Simpang Empat, Padangkita.com – Sudah bertahun-tahun warga Kampung Nelayan, Jorong Pondok, Kecamatan Sasak Ranah Pasisie, Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) hidup berdampingan dengan buaya muara di Batang Kapa.
Warga di sekitar sungai itu telah terbiasa dengan kehadiran hewan buas yang hidup di air itu. Apalagi warga yang bekerja sebagai nelayan keramba apung. Pemandangan buaya yang berenang di pinggir sungai sudah menjadi hal biasa.
Kepala Jorong Pondok, Endri Warman mengatakan, reptil itu setidaknya muncul ke permukaan setiap sepekan sekali atau paling lama sekali sebulan. Biasanya hewan bertaring itu muncul untuk mencari makan.
Tak jarang, satwa dengan nama Latin Crocodylus Porosus ini masuk ke dalam keramba ikan milik warga untuk memakan ikan yang ada di dalamnya. Warga juga heran, bagaimana cara buaya itu bisa masuk, padahal pembatas atau pengaman keramba telah dibuat cukup tinggi.
“Warga telah sering melihat buaya itu, setidaknya tiap minggu buaya pasti muncul,” kata Endri, ketika berbincang dengan Padangkita.com, Kamis (28/10/2021).
Meski telah terbiasa, lanjut Endri, warga yang tinggal di sekitar Batang Kapa sebenarnya telah lama memendam keresahan. Betapa tidak, keberadaan buaya itu sangat menghambat aktivitas warga di sekitar sungai.
Seperti pada video viral Kamis (28/10/2021) lalu. Wedi, salah seorang pemilik keramba yang saat itu hendak memberi makan ikannya dikagetkan oleh seekor buaya muara yang tengah makan ikan di dalam keramba miliknya. Dia tak bisa berbuat banyak.Endri menyebutkan, sebetulnya keberadaan buaya muara itu sangat merugikan warga. Menurut Endri, ketika buaya masuk keramba dan makan ikan, kerugian yang dialami Wedi, pemilik keramba mencapai Rp7 juta.
“Keberadaan buaya di kampung nelayan ini sangat meresahkan warga di sekitar tepi sungai. Tindakan warga tidak ada. Warga yang berada di tepi sungai terus waspada dengan keberadaan buaya,” kata dia.
Dihubungi terpisah, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Barat (Sumbar) Ardi Andono mengatakan, Batang Kapa di Kecamatan Sasak Ranah Pasisie, Kabupaten Pasaman Barat itu memang habitat asli buaya muara.
Menurut Ardi, karena sudah lama hidup berdampingan dengan manusia, perilaku buaya itu jadi berubah. Buaya yang merupakan hewan berdarah dingin, lebih benyak diam dan bersembunyi, akhirnya sering muncul karena merasa sudah akrab dengan keberadaan manusia.
“Ini karena masyarakat atau yang punya kerambanya suka memberi makan (buaya). Makanya buaya tersebut terbiasa dengan hal itu,” kata Ardi kepada Padangkita.com.
Ardi menuturkan, pihaknya juga tak dapat berbuat banyak terhadap reptil itu. Pasalnya, lokasi kemunculan buaya merupakan habitat aslinya sehingga upaya pemindahan tak dapat dilakukan.
Menurut dia, yang perlu dilakukan saat ini adalah kewaspadaan warga setempat lebih ditingkatkan, apalagi warga yang beraktivitas di pinggir sungai sebagai petani keramba.
“Kita sangat berterima kasih dengan warga yang bisa hidup berdampingan dengannya (buaya),” ucapnya.
Dari data yang dihimpun, konflik buaya dengan manusia di daerah Sasak Ranah Pasisie ini bukan pertama kalinya. Pada bulan Januari 2021 lalu, seekor buaya sepanjang empat meter lebih ditangkap warga dan mati di Jorong Rantau Panjang karena menyerang warga setempat.
Sebelumnya lagi, pada bulan September 2020, buaya sepanjang tiga meter lebih terlihat berjemur oleh warga di pinggir sungai di Jorong Sialang. Jauh sebelumnya, kejadian serupa juga terjadi pada 2018.
Keberadaan buaya yang telah berdampingan dengan manusia di Sasak sebetulnya juga bisa berdampak positif. Salah satunya, kata Ardi, buaya bisa menjadi objek wisata ekstrem.
Ardi mencontohkan wisata buaya di Thailand. Namun, ia mengingatkan, potensi buaya untuk wisata memang perlu kajian dan persiapan yang matang. Terutama mempersiapkan pelatihan dan keamanan warga setempat.
“Sebetulnya bisa dijadikan wisata ekstrem, asal kita latih dulu masyarakatnya,” sebut Ardi.
Baca juga: Ternyata Buaya yang Masuk Keramba di Sasak Pasbar Memang Sudah Akrab dengan Masyarakat
Sekadar diketahui, di Indonesia, buaya muara termasuk jenis satwa liar dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. (mfz/pkt)