Tabuik menjawab soal kemajemukan paling sempit yang terawat dengan baik. Syiah yang hidup dalam relung budaya tanah suni di Ranah Minang.
AWAL Oktober tahun lalu, di tanah yang masih lembab, puluhan orang berpijak memikul dua keranda dipundak berbentuk replika Burak dari pusat Kota Pariaman menuju pantai Gondoriah, tempat melarung ke laut.
"Hoyak, Hosain, Hoyak Husain ya Husain- O, ya Husain," yel-yel ini mengalun di pusat Kota Pariaman dari teriakan pengarak tabuik.
Hujan pagi seolah mengisyaratkan langit berduka, menangisi dua keranda yang dikendarai Burak sebagai simbol kematian tragis Husain, dengan sebutan: Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang.
Tabuik adalah cara mengenang syahidnya cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husain bin Ali Abi Thalib AS, yang dibantai oleh pasukan tentara Yazid bin Muawwiyyah sebagai khalifah Bani Umayyah di Padang Karbala pada 10 Muharam tahun 61 H (680 M).
Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Duski Samad Tuanku Mudo mengatakan yel-yel dalam arakan Tabuik tersebut didefenisikan masyarakat Pariaman sebagai ungkapan kata-kata dan ekspresi, bentuk keprihatinan terhadap cucu Nabi Muhammad SAW, sebagai korban berdarah dari peristiwa yang dikenal dengan Perang Karbala.
Sejatinya Tabuik wujud ritual kaum Syiah menangisi kematian Husain, tapi orang-orang Pariaman yang mengklaim Ahlusunnah Waljamaah, berpaham Suni, justru memperagakannya selama seratus tahun lebih. “Akar historis dari Tabuik adalah peristiwa Karbala yang setiap tahunnya juga diperingati oleh penganut keyakinan Syiah di Kota Karbala,” jelas Duski.
Lintas sejarah Tabuik di Pariaman tidak bisa dipisahkan dari Syiah.
Orang-orang Sipahi atau Cipai, India, yang menjadi serdadu Inggris di Bengkulu ditenggarai membawa Tabuik ke Pariaman, ketika Inggris angkat kaki dari Bengkulu. Bangsa Cipai sendiri dikenal berpaham Syiah.
Seorang Tuo Tabuik (tetua Tabuik) Nasrun Jon mengatakan, sekitar tahun 1826, dua orang murid dari Imam Kadar Ali dari Cipai, yakni Mak Sakrana dan Mak Sakauyana menyeberang dari Bengkulu dan mendarat di Pariaman. Mereka bergaul, lalu teringat akan budaya penghormatan kematian Husain yang selalu mereka gelar di Bengkulu yakni Tabot.
Gayung bersambut, pribumi Pariaman tidak mempermasalahkan budaya yang mereka tampilkan. Justru, sebut Nasrun, tahun 1890 seorang Pariaman dari kampung Punggunglading Mak Rambai, terinspirasi dengan Tabuik tersebut, kemudian memodifikasi bentuknya seperti yang ditampilkan hari ini.
Diterimanya Tabuik masyarakat Pariaman, tentu bisa dilihat dari keterbukaan daerah ini di masa lampau. Pariaman adalah bandar dagang (entrepot) sibuk di Pantai Barat di masa lampau. Sehingga interaksi dengan pendatang (pedagang atau pun pendakwah), adalah hal lumrah.
Masyarakatnya sudah terbiasa berinteraksi dengan bangsa lain, menerima paham agama yang dibawa oleh para niaga. Kebetulan, paham Suni lebih dahulu bercokol di Pariaman.
Melalui tahapan negosiasi, pada akhirnya, Tabuik sebagai budaya Syiah diterima, bahkan sudah mempresentasikan kebudayaan Pariaman.
Namun dewasa ini, pemerintah dan masyarakat Pariaman jengah bila Tabuik dikaitkan dengan Syiah. Seolah Syiah menjadi momok yang dikhawatirkan akan membuat Tabuik tidak lagi diterima sebagai iven tahunan Pariaman.
Berpantang dengan kata Syiah, bukan berarti mengeliminasi substansi Syiah dalam wujud duka pada kematian Husain. Tabuik hanya wujud luruhnya Syiah di tanah Suni.