Terungkapnya kasus penjualan obat aborsi (pengguguran kandungan) oleh sepasang suami istri (pasutri) di Kota Padang baru-baru ini, menyebabkan mulai terkuaknya berbagai praktik aborsi di Kota Padang. Diduga sudah dilakukan oleh puluhan bahkan ratusan pasangan remaja.
Fakta demi fakta kejahatan aborsi diperkirakan akan mulai terungkap ke permukaan, karena praktik penjualan obat untuk aborsi oleh pasutri yang memiliki sebuah apotek ini, sudah berlangsung sejak tahun 2018 yang lalu dan baru terungkap tahun 2021 ini.
Dalam regulasi di negara kita masalah aborsi sudah diatur dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, termasuk aturan tentang kapan aborsi dibolehkan berdasarkan alasan-alasan medis. Kenyataannya praktik aborsi masih terus berlangsung dalam aktivitas yang terselubung.
Terkait dengan isu aborsi tersebut tidaklah bisa kita lihat dari sisi hukum dan medis saja, jadi perlu dilihat dalam perspektif sosiologis, karena latar belakang, bentuk kejahatan dan dampak sosialnya adalah produk dari struktur dan sistem sosial yang sedang berlangsung dan bermuatan masalah. Artinya sistem sosial memberikan sumbangan terhadap praktik prostitusi modern; menggunakan jasa media atau obat-obat kimiawi dan tradisional, menggunakan jasa dukun beranak dengan cara atau obat-obat tradisional.
Memahami fenomena aborsi dalam ruang sosial masyarakat kita (khususnya di Kota Padang) memberi pertanda bahwa ada tabir sosial yang perlu dijelaskan, bahwa masalah ini bukan dililhat secara satu sisi saja. Artinya aborsi adalah hasil dari sebuah perilaku menyimpang seks bebas yang tidak terkendali dan ada dalam sistem sosial masyarakat kita.
Dalam hubungan ini, orang bisa saja mempersoalkan kegagalan institusi keluarga dalam menjalankan fungsi-fungsinya terhadap proteksi anggota keluarga, institusi pendidikan dalam pembentukan nilai-nilai dan institusi kepolisian dan pengawasan obat mengendalikan peredaran obat untuk aborsi.
Namun hal tersebut tidaklah sesederhana itu, karena terjadinya praktik aborsi terdiri dari berbagai pelaku yang memiliki latar berbeda dan alasan berbeda, sehingga mereka menolak kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Aborsi dijadikan jalan pintas untuk keluar dari masalah secara cepat.
Tabir sosial lain dari perilaku aborsi ini, kalau kita pinjam istilah dari Travis Hirschi seorang pakar masalah perilaku sosial, yaitu karena lepasnya inner control (pengendalian diri) dari perilaku dan tidak kuatnya lagi outner control (pengendalian luar) dari agama, adat, dan lembaga keamanan memberi tekanan kepada para remaja untuk tidak terjebak dalam pergaulan bebas.
Di samping itu, aborsi juga merupakan representasi dari gaya hidup hedonisme yang mengedepankan kenikmatan sesaat dengan label budaya instan (sesuatu yang diperoleh secara cepat) tanpa memikirkan akibat ke belakang.
Terkait dengan adanya kasus aborsi di Kota Padang telah memberi petanda dan penanda, bahwa perlu ditelaah variabel-variabel sosial lainnya, seperti kebebasan atau tak terkendalinya lagi pergaulan remaja di kosan, hotel, kawasan wisata dan sebagainya. Dalam aspek lain juga perlu dikampanyekan kembali edukasi sosial, sehingga tujuan preventifnya tercapai bahwa aborsi sangat berbahaya dari sisi kesehatan dan sosial.
Selama ini kita mungkin lengah dalam memonitor dan mengkaji kasus ini, yang bisa saja terjadi seperti analogi gunung es. Bukankah pendekatan yang bersifat preventif (mencegah) lebih hebat dari pendekatan represif (mengukum). (*)
Dr. Erianjoni, M.Si
Dosen Jurusan Sosiologi FIS Universitas Negeri Padang