Makassar, Padangkita.com – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai presidential threshold semestinya untuk memperkuat sistem presidensial dan demokrasi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, memperlemah.
“Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensial, agar presiden terpilih punya dukungan kuat di parlemen, justru secara teori dan praktik, malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah,” ujar LaNyalla dalam FGD 'Presidential Threshold dan Oligarki Pemecah Bangsa' di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Selasa (16/11/2021).
Ikut mendampingi LaNyalla dalam FGD yang diselenggarakan secara daring dan luring itu antara lain Tamsil Linrung (Ketua Kelompok DPD RI di MPR/Senator Sulawesi Selatan), Andi Muh. Ihsan (Sulawesi Selatan), Habib Ali Alwi dan TB. M. Ali Ridho Azhari (Banten), Djafar Alkatiri (Sulawesi Utara) dan Ajbar (Sulawesi Barat) dan Asyera Respati A Wundalero (NTT).
Dalam kegiatan ini, Senator asal Sulsel, Tamsil Linrung, yang juga Ketua Kalompok DPD di MPR, menjadi pemateri. Narasumber kedua adalah Fahri Bachmid, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UMI.
LaNyalla menjelaskan, partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Sehingga yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan partai politik melalui fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah.
“Termasuk secepat kilat menyetujui apapun kebijakan pemerintah. Juga pengesahan Perppu atau calon-calon pejabat negara yang dikehendaki pemerintah,” tambahnya.
Makanya, lanjut dia, jika ditimbang dari sisi manfaat dan mudaratnya, presidential threshold penuh dengan mudarat. Karena ambang batas pencalonan presiden menyumbang polarisasi tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, hanya ada 2 pasang calon yang head to head.
“Bagaimana kita melihat pembelahan yang terjadi di masyarakat. Antarkelompok berseteru dan selalu melakukan Antitesa atas output pesan yang dihasilkan baik dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi,” paparnya.
Bagaimana bangsa ini disuguhi kegaduhan nasional. Sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum. Belum lagi tradisi barbar seperti sweeping bendera, sweeping forum diskusi dan lain-lain, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi.
“Inilah dampak buruk penerapan ambang batas pencalonan presiden, atau dalam kasus tertentu juga terjadi di ajang pemilihan kepala daerah. Di mana rakyat dihadapkan hanya kepada dua pilihan,” tukas LaNyalla lagi.
LaNyalla tak memungkiri jika berkongsi dalam politik adalah wajar. Namun menjadi jahat, ketika kongsi itu dilakukan dengan mendisain agar hanya ada dua pasang kandidat Capres-Cawapres, yang berlawanan dan memecah bangsa, atau sebaliknya seolah-olah berlawanan, tapi sudah didesain siapa yang bakal menang.
“Jika polarisasi rakyat dan kegaduhan terjadi dalam skala nasional serta masif, siapa yang diuntungkan? Jelas para oligarki yang sibuk menumpuk kekayaan dengan menguras sumber daya di negeri ini. Karena faktanya, hampir separo sumber daya alam dan kekayaan negeri ini dikuasai segelintir orang saja. Padahal para pendiri bangsa bercita-cita untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” katanya.
Senator asal Jawa Timur itu juga menegaskan ambang batas pencalonan tidak sesuai keinganan masyarakat. Karena presidential threshold mengerdilkan potensi bangsa, yang sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main tersebut.
Baca juga: LaNyalla Dapat Dukungan Jadi Presiden Saat Menutup Kongres Pemuda Marhaenis
“Rakyat menjadi berkurang pilihannya karena semakin sedikit kandidat yang bertarung. Tentu saja hal itu semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin terbaik. Padahal entitas civil society yang ikut melahirkan bangsa dan negara ini seharusnya juga diakomodasi. Oleh karena itu, saya keliling ke banyak kampus membicarakan soal ini. Mahasiswa sebagai kalangan terdidik, dan agen perubahan memiliki tanggung jawab moral untuk memikirkan masa depan negara ini, demi Indonesia yang lebih baik,” tegas LaNyalla. [jal/pkt]