BEBERAPA tahun terakhir, kehadiran pejabat publik di ruang digital kian akrab di mata kita. Ada yang sedang menanam pohon, membagi sembako, meninjau banjir, atau sekadar menyapa warga dengan gaya hangat di depan kamera. Semua dibungkus rapi dengan caption yang menyentuh hati dan pencahayaan yang nyaris sinematik. Seolah, tugas utama seorang pejabat kini tak hanya memimpin birokrasi, tetapi juga menjadi influencer yang piawai memikat warganet.
Fenomena ini barangkali lahir dari niat baik, mendekatkan pejabat dengan rakyat lewat media yang paling sering diakses masyarakat. Namun, di balik niat baik itu, ada pertanyaan yang perlahan tumbuh: apakah komunikasi digital yang makin intens benar-benar mencerminkan kinerja publik yang membaik, atau sekadar upaya pencitraan agar (sekadar) terlihat bekerja?
Baca juga: Vasko Ruseimy Wakil Gubernur Paling Populer di Indonesia, Rano Karno Posisi Dua
Terlebih, dari ke hari, kita seakan menyaksikan bagaimana ruang media sosial telah mengubah logika kekuasaan. Politik tidak lagi berlangsung di ruang sidang, melainkan di timeline. Rapat kerja bisa diatur ulang agar tampil menarik di video pendek, sementara sidak lapangan diposisikan agar memberi kesan dramatis di depan kamera. Dalam bahasa teori komunikasi, gejala ini disebut mediatisasi politik, sebuah kondisi ketika logika media menggantikan logika pemerintahan.
Stig Hjarvard dalam buku The Mediatization of Culture and Society yang terbitk pada 2013 pernah menulis bahwa dalam era mediatisasi, media tidak lagi sekadar perantara, melainkan institusi yang membentuk realitas itu sendiri. Politik, menurutnya, menyesuaikan diri pada ritme dan logika media yang serba cepat, personal, dan menuntut visualisasi. Jesper Strömbäck menambahkan bahwa dalam tahap tertingginya, politik bukan hanya dimediasi oleh media, tetapi dikendalikan olehnya (2008). Artinya, pejabat kini berpikir bukan tentang bagaimana kebijakan dijalankan, melainkan bagaimana kebijakan itu terlihat.
Kasus terbaru yang menarik perhatian adalah pemberitaan tentang Wakil Gubernur Sumatera Barat, Vasko Ruseimy, yang dinobatkan sebagai wagub terpopuler di Indonesia tahun 2025 versi Social Media Analytic (beredar September 2025). Beragam media mengangkat kabar itu dengan antusias. Vasko disebut meraih skor 95 dari 100, mengalahkan sejumlah nama besar lain seperti Rano Karno dan Emil Dardak. Pemberitaan itu kemudian menyebar cepat di berbagai kanal berita daring dan menjadi perbincangan di media sosial.
Sekilas, capaian ini tampak menggembirakan. Ia menunjukkan bahwa pejabat muda, yang aktif dan komunikatif, bisa menjadi figur yang disukai publik. Tetapi jika kita menelisik lebih jauh, ada hal yang perlu dipertanyakan. Apa sebenarnya yang diukur oleh istilah “terpopuler”? Apakah popularitas di media sosial bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan kepemimpinan daerah?
Inilah wajah baru politik di era digital. Popularitas telah menggantikan kinerja sebagai ukuran kesuksesan. Dalam politik yang ter-mediatisasi, pejabat merasa harus selalu hadir di ruang digital agar tetap relevan. Mereka berbicara dengan gaya storytelling, tersenyum pada kamera, menandatangani dokumen sambil direkam, dan menjawab komentar warga di kolom reply. Semuanya tampak transparan, padahal yang ditampilkan hanyalah potongan realitas yang sudah dikurasi dengan cermat.
Kita bisa melihat perubahan orientasi yang halus tapi signifikan. Pejabat yang dulu diukur dari seberapa baik ia mengeksekusi program kini dinilai dari seberapa baik ia membungkus program itu menjadi konten. Ukuran keberhasilan bukan lagi angka penurunan kemiskinan atau peningkatan layanan publik, melainkan jumlah penonton dan engagement rate. Akibatnya, yang substansial sering kalah oleh yang spektakuler.
Bukan berarti kehadiran pejabat di media sosial itu keliru. Di satu sisi, ini bisa menjadi sarana komunikasi publik yang efektif. Namun di sisi lain, ada bahaya ketika narasi visual mulai menutupi realitas birokrasi. Video pendek tentang kunjungan ke pasar bisa memberi kesan empati, tapi tak selalu berbanding lurus dengan kebijakan harga yang berpihak kepada pedagang. Senyum pejabat di hadapan kamera bisa memberi rasa dekat, tetapi tak menjamin kinerja pemerintahan yang efisien dan bersih.
Dalam konteks teori mediatisasi, apa yang terjadi adalah penyesuaian perilaku politik terhadap logika media: cepat, emosional, dan visual. Pejabat tak lagi memproduksi kebijakan untuk menjawab persoalan publik, melainkan untuk memenuhi kebutuhan citra yang bisa dibagikan di platform digital. Maka muncullah fenomena yang bisa kita sebut “pemerintahan demi konten”.
Kita menyaksikan bagaimana kunjungan lapangan berubah menjadi adegan yang siap tayang, sidak menjadi latar vlog, dan setiap keputusan diukur dari potensi viralnya. Birokrasi bergeser dari kerja sunyi menjadi pertunjukan yang terang-benderang. Publik disuguhi narasi tentang “pemimpin yang dekat dengan rakyat”, padahal kedekatan itu berhenti di layar kaca.
Vasko Ruseimy hanyalah satu contoh paling aktual dari kecenderungan yang jauh lebih luas. Ia mewakili generasi baru pejabat yang tumbuh dalam budaya digital, paham ritme algoritma, dan mengerti pentingnya kehadiran di dunia maya. Ia adalah secuil sampel dari generasi milenial yang mendapat panggung dari dunia politik. Namun, sebagaimana diingatkan teori mediatisasi, ketika logika media menguasai logika politik, ada harga yang harus dibayar, yaitu substansi yang digantikan impresi.
Kita tentu tidak ingin politik nasional dan daerah berakhir sebagai perlombaan pencitraan dan popularitas semata. Media sosial seharusnya menjadi jembatan transparansi, bukan tirai pencitraan. Setiap unggahan keberhasilan semestinya diiringi tautan menuju data capaian yang bisa diverifikasi publik. Setiap klaim kerja nyata perlu dibuktikan lewat indikator terukur, bukan hanya dengan video berdurasi satu menit.
Baca juga: Koperasi Merah Putih: Antitesis Koperasi Sejati dan Potensi Megakorupsi
Demokrasi yang sehat menuntut keseimbangan antara komunikasi dan kinerja. Tanpa keseimbangan itu, kita akan terjebak dalam dunia semu, di mana pejabat bekerja untuk kamera dan publik menjadi penonton pasif yang mudah terpukau.
Penting pula diingat, ukuran keberhasilan seorang pejabat bukanlah seberapa sering ia muncul di layar, melainkan seberapa banyak kehidupan warga yang berubah menjadi lebih baik setelah layar itu padam. Ini belum sampai ke diskursus serius mengenai janji-janji yang diumbar kala kampanye. [*]
Penulis: Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang (UNP)