Padang, Padangkita.com – Sidang perdana kasus kekerasan brutal yang menewaskan seorang anak, Wahyu Andri Pratama, di kawasan By Pass Ketaping, Padang, akhirnya mulai bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Padang pada Selasa (7/10/2025).
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sumatera Barat, yang secara intensif mendampingi keluarga korban sejak proses penyidikan di Polresta Padang, hadir untuk memastikan keadilan ditegakkan. Mereka mendesak majelis hakim untuk menerapkan hukuman maksimal kepada semua pelaku, termasuk empat di antaranya yang masih berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
"Kami hadir sebagai wujud implementasi negara hukum yang menjamin akses keadilan bagi semua warga. Kami berharap hakim dapat menerapkan Pasal 76C jo Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 secara maksimal dalam kasus ini," tegas Eko Kurniawan, Ketua LBH GP Ansor Sumbar, saat ditemui di sela-sela persidangan di Ruang Sidang Anak PN Padang.
Keempat pelaku yang masih di bawah umur tersebut diketahui berinisial I, D, A, dan P. Berdasarkan UU Perlindungan Anak, khususnya Pasal 80 ayat (3), pelaku kekerasan yang menyebabkan korban meninggal dunia dapat diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.
Eko Kurniawan, yang juga merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas, menyoroti tantangan dalam penanganan kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku. Menurutnya, meskipun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengedepankan pendekatan keadilan restoratif dan diversi, penerapannya sering kali tidak memuaskan rasa keadilan korban, terutama pada kasus-kasus kejahatan berat.
"Penyelesaian dengan pendekatan restoratif semata bisa jadi tidak cukup. Kejahatan berat yang dilakukan anak terus berulang. Proses hukum terhadap ABH harus mampu mendorong rasa tanggung jawab dan, yang terpenting, memberikan efek jera agar kejadian serupa tidak terulang lagi," jelas Eko.
Ia menambahkan bahwa hak anak yang telah meninggal dunia tidak boleh dilupakan, termasuk haknya untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan dari stigma negatif pasca-kejadian.
"Kami juga berharap Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta pihak terkait lainnya memberikan atensi khusus terhadap kasus di Padang ini," harapnya.
Lebih jauh, LBH GP Ansor Sumbar melihat fenomena ini sebagai cerminan krisis sosial yang lebih dalam. Mereka menilai banyak remaja saat ini terjebak dalam pencarian jati diri yang keliru, dengan menjadikan kekerasan sebagai sarana untuk membentuk identitas dan mencari eksistensi.
Baca Juga: DPRD Padang Desak Penegakan Hukum Tegas Atasi Darurat Tawuran
"Seolah-olah dalam dunia yang makin sepi makna, mereka mencari pengakuan dari luka yang mereka timbulkan dan pamerkan. Ini adalah masalah mentalitas yang harus menjadi perhatian kita bersama," tutup Eko. [*/hdp]