Berita Padang hari ini dan berita Sumbar hari ini: Dugaan penyimpangan anggaran penanganan Covid-19 di Sumbar terus mendapat perhatian dari kalangan anti-korupsi
Padang, Padangkita.com – Dugaan penyimpangan anggaran penanganan Covid-19 di Sumatra Barat (Sumbar) terus mendapat perhatian dari kalangan anti-korupsi. Penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaan diminta segera membongkar dan mengusut tuntas kasus ini.
Masyarakat Anti-Korupsi Sumbar (MAKS) yang terdiri dari sejumlah organisasi menilai, telah terdapat sejumlah pelanggaran undang-undang dalam dugaan penyimpangan Rp150 miliar dari total anggaran Rp490 miliar anggaran penanganan Covid-19 di Sumbar.
Organisasi yang tergabung dalam MAKS ini adalah Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Unand, Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (Bhakti) Fakultas Hukum UBH, LBH Padang, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), Lembaga Kajian Hukum dan Korupsi (Luhak) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, QBar dan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCPM).
Pelanggaran sejumlah undang-undang itu, menurut MAKS, dapat ditelusuri dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang disampaikan kepada DPRD pada tanggal 28 Desember 2020.
Laporan ini memuat dua hal yakni, LHP terkait kepatuhan atas penanganan pandemi Covid-19 dan LHP efektivitas penanganan pandemi Covid-19 bidang kesehatan tahun 2020 pada Pemprov Sumbar dan instansi terkait lainnya.
“Berdasarkan laporan tersebut, BPK menemukan adanya dugaan penyimpangan Rp150 miliar dari total anggaran penanganan Covid-19 sebesar Rp490 miliar. Apabila temuan tersebut terbukti, maka negara mengalami kerugian miliaran rupiah,” tulis MAKS dalam keterangan pers yang diterima Padangkita.com.
Peraturan peundangan-undanghan yang telah dilanggar dalam dugaan penyimpangan anggaran penanganan Covid-19 ini adalah, pertama, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, khususnya Pasal 65: Pengelolaan sumber daya bantuan bencana meliputi perencanaan, penggunaan, pemeliharaan, pemantauan, dan pengevaluasian terhadap barang, jasa, dan/atau uang bantuan nasional maupun internasional.
Kemudian, Pasal 66: Pemerintah, pemerintah daerah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan badan penanggulangan bencana daerah melakukan pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 pada semua tahap bencana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Undang-undang ini memberikan ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar pengelolaan sumber daya bantuan bencana, sebagaimana diatur dalam Pasal 78: Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun atau paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp6 miliar atau denda paling banyak Rp12 miliar.
Kedua, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal 2 ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 ahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Pada ayat (2): Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) undang-undang ini, yang dimaksud dengan keadaan tertentu terdapat dalam penjelasan pasal sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Adapun keadaan itu yakni apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
“Dengan ditetapkannya Covid-19 sebagai bencana nasional non-alam, maka korupsi yang dilakukan terhadap dana penanganan dan penanggulangan Covid-19, masuk pada kategori korupsi dalam keadaan tertentu, dengan sanksi pidana maksimal berupa pidana mati. Abnormal law for abnormal time. Artinya, aturan hukum yang tidak biasa berlaku terhadap keadaan yang tidak biasa, yakni berupa keadaan tertentu sebagai dasar pemberat pidana,” tulis MAKS.
Peraturan perundang-undangan ketiga yang telah dilanggar dalam kasus ini adalah Instruksi Gubernur No. 02/INST-2018 tanggal 23 Januari 2018 tentang Pelaksanaan Transaksi Non Tunai (Transaksi Non-Cash). Ketentuan ini sesuai dengan program pemerintah dalam mencanangkan gerakan nasional non-unai (GNNT).
“Terkait dengan temuan BPK terhadap penggunaan dana anggaran Covid-19 di Sumbar, maka pembayaran tunai yang dilakukan oleh Bendahara dan Kalaksa BPBD Sumbar kepada penyedia, telah melanggar Instruksi Gubernur,” tulis MAKS lagi.
Kecurigaan Publik Terhadap Aparat Penegak Hukum
MAKS juga menyatakan, keterlambatan pembentukan panitia khusus oleh DPRD Sumbar dan pihak terkait termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaan menanggapi dugaan penyimpangan dana bantuan Covid-19 turut menciptakan kecurigaan publik.
Sekitar dua bulan setelah disampaikannya LHP BPK kepada DPRD Sumbar, DPRD baru membentuk pansus pada tanggal 17 Februari 2021. Begitu juga dengan pembentukan tim khusus Polda Sumbar yang terkesan lambat.
“Waktu yang sempit akan menghambat pengusutan dan penyelidikan, sehingga berakibat pada hasil temuan yang tidak tepat sasaran. Peran KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan menjadi krusial menangani dugaan penyimpangan dana ini dengan jumlah sangat besar,” tulis MAKS.
Melalui keterangan pers, MAKS mengecam segala bentuk praktik kebijakan dan tindakan koruptif yang dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah dan pihak lain terkait indikasi penyimpangan anggaran Covid-19 di Sumbar.
MAKS meminta Panitia Khusus DPRD Sumbar dalam menjalankan fungsi kontrol hendaknya menindaklanjuti secara serius segala bentuk motif dugaan penyimpangan anggaran Covid-19 senilai Rp150 miliar, terutama di sektor pengadaan barang dan jasa.
Panitia Khusus DPRD Sumbar diharapkan dapat membuka seluas-luasnya informasi tentang pengusutan indikasi penyimpangan anggaran Covid-19 di Sumbar, sehingga masyarakat mengetahui perkembangan kasus dimaksud;
“Dalam hal telah ditemukannya beberapa bukti permulaan yang cukup, Panitia Khusus DPRD Sumbar diharapkan dapat menggandeng dan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk membongkar segala bentuk kebijakan dan tindakan koruptif yang dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah terkait indikasi penyimpangan anggaran Covid-19 di Sumbar.”
MAKS meminta KPK bersama dengan Kepolisian dan Kejaksaan Sumbar untuk mengusut secara tuntas dugaan korupsi anggaran Covid-19, mulai dari motif yang dilakukan hingga aktor-aktor yang terlibat dalam kasus dimaksud agar menemukan titik terang.
“Lembaga pengawas bersama masyarakat sipil di Sumbar diharapkan tetap mengawal isu dugaan korupsi anggaran Covid-19 tersebut dan melaporkan jika ditemukannya praktik-praktik koruptif di lapangan, terutama dalam pendistribusian bantuan sosial kepada masyarakat,” tulis MAKS.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Sumbar ke depannya diharapkan agar lebih hati-hati dalam penggunaan anggaran Covid-19 serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang baik dan bersih terutama prinsip transparansi dan akuntabilitas. [*/pkt]