pemprov Sumbar mesti melakukan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan pada wilayah tersebut serta melaksanakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).
Anggarannya, lanjut Yozawardi, sekitar Rp 2 miliar per tahun yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumbar.
Sementara itu, Kepala Dinas Penamaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Sumbar, Maswar Dedi menyatakan, DTA yang masuk Provinsi Sumbar dan saat ini sebagai hutan lindung, untuk kebutuhan pembangunan daerah dapat diajukan perubahan fungsi pada RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) menjadi kawasan budi daya hutan produksi (HP) atau area penggunaan lain (APL).
Perubahan fungsi ini, kata Maswar, boleh dilakukan oleh Gubernur Sumbar, karena Gubernur punya kewenangan untuk mengalihfungsikannya.
“Sebenarnya telah banyak investor bidang perkebunan yang tertarik berinvestasi di ‘catcment area’ waduk Koto Panjang itu dan menjadikan kawasan tersebut menjadi hutan produksi atau area penggunaan lainnya,” kata Maswar.
Namun, lanjut Maswar, karena hutan tersebut menyangkut ketersediaan air untuk waduk PLTA Koto Panjang dan demi mempertimbangkan warga Riau, Gubernur Sumbar belum mau mengalihfungsikan hutan tersebut.
Sejumlah anggota DPRD Sumbar, telah mengancam akan menghentikan anggaran untuk hutan yang menjadi DTA waduk Koto Panjang, jika Kemendegri tidak merespons aspirasi rakyat Sumbar. DPRD Sumbar juga bakal mendukung penuh langkah Gubernur Sumbar mengalihfungsikan DTA waduk Koto Panjang untuk kepentingan rakyat Sumbar.
Sementara itu, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno meminta masyarakat Sumbar untuk tetap tenang menanggapi masalah tersebut. Irwan mengaku telah mengirim surat resmi ke Kemendagri dan melakukan sejumlah upaya agar Sumbar tetap mendapat bagian PAP.
Sekadar diketahui, pemicu masalah tersebut bermula dari terbitnya surat Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri No. 973/2164/KEUDA tanggal 5 Mei 2020 tentang Penyelesaian Pajak Air Permukaan UL PLTA Koto Panjang. Surat itu dikirim ke General Manager PT PLN (Persero) UIK Sumatra Bagian Utara.
Pada poin 3 surat itu disebutkan, DAS (Daerah Aliran Sungai), Hulu dan Hilir dapat dipandang sebagai satu kesatuan Sumber Daya Air, tetapi dalam konteks perpajakan titik pajaknya adalah di mana air tersebut dimanfaatkan.
Berikutnya, Pemerintah Daerah yang berwenang memungut pajak air permukaan adalah pemerintah daerah yang memiliki wilayah di mana air permukaan tersebut berada sebagaimana diatur dalam UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. [*/pkt]