Padangkita.com - Integritas mengapresiasi penetapan tersangka Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto (Setnov) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus Kartu Tanda Penduduk (KTP) Elektronik. Integritas menyebut ini sebagai bentuk keseriusan KPK menuntaskan kasus KTP Elektronik, serta memperjelas posisi Hak Angket DPR RI terhadap KPK.
“Kita apresiasi penetapan tersangka Setnov ini. Meskipun diganjal oleh Hak Angket oleh DPR, namun KPK telah menunjukkan keseriusannya dalam menuntaskan kasus KTP Elektronik” ujar peneliti Integritas Antoni Putra, dalam rilis yang diterima PadangKita.com, Senin (18/7/2017).
Dari data Integritas, Setnov adalah pimpinan lembaga tinggi negara ketiga yang tersangkut kasus korupsi yang diproses KPK. Sebelumnya ada Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muktar dan Irman Gusman, Ketua Dewan Perwakilan Daerah.
Neysa Khaira, peneliti Integritas menambahkan, Setnov yang juga Ketua Umum Partai Golkar, merupakan ketua partai politik ketiga yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi.
“Sebelum Setnov ada SuryaDharma Ali dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishak”, ujarnya.
Neysa menambahkan, penetapan Setya Novanto sebagai tersangka korupsi, memperjelas Hak Angket KPK yang digulirkan DPR, sarat kepentingan guna melindungi anggota DPR lainnya yang terlibat di kasus KTP Elektronik.
“Setnov adalah pihak yang dari awal disebut-sebut menerima aliran dana KTP Elektronik, selain beberapa pengusul Hak Angket dan beberapa anggota Panitia Khusus (Pansus)” ujarnya.
Berdasarkan analisis dan data tersebut, Integritas menilai Hak Angket KPK sudah sepatutnya dicabut. “ Selain cacat formal, hak angket tersebut kita duga memiliki tujuan untuk menghambat proses hukum” ungkap Antoni.
Sebelumnya KPK menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik yang diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun. Dalam keterangan persnya di kantor KPK , Senin (17/7/2017), Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut Setnov sebagai Anggota DPR RI diduga menguntungkan diri sendiri, atau korporasi.