Pulang kampung adalah tradisi di dunia Melayu atau Nusantara. Bagi orang Melayu, khususnya Minangakbau, setinggi-tinggi terbang bangau pulang ke kubangan juga. Tidak ada rantau yang abadi. Sejauh-sejauh merantau tetaplah kampung yang jauh teringat juga.
Kondisi itu sudah diabadikan dalam lagu ciptaan A Minos, “Kampuang Den Jauah di Mato”, dilukiskan; “Kampuang nan jauah di mato/gunuang sansai ba kuliliang/den takana jo kawan-kawan lamo/sangkek den basuliang-suliang”. Dalam lagu lain dari A.Minos, “Barusuah hati, cameh pun datang/di ateh rumah nan bagonjong limo/atok jo loteang kini lah tiri/lantai jo tingkok lah mulai lapuak”. Inilah lagu yang sukses sejak 1980-an. Jadi, bagi orang Minangkabau ada dua kutub yang tarik menarik, “kutub ranah” dan “kutub rantau”, keduanya ibarat magnet yang saling tarik-menarik.
Bagi perantau roh budaya dan identitas terinternalisasi dalam dirinya, menjadi roh. Bagi orang Minangkabau di kampung tidak ada anak yang akan kehilangan haknya jika pergi merantau, sebab ikatan kultural di kampung itu termaktub dalam sistem budaya yang sudah menjadi identitas bersama. Jadi kampung dan rantau itu selalu terikat dalam satu kesatuan yang kuat, yang susah untuk dilepaskan. Makanya susah untuk melepaskan perhatian dan kepedulian orang rantau terhadap kampung halaman, begitu juga sebaliknya. Orang rantau seperti layang-layang terbang yang selalu dipegang talinya dan diperhatikan ke mana terbangnya. Jika tinggi terbangnya tentu akan lebih disenangi. Dalam kontek itu tentu orang rantau selalu ditunggu untuk pulang, dan orang kampung selalu diingat oleh perantau.
Hari raya adalah momen yang paling dimanfaatkan untuk bertemunya kerinduan ranah dan rantau. Bagi orang kampung bertemu orang rantau tentu juga mempunyai banyak makna.
Pertama, bertemu dengan perantau adalah melepaskan kerinduan karena sudah lama tak bersua, karena itu Hari Raya adalah masa melepaslan kasih sayang. Tidak salah, bila ada sanak saudara yang pulang dari merantau akan disambut agak meriah; ayam dibantai, tabek dikeringkan untuk mendapatkan ikan yang agak besar. Jadi inilah saat membantai ikan gurami yang sudah dibesarkan bertahun-tahun. Ayam disemblih, rendang pun dibuat. Jadi memang agak luar biasa., Apa lagi perantau yang pulang kampung itu mamak yang sukses pula di rantau, maka sambutan itu tentu agak bergaya sultan.
Kedua, bagi orang kampung pulangnya perantau juga tempat mencurahkan berbagai keluh kesah dan masalah di kampung halaman, mulai dari masalah keluarga, sesuku dan nagari. Orang rantau memang mesti siap dengan kesabaran dan ketabahan untuk menerima keluhan itu. Baik keluhan sosial-budaya maupun keluhan ekonomi. Dari sisi sosial-budaya orang rantau diharapkan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang rumit di kampung halaman. Tidak jarang juga ketika masa perantau pulang itu dibuat musyawarah untuk bertukar pikiran dengan masyarakat di kampung atau nagari.
Orang rantau dianggap sudah bertuah dalam menyampaikan beberapa gagasan. Tidakkah dalam alam Minangkabau salah satu perubahan besar juga berasal dari rantau? Tidakkah orang rantau dulu pergi merantau adalah untuk menyiapkan diri guna untuk membangun kampung halaman? Maka setelah dianggap cukup dewasa dan sukses sudah sepantasnya kampung halaman untuk meminta pikiran untuk menyelesaikan masalah-masalah kampung halaman.
Ketiga, orang rantau juga tempat mengeluhkan masalah-masalah ekonomi, terutama ditujukan kepada perantau-perantau sukses. Keluhan-keluhan ekonomi itu mulai dari masalah kecil, sekolah kemenakan dan anak cucu sampai pada masalah pembangunan nagari. Tidak jarang orang kampung mengumpulkan uang dari para perantau untuk membangun nagari. Strategi membangun nagari dari sumbangan para perantau ini memang sangat realistis dan mangkuih. Umpama jika dalam satu nagari saja ada 100 orang yang merantau ke luar nagari, baik merantau dekat maupun merantau jauh, lalu mereka menyumbang Rp100.000 per orang per bulan, maka akan ada terkumpul uang Rp10.000.000 setiap bulan, maka setahun bisa terkumpul Rp120.000.000. Maka uang ini tentu akan bisa membebaskan anak nagari yang miskin untuk tetap kuliah ke tingkat sarjana. Jika Dimanfaatkan untuk usaha nagari tentu kekayaan nagari akan selalu berkembang dan nagari bisa lebih mandiri dan maju. Tentu bantuan ekonomi seperti ini akan tetap diharapkan oleh setiap nagari sebagai bentuk penguat ikatan ranah dan rantau.
Bagi para perantau pulang ke kampung halaman juga sebagai ungkapan kerinduan akan kampung halaman, sekaligus untuk meyakini diri mereka bahwa mereka masih punya kampung dan identitas. Sebagai bagian identitas mereka akan menyilau budaya dan melihat sudut dapur mereka. Perantau akan melihat setumpuk tanah pusaka tanda keberadaan mereka, akan melihat rumah induk atau rumah gadang. Mereka akan menyilau tapian tampek mandi, tampek mereka bermain basuliang-suliang dan bekejaran. Itu bahagian pengalaman yang selalu melekat dalam diri perantau dan terinternalisasi dalam identitas mereka.
Jadi, jika ada orang kampung yang mengatakan bahwa seorang perantau lupa denghan kampung halamannya, itu tidak benar. Sebab bagi orang rantau kampung tetap suatu kebanggaan, Kadang kala mungkin orang kampung belum mampu memanfaatkan perantau dan tidak mau berkomunikasi dengan orang rantau. Orang rantau tentu juga berhati-hati untuk tidak sembarangan memasuki kampung yang sudah lama mereka tinggalkan, salah-salah sorong tentu orang rantau akan dianggap “sombong” atau “sok cadiak”. Ini sudah banyak kejadian.
Bagi perantau menyumbangkan sesuatu ke kampung halaman, baik pikiran maupun berupa benda atau uang tentu suatu kebanggaan, paling tidak mereka masih ada ikatan dengan kampung halaman, dan eksistensinya sebagai orang Minangkabau tetap terjaga. Kadang kala juga bisa menjadi kebanggaan dan kepuasan.
Namun dalam melihat dialektika hubungan ranah dan rantau sering terjadi salah komunikasi. Umpamanya ketika ada maksud orang rantau untuk menyumbangkan pikiran mereka terhadap kampung halaman, bisa jadi dicurigai, bahkan ada yang mengatakan bahwa orang rantau akan mengubah adat Minangkabau. Walaupun sebenarnya dalam adat Minangkabau sakali aie gadang sakali tapian berubah, sekali ada pengaruh yang lebih besar akan membuat perubahan, hal yang baru dan positif untuk kekayaan sosial-budaya biasanya diterima oleh masyarakat, walaupun terjadi konflik.
Baca juga: 1,8 Juta Perantau akan Pulang Kampung, Gubernur Mahyeldi Minta Ini ke Warga di Kampung
Namun konflik di tengah budaya Minangkabau adalah bahagian dari dialektika untuk memperkokoh identitas mereka pada masa berikutnya. Belum pernah terjadi dalam sejarahnya adat yang usang tidak diperbaharui, dan tidak pernah juga terjadi adat yang usang akan bertahan selamanya. Ini sesuai dengan ungkapan usang-usang dipabarui, lapuak-lapuak dikajangi. Jadi pembaharuan itu adalah ciri khas Minangkabau yang tidak bisa dielakkan yang sudah terbentang dan tersurat dalam sejarah. [*]
Penulis: Wannofri Samry, bekerja di Universitas Andalas (Unand)