"APABILA kita memberikan keringanan pajak untuk kelompok miliarder, mempertahankan keringanan pajak untuk para Oligark, menyetarakan pajak antara orang kaya dan miskin, maka berarti kita telah memperdalam terpuruknya kemiskinan absolut pada mayoritas rakyat." (IRM : Terinspirasi dari quotes Barack Obama)
Kenaikan drastis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati memicu gelombang protes besar dari masyarakat. Meskipun pemerintah daerah akhirnya membatalkan kenaikan tersebut, desakan agar bupati mundur tetap bergulir, menunjukkan bahwa kebijakan pajak yang tidak transparan dan membebani rakyat bisa mengancam jabatan politik.
Dengan demikian, isu pajak bukan hanya sekadar masalah ekonomi, tetapi juga politik. Pajak adalah kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat. Ketika kontrak itu dilanggar—baik melalui ketidakadilan, korupsi, atau kebijakan yang salah—maka konsekuensinya bisa sangat fatal bagi pemerintahan.
Presiden Prabowo sebaiknya segera mengambil langkah meredam gejolak rakyat. Isue ini sangat mudah menular ke daerah lain yang rakyatnya mengalami rasa ketidakadilan pajak serupa.
Selanjutnya penting mewaspadai potensi isu pajak karena rawan ditunggangi kepentingan politik. Tujuan asli dari isu demo rakyat tersebut bisa hilang atau terdistorsi oleh telikung politik kepentingan.
Dari Perspektif Ekonomi Politik diketahui metode menunggangi secara politik antara lain:
(1). Pemanfaatan isue populer untuk kepentingan politik; (2). Pengalihan fokus dengan menggeser isue dari tujuan semula; (3). Penyisipan agenda tersembunyi yang tidak terlihat dibalik dukungan yang diberikan; (4). Infiltrasi dan Kooptasi, menyusup ke dalam struktur kepemimpinan suatu kelompok atau gerakan untuk mengendalikan arahnya; (5). Polarisasi Isu yang dipolitisasi untuk menciptakan perpecahan.
Pemerintah Presiden Prabowo harus ekstra hati-hati. Gerakan yang tadinya murni menuntut keadilan bisa berubah menjadi alat politik yang dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan agenda tersembunyi mereka.
Perspektif Ekonomi Politik
Dalam buku "Manual of Political Economy" karya Henry Fawcett, pajak dilihat sebagai instrumen penting bagi negara untuk menjalankan fungsinya. Fawcett, seorang ekonom klasik yang juga seorang politisi Inggris, menganalisis pajak dari sudut pandang ekonomi politik, dengan fokus pada prinsip-prinsip yang mendasari sistem perpajakan yang adil dan efisien.
Fawcett mengadopsi dan mengolah prinsip-prinsip perpajakan "Canon of Taxation" yang pertama kali dirumuskan oleh Adam Smith dalam bukunya “The Wealth of Nations” (1776), dengan uraian: Pertama, Canon of Equality (Kanon Kesamaan): Fawcett menekankan bahwa setiap warga negara harus berkontribusi pada pembiayaan pemerintah secara proporsional sesuai dengan kemampuan mereka. Kedua, Canon of Certainty (Kanon Kepastian): Ketidakpastian dalam sistem pajak dapat menciptakan ketidakadilan dan membuka celah untuk korupsi. Ketiga, Canon of Convenience (Kanon Kemudahan): Sistem pajak harus dirancang sedemikian rupa sehingga pembayaran pajak dapat dilakukan dengan mudah oleh wajib pajak. Keempat, Canon of Economy (Kanon Ekonomi): Fawcett berpendapat bahwa sistem pajak yang efisien adalah sistem di mana biaya administrasi untuk mengumpulkan pajak tidak memakan sebagian besar dari pendapatan pajak itu sendiri.
Fawcett tidak hanya membahas prinsip-prinsip teknis perpajakan, tetapi juga peran pajak dalam ekonomi. Pajak yang berlebihan dapat menghambat akumulasi modal dan mengurangi insentif untuk berinvestasi, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Dari perspektif ekonomi politik, hubungan antara negara dan warga negara tidak hanya sebatas transaksi ekonomi, tetapi juga mencakup aspek politik: Pertama, Pajak sebagai Alat Kekuasaan Negara: Pajak memberikan kekuatan finansial kepada negara untuk menjalankan fungsinya. Tanpa pajak, negara tidak akan memiliki sumber daya yang memadai untuk membiayai layanan publik seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pertahanan.
Kedua, Pajak sebagai Alat Alokasi Sumber Daya: Dari sudut pandang ekonomi, pajak berfungsi untuk mengalihkan sumber daya dari sektor privat ke sektor publik. Salah satu fungsi utama pajak adalah untuk meredistribusi kekayaan dari kelompok yang lebih kaya ke kelompok yang lebih miskin melalui program-program sosial dan layanan publik.
Pajak Menurut Pemikir Islam
Terdapat pemikiran tentang pajak di kalangan intelektual Muslim yang jadi basis pemikiran era dunia modern.
(1). Ibnu Khaldun (1332 - 1406), dalam buku “Muqaddimah” memiliki pandangan tentang pajak: Pertama, Pajak sebagai Alat Pendorong Produktivitas, Bukan Hanya Sumber Pendapatan: Ibnu Khaldun tidak melihat pajak hanya sebagai cara pemerintah mengumpulkan uang. Pajak yang adil dan tidak memberatkan akan memotivasi masyarakat untuk bekerja, berdagang, dan berinvestasi. Hal ini pada akhirnya akan memperluas basis pajak dan meningkatkan pendapatan negara secara keseluruhan.
Kedua, Kritik Terhadap Pajak yang Terlalu Tinggi: salah satu kontribusi terpenting Ibnu Khaldun dalam teori perpajakan adalah pandangannya tentang dampak negatif dari pajak yang terlalu tinggi. Ketika pajak terlalu tinggi, keuntungan yang diperoleh dari bekerja dan berbisnis akan berkurang drastis. Beban pajak yang berat dapat menghambat kegiatan ekonomi, perdagangan, dan investasi.
Ketiga, Prinsip Keadilan dan Proporsionalitas: Ibnu Khaldun sangat menekankan prinsip keadilan dalam pemungutan pajak. Orang dengan penghasilan tinggi harus membayar pajak lebih tinggi, sementara orang dengan penghasilan rendah harus dikenakan pajak lebih rendah, atau bahkan dibebaskan.
Keempat, Tahapan Perkembangan Pajak dan Keruntuhan Dinasti: Pada awal kekuasaan, dinasti biasanya menerapkan pajak yang rendah. Hal ini mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan semangat kerja, dan pada akhirnya menghasilkan pendapatan negara yang besar. Seiring berjalannya waktu, penguasa cenderung hidup dalam kemewahan dan pengeluaran negara meningkat. Untuk menutupi defisit, mereka menaikkan tarif pajak. Pajak yang tinggi ini kemudian menekan aktivitas ekonomi, menyebabkan pendapatan negara menurun, dan akhirnya mempercepat keruntuhan dinasti.
Ibnu Khaldun tentang pajak sangat maju pada masanya melihat hubungan yang kompleks antara pajak, produktivitas, dan stabilitas sosial-politik. Pandangannya tidak hanya relevan untuk sistem ekonomi Islam, tetapi juga menjadi dasar bagi banyak teori ekonomi modern.
(2). Al Ghazali (1194-1258), pandangan dan pemikirannya mengenai keuangan negara dan pajak (kharaj) dapat ditemukan antara lain dalam buku “Ihya' Ulumuddin”. Al Ghazali berpendapat bahwa idealnya, pendapatan negara harus bersumber dari zakat, sedekah, dan pendapatan lain yang diatur dalam syariat. Namun, dalam kondisi tertentu, Al-Ghazali memperbolehkan pemerintah untuk memungut pajak tambahan (dharibah) dari masyarakat muslim yang mampu, jika kas negara kosong dan ada kebutuhan mendesak.
Al-Ghazali sangat menekankan keadilan dalam pemungutan pajak. Pajak hanya boleh dipungut dari masyarakat kaya yang memiliki kelebihan harta, bukan dari fakir miskin. Secara ringkas, Al-Ghazali mengizinkan pajak sebagai solusi finansial saat darurat, asalkan diterapkan dengan adil, transparan, dan semata-mata untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat.
(3). Ibnu Taimiyah (1263-1328), uraian tentang pajak yang tercantum dalam buku "Al-Siyasah al-Shar'iyyah”. Pajak tambahan di luar sumber pendapatan negara yang sudah ditetapkan oleh syariat (seperti zakat, ghanimah, dan fai') sebagai sesuatu yang haram. Selama sumber-sumber pendapatan ini dikelola dengan benar dan adil, kebutuhan negara harusnya sudah terpenuhi. Oleh karena itu, memungut pajak tambahan dari rakyat, terutama dari kaum Muslim, dianggap sebagai praktik yang tidak dibenarkan.
Meskipun secara umum Ibnu Taimiyah menolak pajak tambahan (dharibah), namun bisa digunakan sebagai solusi terakhir dalam kondisi darurat dengan syarat-syarat yang sangat ketat untuk menghindari ketidakadilan dan kerusakan yang lebih besar.
Penting untuk diketahui bahwa teori ekonomi modern oleh Arthur Laffer (1974) tentang pajak yang dikenal dengan Kurva Laffer yakni, menurunkan tarif pajak justru dapat meningkatkan pendapatan pajak total, persis serupa dengan teori pemikir Islam Ibnu Khaldun 6 abad yang lalu.
Praktik Pajak di Indonesia
Kritik terhadap praktik pajak di Indonesia seringkali berfokus pada beberapa isu utama yang memengaruhi keadilan, efisiensi, dan kepatuhan wajib pajak; Pertama, Kompleksitas dan Ketidakpastian Regulasi, Sistem perpajakan di Indonesia sering dianggap terlalu kompleks, dengan peraturan yang terus berubah dan terkadang tumpang tindih.
Kedua, Kesenjangan Kepatuhan dan Penegakan Hukum, kritikus menyoroti bahwa penegakan hukum masih lemah, terutama bagi wajib pajak besar dan korporasi, yang seringkali memiliki sumber daya untuk menghindari pajak.
Ketiga, Ketidakadilan dan Beban Pajak, beban pajak lebih terasa bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, sementara individu kekayaan besar bisa memanfaatkan celah hukum untuk mengurangi beban pajak mereka.
Keempat, Kualitas Layanan dan Administrasi Pajak; Meskipun telah ada banyak perbaikan, kritik masih muncul mengenai kualitas layanan yang diberikan oleh otoritas pajak. Proses birokrasi yang panjang, kurangnya transparansi, dan terkadang praktik korupsi atau pungli masih menjadi masalah. Kelima, Pemanfaatan Penerimaan Pajak: Masyarakat seringkali mempertanyakan efektivitas dan transparansi penggunaan dana pajak oleh pemerintah.
Korupsi di kalangan pegawai pajak di Indonesia menjadi isu yang seringkali muncul dan merusak kepercayaan publik: Pertama, Sistem yang Memberi Peluang Korupsi, Sistem perpajakan di Indonesia, meskipun terus diperbaiki, masih memiliki celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum antara lain Interaksi Langsung antara Pegawai dan Wajib Pajak.
Kedua, Tekanan dan Budaya Kerja: Faktor-faktor non-sistemik juga berperan besar dalam mendorong korupsi. Gaji pegawai pajak, meskipun tergolong tinggi, terkadang tidak sebanding dengan gaya hidup. Ketiga, Penegakan Hukum yang Lemah; Penegakan hukum yang tidak konsisten dan hukuman yang ringan juga berkontribusi pada seringnya kasus korupsi. Meskipun banyak kasus yang terungkap, hukuman yang dijatuhkan kadang tidak memberikan efek jera yang kuat.
Konflik Akibat Pajak
Bercermin dari sejarah, isu pajak memiliki potensi besar untuk meruntuhkan sebuah pemerintahan. Hal ini bisa terjadi karena pajak adalah salah satu bentuk hubungan paling fundamental antara pemerintah dan rakyatnya.
Ketika hubungan ini rusak—misalnya, karena sistem pajak yang dianggap tidak adil, koruptif, atau membebani masyarakat—kepercayaan publik akan hilang, yang bisa memicu protes, pemberontakan, bahkan revolusi. Pertama, Pajak sebagai Simbol Ketidakadilan dan Penindasan; Pajak yang tidak adil sering kali menjadi simbol penindasan dan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Jika rakyat merasa bahwa mereka dipaksa membayar pajak yang tinggi, sementara pemerintah terlihat boros, korup, atau tidak memberikan layanan publik yang memadai, kemarahan publik akan memuncak.
Kedua, Pemberontakan dan Revolusi Bersejarah; Sejarah mencatat banyak peristiwa penting di mana isu pajak menjadi pemicu utama keruntuhan atau perubahan drastis dalam pemerintahan: (a). Perang Belasting di Sumatera Barat (1908) terjadi di Nagari Kamang dan Manggopoh: Perlawanan rakyat terhadap kebijakan pajak yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda (disebut belasting) menunjukkan bagaimana kebijakan pajak yang dirasa menindas dapat memicu pemberontakan bersenjata; (b). Boston Tea Party (1773): Meskipun bukan pajak langsung yang meruntuhkan pemerintah Inggris, penolakan terhadap "Tea Act" yang dianggap sebagai pajak tanpa perwakilan (taxation without representation) menjadi pemicu utama Revolusi Amerika; (c). Revolusi Prancis (1789): Salah satu faktor utama meletusnya Revolusi Prancis adalah sistem pajak yang tidak adil. Beban pajak yang sangat berat hanya ditanggung oleh rakyat jelata (Kelas Tiga), sementara kaum bangsawan dan pendeta (Kelas Pertama dan Kedua) hampir bebas pajak. Kondisi ini, ditambah dengan krisis ekonomi, memicu kemarahan publik dan akhirnya menggulingkan monarki.
Selain itu, di era modern, isu pajak juga bisa meruntuhkan pemerintahan, meskipun tidak selalu dalam bentuk revolusi bersenjata. Hal ini seringkali terjadi melalui krisis politik dan hilangnya kepercayaan publik. Misalnya Rencana kebijakan pajak yang diusulkan oleh Perdana Menteri Inggris Liz Truss (2022) untuk memotong pajak secara besar-besaran dianggap sebagai kebijakan yang tidak bertanggung jawab secara fiskal. Rencana ini memicu gejolak di pasar keuangan, nilai mata uang poundsterling anjlok, dan akhirnya menyebabkan ia mengundurkan diri setelah menjabat hanya selama 45 hari. Dengan demikian, isu pajak bukan hanya sekadar masalah ekonomi, tetapi juga politik.
Dari uraian di atas dapat dirangkum pendapat singkat:
(1). Dari Perspektif Ekonomi Politik, masalah pajak melibatkan seluruh kepentingan rakyat. Pajak sebagai arena pertarungan antara kelas sosial yang berbeda. Apabila diperlakukan secara tidak adil maka akan mudah menyulut sentimen masyarakat secara ekonomi dan politik. Dengan demikian pemerintah jangan main-main dalam penerapan kebijakan pajak yang adil, berimbang, dan transparan.
(2). Pengenaan pajak yang beragam pada sektor dinamis kehidupan rakyat, mestinya sebagai solusi terakhir. Pemerintah diharapkan lebih kreatif dalam mendulang sumber pendapatan lain. Di sisi pengeluaran pemerintah wajib memberantas "Korupsi 100%" dan penerapan efisiensi dalam gaya hidup berhemat aparatur negara agar lebih sederhana.
Baca juga: Pemprov Sumbar dan Daerah Maksimalkan Pemungutan Pajak, Kurangi Ketergantungan ke Pusat
(3). Pemerintah jangan menganggap enteng demo rakyat di Pati. Apalagi hanya menganggap sekedar "riak" bersifat parsial dan lokal. Dari perspektif ekonomi politik dapat diketahui kasus Pati potensial untuk ditunggangi kepentingan politik lain. Selain itu, eskalasi dapat saja meningkat lebih besar dan "ketok tular" ke daerah lain karena perasaan senasib akibat perlakuan pajak serupa. Pemerintah penting untuk segera meredam secara "holistik" dengan bijak sehingga dapat mengendalikan aspirasi masyarakat dengan baik. Merdeka! [*]
Penulis: Dr. Iramady Irdja, Analis Ekonomi Politik, mantan Pegawai Bank Indonesia