Jakarta, Padangkita.com - Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, Indonesia mengalami deflasi selama tiga bulan beruntun. Yakni, pada Juli 2024 terjadi deflasi 0,18 persen (month to month/mtm) dengan Indeks Harga Konsumen turun dari 106,28 pada Juni 2024 menjadi 106,09 pada Juli 2024.
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengingatkan, deflasi bisa jadi sinyal dini yang mengindikasikan melemahnya daya beli.
“Deflasi bisa menjadi sinyal bahaya, karena mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat, tercermin juga pada penurunan pertumbuhan tahunan simpanan di bank dari 7,8 persen jadi hanya 4,1 persen utamanya tabungan di bawah Rp100 juta,” kata Anis dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa (13/8/2024).
Politisi Fraksi PKS ini juga menjelaskan, turunnya daya beli masyarakat dapat memengaruhi pendapatan negara yang diakibatkan dari penurunan PPN dan turunnya setoran pajak industri perdagangan.
Dirinya khawatir, bila daya beli masyarakat yang anjlok berkepanjangan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi terhambat, sehingga kemiskinan akan semakin meningkat. Ia lantas mengaitkannya dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia yang masih menjadi salah satu tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Untuk itu, ia meminta agar pemerintah harus aware dengan situasi ini. Jangan lengah dan menyangkal akan penurunan daya beli.
Hal itu, sambung Anis, dapat dilihat dari angka PHK yang meningkat, dan menurut data BPS jumlah pengangguran masih tercatat 7,2 juta jiwa.
Sementara angka PHK juga mengalami lonjakan di periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang menurut data Kemnaker.
"Angka tersebut naik 21,4 persen dari periode yang sama tahun lalu, artinya kondisi perekonomian melemah,” ungkap Wakil Ketua BAKN DPR RI ini.
Legislator dari Dapil Jakarta Timur II ini juga mengingatkan pemerintah agar terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan instrumen fiskal, utamanya untuk masyarakat kelas menengah yang belum mendapat perlindungan sosial.
“Selain itu untuk meningkatkan daya beli terutama dengan investasi, utamanya investasi yang berkualitas dan di sektor padat karya, yang selama ini Indonesia belum mendapatkan banyak investasi yang berkualitas,” ungkapnya.
Anis menyebut pada akhir periode pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) jumlah kelas menengah menurun dan berdampak pada turunnya daya beli masyarakat. Menutup pernyataan resminya, Anis menilai apabila kondisi penurunan daya beli tidak segera ditangani pada periode pemerintahan ini maka bisa memberikan beban pada pemerintahan selanjutnya.
Baca juga: Setelah Inflasi Tinggi Kini Sumbar malah Deflasi, BI Ungkap Sejumlah Faktor Penyebabnya
“Jika pemerintahan tidak berakhir husnul khotimah, tentunya akan mewariskan beban fiskal yang kian berat, anjloknya daya beli memengaruhi rasio pajak atas PDB dan menyulitkan pemerintahan baru,” pungkasnya.
[*/rjl]