Padangkita.com - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2016 melaporkan adanya 7.097 kasus difteri yang terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 342 kasus terjadi di Indonesia. Difteri adalah infeksi bakteri yang umumnya menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan, serta terkadang dapat memengaruhi kulit. Penyakit ini sangat menular dan termasuk infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa.
Dikutip dari berbagai sumber, Indonesia menjadi negara urutan kedua setelah India dengan jumlah difteri terbesar di dunia. Dari tahun 2011 - 2016 terjadi 3.353 kasus difteri di Indonesia. Dari jumlah tersebut 110 penderita difteri meninggal dunia. Orang-orang yang terinfeksi difteri hampir 90% nya, adalah mereka yang tidak memiliki riwayat imunisasi difteri yang lengkap.
Difteri disebabkan oleh bakteri yang dinamakan Corynebacterium diphtheriae. Penyebaran bakteri penyebab difteri ini dapat terjadi dengan mudah, terutama bagi orang yang tidak mendapatkan vaksin difteri.
Difteri dapat dicegah dengan program imunisasi. Imunisasi difteri disebut dengan imunisasi DTp yakni kombinasi imunisasi batuk rejan batuk rejan) dan tetanus. Balita yang berumur di bawah 1 tahun diwajibkan mendapat imunisasi DTP sebanyak 3 kali.
Vaksin DTP termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin ini dilakukan 5 kali pada saat anak berusia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, satu setengah tahun, dan lima tahun. Selanjutnya dapat diberikan booster dengan vaksin sejenis (Tdap/Td) pada usia 10 tahun dan 18 tahun. Vaksin Td dapat diulangi setiap 10 tahun untuk memberikan perlindungan yang optimal.
Difteri dapat menular dengan berbagai cara diantaranya adalah terhirup percikan ludah penderita di udara saat penderita bersin atau batuk, kemudian menggunakan barang-barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, contohnya mainan atau handuk. Selanjutbnya, sentuhan langsung pada luka borok (ulkus) akibat difteri di kulit penderita.
Adapun gejala-gejala awal seseorang terkena difteri yakni terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel, demam dan menggigil, sakit tenggorokan dan suara serak, sulit bernapas atau napas yang cepat, pembengkakan kelenjar limfe pada leher, lemas dan lelah serta pilek.
Apabila seseorang diduga kuat tertular difteri, dokter akan segera memulai pengobatan, bahkan sebelum ada hasil laboratorium. Dokter akan menganjurkannya untuk menjalani perawatan dalam ruang isolasi di rumah sakit. Lalu langkah pengobatan akan dilakukan dengan 2 jenis obat, yaitu antibiotik dan antitoksin.
Antibiotik akan diberikan untuk membunuh bakteri dan menyembuhkan infeksi. Dosis penggunaan antibiotik tergantung pada tingkat keparahan gejala dan lama pasien menderita difteri. Vaksin ini meliputi difteri, tetanus, dan pertusis atau batuk rejan.