Padang, Padangkita.com – Warga Jorong Pigogah Patibubur, Nagari Air Bangis, Pasaman Barat (Pasbar) yang telah 5 hari melakukan aksi unjuk rasa di halaman Kantor Gubernur Sumatra Barat (Sumbar), dipaksa pulang oleh polisi.
Sebelumnya, Wakil Bupati Pasaman Barat (Pasbar) Risnawanto mengimbau agar warganya yang berunjuk rasa di Kota Padang tersebut, segera kembali pulang ke rumah masing-masing di Jorong Pigogah Patibubur, Air Bangis.
Untuk membantu warga unjuk rasa pulang ke kampungnya, Pemkab Pasbar mengirim bus. Selain itu, Pemprov Sumbar juga ikut menyiapkan 4 bus.
Diketahui, sekitar 1.500 warga bersama mahasiswa dan aktivis melakukan unjuk rasa di halaman Kantor Gubernur Sumbar, terkait konflik agraria atau sengketa lahan. Selama menjalankan aksi sejak Senin (31/7/2023), warga beristirahat dan menginap di Masjid Raya Sumbar.
Namun, aksi unjuk rasa warga Air Bangis di Padang diwarnai tindakan pemulangan paksa oleh polisi dari Polda Sumbar. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merekam aksi pemulangan paksa warga Air Bangis oleh polisi.
Melalui akun tiwtternya, YLBHI memposting sejumlah video yang memperlihatkan polisi membubarkan warga yang berkumpul di Masjid Raya Sumbar, lalu memaksa mereka untuk naik ke bus yang telah disediakan.
“Pada Sabtu, (5/8/2023) siang, utusan warga dan mahasiswa sedang melakukan dialog dengan Pemprov Sumbar di Gubernuran Sumatra Barat. Lalu masyarakat berselawat di Masjid Raya, sambil menunggu utusan yang berdialog dengan Pemprov Sumbar. Lalu, tim Polda Sumbar mendatangi warga yang berselawat dan meminta untuk naik ke bus yang disediakan,” demikian penjelasan YLBHI.
“Warga menolak hingga terjadi represi dan penangkapan 14 orang oleh Polda Sumbar. Polda menangkap 7 pendamping (LBH Padang dan PBHI Sumbar), 4 masyarakat dan 3 mahasiswa. Warga dipaksa pulang dengan intimidasi, kekerasan dan beberapa ditangkap dengan cara yang sewenang-wenang,” lanjutan keterangan YLBHI.
Merespons penangkapan tersebut, YLBHI pun meminta Polda Sumbar segera membebaskan.
“Segera bebaskan kawan kami dan tuntaskan masalah tanah!,” cuitan YLBHI.
Konflik agraria yang terjadi di Jorong Pigogah, Air Bangis telah terjadi sejak lama.
Menurut YLBH, warga yang berunjuk rasa adalah korban dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan membabat habis lahan dan permukiman seluas 30.000 hektare dari luas Air Bangis 40.000 hektare.
Akibatnya, masyarakat tidak bisa melakukan aktivitas perekonomian, hingga mereka harus menahan lapar dan mendapatkan kriminalisasi
“Dua orang warga Air Bangis, Pasaman Barat masih ditahan oleh Polda Sumbar karena membeli hasil sawit milik warga. Ketika ini terus terjadi semakin punah harapan masyarakat untuk bisa bertahan hidup,” demikian penjelasan YLBHI.
Namun, pemerintah punya data yang berbeda. Dalam pertemuan Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah dengan Wakil Bupati Pasbar Risnawato dan sejumlah pihak terkait, terungkap sejumlah informasi.
Salah satunya soal jumlah luas lahan di Air Bangis. Menurut Data Dinas Kehutanan Sumbar, total luas kawasan hutan di Nagari Air Bangis mencapai 20.373 hektare, yang terdiri atas hutan produksi (HP) 16.427 hektare dan hutan lindung 3.946 hektare, termasuk lahan yang berkonflik.
Kemudian, berdasarkan data akhir 2021 dari UPTD KPHL Pasaman Raya sebagian hutan produksi (HP) itu telah digarap masyarakat secara ilegal untuk perkebunan kelapa sawit.
Wakil Bupati Pasbar, Risnawanto mengatakan dulunya, sekitar tahun 2002, daerah yang dikuasai warga memang merupakan kawasan perladangan yang digarap dengan sistem berpindah-pindah oleh masyarakat dari luar Air Bangis.
Jumlahnya waktu itu, kata Risnawanto, paling banyak sekitar 60 Kepala Keluarga (KK).
Seiring berjalannya waktu, ada pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Bintara Tani, sehingga mulai ada akses jalan yang memadai. Kondisi itu membuat jumlah masyarakat yang bermukim menjadi semakin bertambah dari waktu ke waktu.
Kemudian, pada tahun 2007 mulai ada rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pelabuhan Teluk Tapang dan pembukaan akses jalan untuk fasilitas pendukungnya, mulai dari kawasan Bunga Tanjung sampai ke Teluk Tapang. Panjang jalan yang dibangun sekitar 42 kilometer.
Setelah jalan mulai terbuka, sosialisasi dan imbauan pemerintah tentang larangan penggarapan lahan kawasan hutan produksi dan hutan lindung secara ilegal tidak lagi diindahkan masyarakat. Mereka tetap membuka dan menggarap secara manual atau tradisional. Kondisi demikian terus terjadi seiring jalannya pembangunan.
Atas dasar itu, Wabup Risnawanto menyebut, jika ada masyarakat Pigobah Patibubur yang mengeklaim memiliki lahan dua atau tiga hektare di sana, itu cukup masuk akal karena dulunya itu dibuka secara tradisional.
Namun, lanjut dia, ketika ada yang mengaku memiliki puluhan sampai ratusan hektare, ia menilai itu patut dipertanyakan. Karena sulit dipercaya, ada masyarakat yang mampu membuka lahan secara tradisional hingga seluas itu.
“Itu tidak masuk akal, karena kita tahu dulunya lahan tersebut dibuka masyarakat secara manual, tidak menggunakan alat berat,” kata Risnawanto.
Baca juga: Kronologi Muasal Penguasaan Lahan di Air Bangis yang Memicu Unjuk Rasa Berhari-hari
Ia mengakui, sekarang kondisinya semakin rumit, masyarakat merasa lahan itu bukan aset negara, tetapi hak milik pribadi. Ditambah lagi banyaknya kepentingan yang dicurigai ikut bermain dalam permasalahan ini. [*/pkt]