Padangkita.com - Masyarakat di pulau Sumatera umum percaya dengan keberadaan manusia dengan ukuran mini atau manusia pendek. Manusia berukuran mini tersebut dipercayai tinggal di pedalaman hutan atau rimba raya Sumatera. Hingga saat ini masih banyak yang berupaya mencari keberadaan mereka untuk membuktikan kebenaran ada tidaknya Orang Pendek tersebut.
Menurut dosen dan peneliti dari Universitas Leiden, Suryadi Sunuri, banyak nama yang diberikan kepada Orang Pendek, diantaranya leco (ejaan lama: letjo) dan anak ote.
Di Gunung Sago, Kabupaten 50 Kota, masyarakat menyebut Orang Pendek dengan sebutan anak ghoteh. Ada juga yangmenyebutnya bigau.
Baca juga:
Agus Salim Tolak Berdiri Saat Lagu Kebangsaan Belanda Dinyanyikan
Inilah Trio Minang Penakluk Pasar Senen
Sebagian penduduk lokal di Sumatera mengategorikan Orang pendek ini sejenis binatang. “letjo itoe sebangsa machloek jang sangat hampir kepada manoesia, boléh dikatakan setengah manoesia,” (Pandji Poestaka No. 49, Tahoen X, 17 Juni 1932:758).
Pada tahun 1930-an pernah terjadi perburuan terhadap Orang Pendek, bahkan pernah tertembak di Pasirpangarayan, Rokan Hulu. (Pandji Poestaka, No. 44, Tahoen X, 31 Mei 1932:686).
Perburuan terhadap Orang pendek dipicu oleh ambisi orang-orang Eropa untuk kepentingan ilmiah. Mereka ingin sekali memperoleh contoh makhluk itu. Selain untuk memperoleh kebenaran kabar tersebut, juga untuk menyelidiki perbedaan Orang Pendek tersebut.
“Menoeroet tjerita-tjerita jang disampaikan kepada orang kampoeng, ialah akan memboektikan dan menjempoernakan keinginan hati sebahagian dari ahli-ahli ‘ilmoe pengetahuan jang menaroeh kejakinan, bahasa manoesia ini asalnja dari binatang. Maka létjo itoelah satoe djendjang jang akan dipergoenakannja djadi soeloeh penerangi ‘ilmoe orang pandai-pandai itoe. Rasanja dengan mendapat binatang, jang telah lama diidam-idam oléh ahli-ahli ditanah Éropah itoe, akan bergoentjang ‘ilmoe pengetahoean tentang asal oesoel manoesia itoe. (Pandji Poestaka, No. 49, Tahoen X, 17 Juni 1932:758).
Suryadi menjelaskan para ilmuwan Eropa dari Belgia pernah mau membayar Seratus Ribu Rupiah, angka yang sangat besar untuk masa itu. Untuk diketahui, Museum Gedang Arca di Amerika Serikat pernah membeli tubuh manusia pendek tersebut dengan harga satu juta dollar (Pandji Poestaka, No. 49, Tahoen X, 17 Juni 1932:758).
Iming-iming uang yang dijanjikan oleh ilmuwan Eropa banyak mendorong penduduk lokal memburu Orang Pendek. Karena dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan hidup spesies ini, maka otoritas Kolonial pada masa itu melarang melanjutkan perburuan terhadap Orang Pendek. Pandji Poestaka No. 48, Tahoen X, 14 Juni 1932:749 menulis: “Memboeroe Orang Pendék diperhentikan."
Deli Crt. pernah mewartakan Gubernur Sumatra Timur memerintahkan kepada Controleur di daérah Rokan supaya usaha memburu Orang Pendek dihentikan.
Keingintahuan ilmuwan Eropa yang begitu tinggi terhadap leco ini terus berlanjut sampai sekarang. Keadaannya berbeda dengan di Tanah Air sendiri. Leco, bigau, anak ote, atau anak ghoteh lebih sering dihubungkan dengan hal-hal gaib, mistis, dan kesaktian rimba raya yang dianggap angker. Para antropolog dan zoolog kita tidak begitu tertarik menelitinya karena rasionalitas mereka disungkup kuat oleh kosmologi lokal mereka yang percaya kepada tahayul, mistik, dan kekuatan gaib.
Beberapa laporan juga pernah ditulis oleh orang Eropa tentang Orang Pendek. Misalanya Robert Cribb. Ia menulis “Nature Conservatism and Cultural Preservation in Convergence: Orang Pendek and Papuan in Colonial Indonesia”, dalam Stella Borg Barthet (ed.), A Sea for Encounters: Essays Towards a Postcolonial Commonwealth, Amsterdam–New York, NY: Rodopi, 2009: 223-242).
Cerita unik lain mengenai Orang Pendek ini, dikutip dari Koran Sinar Deli cetakan tahun 1932, memuat cerita tentang seorang laki-laki kawin dengan leco perempuan.