Mengenal Pakuak, Uang Siriah, dan Uang Rokok dalam Masyarakat Minangkabau

Mengenal Pakuak, Uang Siriah, dan Uang Rokok dalam Masyarakat Minangkabau

Ilustrasi. [Foto: Ist]

Padang, Padangkita.com – Sumatra Barat (Sumbar) telah dikenal sebagai daerah wisata. Hampir di setiap kabupaten dan kota punya destinasi wisata unggulan. Namun sayangnya, di banyak objek wisata masih ada pemalakan alias pungutan liar atau pungli dalam berbagai modus. Mulai dari harga makanan yang tinggi, biaya parkir yang tidak semestinya, hingga jasa keamanan.

Namun, pungli tentu saja tidak hanya terjadi pada sektor wisata. Pungli dalam bentuk yang lebih besar yang bernama korupsi justru banyak terjadi pada lingkungan pemerintahan.

Nah, kali ini Padangkita.com merangkum pungli yang dikenal dalam masyarakat Minangkabau merujuk pada penelitian Gusti Asnan yang berjudul “Dari Uang Siriah, Uang Rokok, Hingga Pakuak dan Pemalakan Kekerasan Ala Urang Awak dalam Perspektif Sejarah”.

Pakuak

Pernah heboh di media sosial pada 2016 lalu tentang wisatawan yang terkena pakuak saat makan di Los Lambuang, Pasar Lereng, Bukittinggi. Seorang pengguna media sosial membagikan pengalamannya dikenai tagihan Rp600 ribu saat makan nasi kapau untuk tiga orang. Pakuak merupakan penetapan harga yang jauh lebih tinggi dari nilai yang sesungguhnya oleh pedagang kepada pembeli.

Pakuak biasanya terjadi karena beberapa hal. Pertama, pembeli tidak tahu dengan harga barang yang akan dibelinya. Kedua, pembeli tidak bisa membatalkan jual beli karena telah memakan makanan tersebut. Terakhir, penjual mengetahui jika pembeli sangat ingin barang tersebut sehingga ia sengaja mematok harga lebih tinggi karena tahu pembeli akan rela mengeluarkan uang lebih.

Selain itu pakuak juga ada dalam bentuk pengurangan mutu barang yang dibeli. Seperti ada penjual yang sengaja memasukan barang dengan kualitas yang kurang bagus. Contoh lain dari pakuak yaitu pengurangan jumlah dengan cara mengubah setelan timbangan. Misalnya timbangan yang seharusnya dari satu 1 kg menjadi 900 gr.

Uang Sirih atau Uang Rokok

Thomas Stamford Raffles dalam catatan perjalanannya menuliskan jika ia dan rombongannya pada tahun 1818 dari Padang ke pedalaman Minangkabau harus membayar “toll fee” kepada penghulu. Raffles membayar tol fee atau uang sirih dalam istilah adat Minangkabau disebut dengan kepada penghulu atau pemuda adat saat memasuki atau melewati sebuah nagari.

Dulu, saat akses jalan dan alat transportasi belum sebaik sekarang, aktivitas perniagaan dan perjalanan dilakukan oleh saudagar mengandalkan jalan setapak. Saat itu ada banyak jalan setapak di Minangkabau khususnya antara daerah pedalaman dengan pesisir. Tiap-tiap tapal batas dari suatu nagari ke nagari lain dijaga oleh pemuda setempat. Mereka menuntut uang sirih.

Halaman:

Baca Juga

Nobar Film 'Sadang di Bawah', Mahyeldi Dukung Industri Kreatif Lokal Minang
Nobar Film 'Sadang di Bawah', Mahyeldi Dukung Industri Kreatif Lokal Minang
Roberia Apresiasi Seminar tentang Pendidikan Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Minangkabau
Roberia Apresiasi Seminar tentang Pendidikan Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Minangkabau
Pendaftaran Tanah Ulayat: Gubernur Mahyeldi  Terima Penghargaan dari Kementerian ATR/BPN
Pendaftaran Tanah Ulayat: Gubernur Mahyeldi Terima Penghargaan dari Kementerian ATR/BPN
Braditi Moulevey Terpilih jadi Ketua DPW IKM Jakarta, Andre Rosiade: Insya Allah lebih Baik
Braditi Moulevey Terpilih jadi Ketua DPW IKM Jakarta, Andre Rosiade: Insya Allah lebih Baik
Tradisi Marandang Perlu Diwariskan, Jangan Sampai Anak Muda Cuma Tahu Lezatnya saja
Tradisi Marandang Perlu Diwariskan, Jangan Sampai Anak Muda Cuma Tahu Lezatnya saja
Memaknai Semangat Marawa di Kostum dan Perlengkapan Kontingen Sumbar di PON XXI
Memaknai Semangat Marawa di Kostum dan Perlengkapan Kontingen Sumbar di PON XXI