Padang, Padangkita.com – Jika Boy Rafli Amar benar-benar terpilih menjadi Kapolri, maka ia akan tercatat sebagai orang Minang kedua yang memimpin Polri. Sebelumnya, urang awak juga telah pernah menduduki puncak pimpinan Polri. Ia adalah Awaluddin Djamin, yang menjabat sebagai Kapolri pada periode 1978 sampai 1982.
Awaluddin Djamin lahir di Padang pada 26 September 1927 dan meninggal dalam usia 91 tahun pada 31 Januari 2019. Semasa kepemimpinan Awaluddin, organisasi Polri diarahkan pada kelembagaan yang dinamis dan profesional. Pada masa itu, Polri juga turut berperan aktif menyumbangkan pokok-pokok pikiran untuk materi KUHAP (Kitab UU Acara Pidana).
Kini, Boy Rafli yang digadang-gadang menjadi kandidat Kapolri juga tak kalah prestasi. Boy sarat prestasi, bersih, dan dekat dengan masyarakat. Demikian citra yang melekat pada Jenderal Bintang Tiga Polri ini.
Selama kariernya, Boy banyak membantu citra polisi menjadi lebih transparan dan profesional. Banyak harapan tertumpu padanya untuk menjadikan Polri dapat lebih humanis dan dicintai rakyat Indonesia.
Kepemimpinan Boy disukai oleh masyarakat tempat ia bertugas, seperti terakhir saat menjabat Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua. Selama bertugas di sana, Boy selalu melakukan komunikasi dengan para tokoh masyarakat. Banyak tantangan yang dihadapi di Papua, tetapi Boy menghadapi tenang.
Ia tak segan meminta masukan dan saran demi terciptanya kamtibmas. Hasilnya, ia dapat meredam konflik horizontal di tengah masyarakat. Semua elemen masyarakat ia ajak berdialog. Ia terbuka kepada siapa saja, tanpa melihat latar belakang mereka.
Baca juga: Sengketa Pilkada di Sumbar, 2 Pasang Cagub dan 5 Pasang Cabup Perbaiki Permohonan ke MK
Kemampuan Boy dalam beradaptasi memang telah diwarisi secara turun temurun dari keluarganya. Lahir di Jakarta pada 25 Maret 1965, Boy merupakan putra Minang tulen. Ayah Boy, aslinya berasal dari Solok, sedangkan ibunya dari Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat.
Dari pihak ibu, Boy merupakan cucu dari Aman Datuk Madjoindo. Kakek Boy adalah sastrawan Indonesia pengarang Si Doel Anak Betawi. Walaupun merupakan orang Minang, Aman mampu membuat novel yang kental akan budaya dan kebiasaan orang Betawi
Belajar dari kakeknya, tak heran Boy pandai bergaul dan merangkul anggota masyarakat di mana ia bertugas. Ia selalu memegang falsafah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Setiap orang Minangkabau diharapkan supaya pandai menyesuaikan diri dengan keadaan dan tempat di mana dia berada.
Kiprah Boy Rafli
Boy Rafli Amar lulus pendidikan AKABRI Kepolisian pada tahun 1988 dengan pangkat Letnan Dua Polisi (Letda Polisi). Pada tahun 1991 pangkatnya naik menjadi Letnan Satu Polisi (Lettu Polisi). Pada tahun 1999, dia ditugaskan ke Bosnia sebagai Wakil Komandan Kontingen Garuda XIV.
Boy sempat bertugas di Padang sebagai Kapoltabes pada 2008-2009. Setelah itu, antara lain ia sempat menjadi Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kapolda Banten, Kadiv Humas Polri, Kapolda Papua dan Wakil Kepala Lemdiklat Polri.
Setelah menjabat Kapolda Papua, karier Boy melejit, mirip dengan Tito Karnavian. Pada 6 Mei 2020, Boy dilantik oleh Presiden Jokowi sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Salah satu pernyataannya selaku Kepala BNPT yakni teroris tidak bisa diidentikkan dari penampilan, termasuk cara berpakaian.
"Tidak bisa diidentikkan orang seperti ini, seperti ini (teroris). Bisa saja mereka kamuflase pakaian biasa dan sebagainya," kata Boy sebagaimana dikutip Tempo.
Boy mengatakan tidak ada jaminan bahwa penampilan dan cara berpakaian tertentu identik dengan radikalisme.
Kini, hanya tersisa 1 bulan lagi kepemimpinan Idham Azis sebagai Kapolri. Idham akan resmi pensiun per tanggal 1 Februari 2021. Presiden Joko Widodo belum mengumumkan siapa calon Kapolri yang akan diusulkannya ke DPR untuk mendapatkan persetujuan dari anggota dewan.
Terbaru, ada tiga nama yang paling santer disebut calon Kapolri terbaik. Selain Boy, ada nama Wakapolri Gatot Eddy Pramono dan Kepala BNN Petrus Golose.
Ketiganya kebetulan rekan seangkatan Kapolri Idham Azis, yaitu sama sama lulusan Akpol 1988.
Publik tentu membutuhkan calon kepala Polri baru yang tidak memiliki catatan buruk dan tentunya mampu membawa Polri menjadi lebih humanis dan dicintai rakyat Indonesia. (den/pkt)