Padang, Padangkita.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Sumbar mendesak pemerintah daerah untuk mengatasi persoalan tambak udang yang dituding mengancam ekosistem pesisir, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel).
Peringatan keras ini mereka sampaikan menyikapi kejadian munculnya seekor buaya muara di wilayah tambak udang di Pessel, Kamis (4/8/2022) lalu.
WALHI menegaskan, kejadian ini mesti menjadi warning keras kepada pemangku kepentingan bahwa ada persoalan lingkungan hidup yang mengancam ekosistem pesisir akibat usaha budidaya tambak udang.
“Pada dasarnya bukan buayalah yang masuk dalam tambak udang, tapi tambak udanglah yang masuk serta merampas habitat buaya,” tegas Kepala Departemen Advokasi dan Lingkungan Hidup WALHI Sumbar, Tommy Adam dalam siaran persnya yang diterima Padangkita.com, Jumat (5/8/2022).
Untuk diketahui, buaya muara (crocodylus porosus) merupakan jenis buaya paling agresif jika dibandingkan jenis lainnya. Tubuh buaya memiliki ciri fisik dengan panjang tubuh 4,5 sampai 12 meter. Buaya ini aktif pada siang dan malam hari dan bisa memangsa siapapun yang memasuki wilayahnya.
Mangsanya adalah ikan, amfibi, reptilia, burung, dan mamalia (termasuk mamalia besar). Namun keberadaan buaya muara ini semakin terancam akibat habitatnya yang semakin sempit diakibatkan aktivitas manusia, yaitu konflik buaya dengan manusia. Kejadian ini tentu mengkonfirmasi bahwa keberadaan tambak udang tidak sesuai dengan RTRW, yang disampaikan beberapa waktu lalu oleh Pemprov dan sekarang berdampak terhadap keanekaragam hayati khususnya buaya.
WALHI juga mengungkapkan, selama ini konflik buaya versus manusia di Sumbar cukup tinggi. Data BKSDA Sumbar menunjukkan, dalam rentang waktu 2009 hingga 2022, terdapat 71 kasus.
Tommy menjelaskan, selain konflik dengan manusia, permasalahan penting lain adalah, terganggu dan dirampasnya habitat muara buaya ini akibat aktivitas budidaya manusia, seperti pembangunan tambak udang di areal pesisir.
Merujuk pada aturan yang berlaku bahwa buaya muara merupakan jenis satwa liar dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
“Termasuk habitat buaya tersebut dari ancaman perampasan dan pencemaran oleh aktivitas manusia,” ingat Tommy.
Dia melanjutkan, di Sumbar, tambak udang masih menjadi permasalahan serius. Alih-alih ingin mendapatkan keuntungan ekonomi dengan PAD yang tinggi dari kegiatan budidaya udang, tapi malah menyisakan masalah lingkungan hidup yang serius, khususnya di daerah pesisir.
Hingga tahun 2020 Pemprov Sumbar mencatat sudah ada sebanyak 625 petak dan 135 ha daerah tambak udang. Daerah tambak tersebut tersebar di kabupaten/kota di Sumbar, mulai dari Pasaman Barat sampai Pesisir Selatan. Umumnya daerah yang dibuat untuk tambak udang berasal dari mangrove dan bakau yang merupakan habitat buaya muara.
Sementara itu Peneliti buaya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hellen Kurniati mengatakan, buaya muara lebih suka hidup di daerah muara sungai yang dikelilingi tanaman nipah atau sejenisnya.
Baca Juga: Bahaya Mikroplastik di Batang Arau dan Batang Kuranji, Ini Saran WALHI dan ESN untuk Pemko
“Ini disebabkan tangkai daun atau pelepah tanaman itu digunakan untuk membuat sarang dengan kondisi sekarang akibat nipah yang telah dikonversi kita akan menunggu predator ini akan punah di Sumbar,” tutupnya. [*/isr]