Jakarta, Padangkita.com - Anggota Komisi III DPR RI Nasir Jamil menegaskan kepada calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Haridi Hasan, bahwa hakim adalah corong keadilan, bukan corong undang-undang. Pernyataan ini dia ungkapkan menyinggung soal ultra petita.
"Soal ultra petita. Hakim memang bukan corong undang-undang, hakim itu corong keadilan, karena dia harus menemukan sumber hukum tepat. Sehingga hakim diharapkan bisa memberikan keadilan kepada setiap orang yang menuntut keadilan," paparnya di Ruang Rapat Komisi III saat Uji Kelayakan dan Kepatutan atau fit and proper test Calon Hakim MK, di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Ultra petita berasal dari bahasa latin, yakni ultra yang berarti sangat, sekali, berlebihan, dan petita yang artinya permohonan. Secara umum, ultra petita dapat diartikan sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang diminta. Perihal ultra petita dapat ditemukan dalam Pasal 178 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) dan Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg).
Di kesempatan yang sama, Anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman juga menyinggung soal ultra petita. Dia menanyakan langsung soal sikap Haridi Hasan tentang ultra petita.
“Bapak setuju Hakim MK boleh membuat putusan yang sifatnya ultra petita, boleh?” tanya Benny, yang dijawab langsung oleh Haridi dengan mengatakan, “Boleh dengan alasan yang kuat, demi keadilan.”
Politisi dari Fraksi Partai Demokrat ini pun melanjutkan pertanyaannya.
“Jadi, meskipun saya tidak minta, bapak bisa mengabulkan sesuatu yang tidak saya minta, itu lah ultra petita, begitu bapak?"
“Betul!" jawab Haridi.
Benny pun merasa heran dengan sikap calon hakim tersebut.
"Kalau demikian yang terhormat Hakim Mahkamah Konstitusi, bapak itu mengabulkan permintaan siapa. Padahal tugas hakim mengabulkan atau menolak apa yang diminta. Ini tidak diminta tapi dikabulkan, ini gimana ceritanya?" Benny mempertanyakan lagi.
Lebih Lanjut Nasir pun mempertanyakan soal keberanian dan profesionalisme seorang hakim.
Baca juga: Komisi III Pastikan 'Fit and Proper Test' Calon Hakim MK Berlangsung Transparan
"Dalam konteks peradilan mahkamah konstitusi, peradilan tata negara, peradilan politik, apa yang saudara maksudkan dalam makalah yang saudara buat, bahwa yang dibutuhkan adalah sebuah keberanian. Berani itu seperti apa, karena itu masih abstrak," kata Nasir. [*/pkt]
Baca berita Nasional terbaru dan berita Sumbar terbaru hanya di Padangkita.com.