Padang, Padangkita.com – Nama besar Ali Akbar Navis (AA Navis) kembali menjadi sorotan dalam dunia sastra Indonesia. Diskusi "Temu Sastra 100 Tahun AA Navis" yang digelar di Galeri Tambud, Padang, akhir pekan lalu berhasil menghidupkan kembali semangat kritis dan satir yang melekat pada sosok sastrawan legendaris asal Sumatera Barat ini.
Acara yang digagas oleh Dinas Kebudayaan Sumatera Barat ini menghadirkan para penulis, kritikus sastra, dan budayawan untuk membahas relevansi pemikiran dan karya-karya AA Navis di era kontemporer.
Diskusi yang terbagi dalam dua sesi ini menyajikan perspektif yang menarik, baik dari generasi yang pernah berinteraksi langsung dengan AA Navis maupun generasi muda yang mengenal sosoknya melalui karya-karyanya.
Salah satu topik utama yang dibahas dalam diskusi ini adalah gaya satire khas AA Navis yang sering disebut sebagai "Satire Navisian".
Gaya satire ini dinilai sebagai senjata ampuh untuk mengkritik kondisi sosial dan politik yang terjadi pada masanya. Meskipun telah puluhan tahun berlalu, karya-karya satir AA Navis masih relevan dan mampu menggugah kesadaran masyarakat.
"Pak Navis itu seorang yang kritis, humanis, dan konsisten. Gaya satire dalam merupakan kritik sosial yang tajam namun halus. Ia juga menggunakan humor dan ironi untuk menyampaikan pesan. Navis itu sosok pengarang yang perkataan, perbuatan dan karyanya berkesesuain dalam makna dan nilai," ujar Yusrizal KW, cerpenis yang pernah berkolaborasi dengan AA Navis.
Namun di balik apresiasi terhadap karya-karya AA Navis, para peserta diskusi juga menyoroti kekhawatiran akan semakin menjauhnya generasi muda dari karya-karya sastrawan legendaris ini.
Kurangnya perhatian terhadap karya-karya AA Navis dalam kurikulum pendidikan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan hal ini terjadi.
"Kita perlu memikirkan cara agar karya-karya AA Navis tetap relevan dan menarik bagi generasi muda. Salah satunya adalah dengan memasukkan karya-karyanya ke dalam kurikulum pendidikan," kata Elly Delfia, salah satu narasumber dalam diskusi.
Diskusi "Temu Sastra 100 Tahun AA Navis" menjadi momentum penting untuk menghidupkan kembali semangat kritis dan satir AA Navis. Karya-karya beliau tidak hanya menjadi warisan budaya bagi masyarakat Sumatera Barat, tetapi juga menjadi inspirasi bagi para penulis muda untuk terus berkarya dan menyuarakan kebenaran.
Melalui diskusi ini, diharapkan semakin banyak orang yang tertarik untuk mempelajari dan mengkaji karya-karya AA Navis. Dengan demikian, warisan intelektual dan sastra AA Navis akan terus hidup dan berkembang di tengah dinamika zaman yang terus berubah.
Sementara itu Hasanuddin WS, guru besar Ilmu Sastra di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang (UNP), memberikan pandangan mendalam mengenai sosok sastrawan legendaris Indonesia, AA Navis.
Dalam pandangan Hasanuddin, Navis bukan hanya seorang penulis cerpen ulung, namun juga seorang pemikir kebudayaan yang visioner.
Hasanuddin menyoroti pilihan Navis untuk berkarya dalam genre cerpen, alih-alih novel seperti yang populer pada masanya. “Navis tidak mengikuti tren penulisan novel ala Balai Pustaka,” ungkap Hasanuddin.
Meskipun demikian, cerpen-cerpen Navis tidak sekadar pendek. Karya-karyanya memiliki kedalaman karakter dan plot yang kompleks, sebanding dengan novel.
Lebih jauh, Hasanuddin menjelaskan bahwa Navis memiliki visi kebudayaan yang kuat. Navis sangat meyakini pentingnya akal sehat (common sense) dalam memahami dan memajukan kebudayaan. Baginya, akal sehat adalah dasar untuk menilai segala sesuatu secara rasional dan praktis.
“Navis menolak segala bentuk kebodohan yang lahir dari kekuasaan dan hegemoni,” kata Hasanuddin. Ia juga mengkritik sistem pendidikan nasional yang menurutnya kurang memadai dalam menumbuhkan minat baca dan berpikir kritis. Navis sangat menekankan pentingnya metode induktif dalam pembelajaran, di mana siswa diajak untuk belajar dari pengalaman langsung.
Menurut Hasanuddin, karya-karya Navis sarat dengan kritik sosial. Navis tidak hanya sekadar menghibur, namun juga ingin mengajak pembaca untuk berpikir lebih dalam tentang permasalahan masyarakat. “Sastra bagi Navis adalah sebuah alat untuk mengubah dunia,” tegas Hasanuddin.
Dedi Andika Navis, putra ketiga sastrawan legendaris Indonesia, AA Navis, menguak sisi kehidupan sang ayah yang jarang terekspos publik. Dalam obrolan eksklusif, Dedi menceritakan bagaimana sosok AA Navis tidak hanya seorang penulis ulung, tetapi juga seorang ayah yang penuh kasih sayang dan disiplin.
“Papi adalah sosok yang sangat mendedikasikan hidupnya untuk menulis. Proses kreatifnya sangat menarik untuk diamati. Beliau tidak pernah terburu-buru dalam menyelesaikan sebuah karya. Tiap tulisan akan disimpan dan dibaca ulang berulang kali. Mami adalah pembaca pertama setiap karyanya,” ungkap Dedi.
Menurut Dedi, keluarga besar Navis sangat bangga dengan pencapaian sang ayah. Nilai-nilai disiplin dan konsistensi yang ditanamkan AA Navis kepada anak-anaknya menjadi inspirasi bagi mereka hingga kini.
Untuk melestarikan warisan sang sastrawan, keluarga Navis mendirikan Yayasan AA Navis. Lembaga ini bertugas mengumpulkan, mengarsipkan, dan mendokumentasikan seluruh karya AA Navis serta riset-riset yang berkaitan.
“Kami sedang berupaya mendigitalisasi semua arsip agar karya-karya Papi dapat diakses oleh generasi mendatang,” ujar Dedi yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan.
Perayaan 100 tahun kelahiran AA Navis yang digelar secara internasional, nasional, dan lokal menjadi momen haru bagi keluarga besar Navis. “Kami sangat bersyukur atas apresiasi yang luar biasa ini. Ini membuktikan bahwa karya-karya Papi masih relevan hingga saat ini,” tutur Dedi.
Tidak hanya sebagai seorang sastrawan, AA Navis juga dikenal sebagai sosok ayah yang hangat.
Baca Juga: Merayakan 100 Tahun A.A. Navis, Legenda Sastra Indonesia
Gemala Ranti, putri kelima AA Navis, menceritakan bahwa ayahnya sangat memperhatikan keharmonisan keluarga. “Setiap malam, kami selalu berkumpul untuk makan malam bersama. Momen ini menjadi waktu bagi kami untuk berbagi cerita tentang hari-hari kami,” kenang Gemala. [*/hdp]