Padang, Padangkita.com - Menolong orang lain juga berarti menolong diri sendiri. Demikian prinsip yang mendorong Elsa Maharrani ketika membuka lapangan pekerjaan untuk warga di sekitar rumahnya. Wanita asal Kuranji, Kota Padang, Sumatra Barat (Sumbar) ini membuka produksi pakaian muslim dengan merek Maharrani Hijab. Merek ini yang diambil dari nama belakangnya.
Usaha yang ia dirikan sejak 2019 itu, kini menjadi ladang pencarian dengan upah yang layak pada perempuan yang semula bekerja sebagai pemecah batu dan asisten rumah tangga.
Cikal mendirikan Maharrani Hijab itu tumbuh ketika Elsa menjadi reseller beberapa brand pakaian. Melihat kembali ke belakang, pada tahun 2010 saat masih duduk di semester 5 Jurusan Kesehatan Masyarakat, Universitas Andalas (Unand), Elsa menerima pinangan pria yang kini menjadi suaminya.
Ia kemudian hamil dan melahirkan saat bersamaan dengan menyelesaikan skripsi. Ia berhasil lulus kuliah pada tahun 2012 dan juga mendapatkan kado wisuda dengan hamil anak kedua.
Sebagai seorang ibu dua orang anak, Elsa memilih untuk berwirausaha sambil mengasuh kedua anaknya. Pertama sekali, bersama seorang suami ia memulai membuka konter jual beli ponsel. Ia lakoni sejak 2012, tetapi setelah beberapa tahun berjalan, Elsa dan suami mendapat cobaan, konter ponsel mereka dijarah maling.
Kehilangan modal dan seretnya jual beli ponsel membuat Elsa memilih untuk menjejal bisnis lain. Pada tahun 2016 ia mulai menjadi reseller sebuah brand hijab ternama. Bisnis pakaian dipilih Elsa waktu itu berawal dari kesukaannya pada model-model hijab. Selain itu menjadi reseller dapat dilakukan di atau dari rumah.
Bisnis yang ia mulai dari promosi di media sosial itu makin berkembang, Elsa tidak hanya menjadi reseller atau dropshiper. Ia telah naik level menjadi distributor pakaian muslim di Sumatra Barat (Sumbar), bahkan pelanggannya juga berasal dari provinsi lain.
Berhasil menjadi distributor dan potensi pasar pakaian muslim yang terbuka lebar, Elsa terdorong untuk membuka brand pakaian sendiri. Keinginan itu tak lain juga karena niatnya untuk membuka lapangan kerja.
Elsa berprinsip membuka usaha tidak semata untuk keuntungan dan kesejahteraan pribadi, tetapi adalah jalan mendedikasikan hidup dalam bermasyarakat.
“Inspirasi kita Quran Surat: Muhammad” Ayat 7, ‘Barang siapa menolong agama Allah, pasti kita ditolong Allah’. Allah kan gak butuh pertolongan. Kita bertakwa, berinfak, berdakwah. Ibaratnya kalau mau sejahtera, ya tolong juga orang lain, jangan mau mikirin diri sendiri. Allah mudahkan kita kalau kita memudahkan orang lain. Inspirasi kita juga hadist, tentang manusia yang paling bermanfaat. Prinsip kita gitu sih,” cerita Elsa tentang dorongannya mendirikan Maharrani Hijab kepada Padangkita.com, Jumat (17/12/2020).
Memulai Usaha Hijab
Elsa memulai Maharrani Hijab pada awal tahun 2019. Niat itu ia mulai dengan mencari referensi, menentukan model, dan mencari bahan. Semua itu dilakukan di Padang dan Bukittinggi.
“Awalnya kita cari referensi di internet, kemudian cari kain di Bukittinggi, lalu kendala pertama menemukan penjahit yang cocok dengan model pakaian dan mereka juga cocok dengan penawaran kita. Setelah berkeliling kemudian dapat satu penjahit di Padang. Nah awal produksi itu 2019 awal sistem jualnya pre-order,” kata Elsa.
Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya orderan, kesempatan mengembangkan usaha semakin lebar. Elsa butuh tambahan penjahit, tetapi saat itulah tantangan pertama dimulai. Ia kesulitan mencari penjahit yang cocok.
Salah satu faktor sulitnya mencari penjahit yaitu prinsip orang Minang yang mandiri; lebih ingin membuka usaha daripada menjadi pekerja. Penjahit yang ditawari Elsa untuk bergabung sebagai mitra Maharrani pada mulanya merasa tidak cocok dengan upah yang diberikan oleh Elsa.
Elsa memberikan upah sebesar Rp25 ribu untuk satu helai baju gamis. Ada pun sistem pengerjaan pakaian produksi Maharrani yaitu dikerjakan oleh satu orang penjahit dari pola dasar hingga selesai. Hal ini ditujukan untuk menjaga kualitas pakaian. Bahan kain, benang, kancing, dan lainnya disediakan oleh Maharrani.“Kendala kita untuk mulai produksi yaitu kesesuaian upah yang kita tawarkan pada penjahit. Mungkin ini karena cara pandang orang Minang yang tidak mau bergantung dengan orang lain,”
Penawaran Elsa kerap ditolak oleh beberapa penjahit yang ia temui karena upah yang ditawarkan Elsa tidak sebanding dengan upah yang mereka patok.
“Urang awak berpikirnya ia bisa mendapatkan upah yang lebih besar dibandingkan dengan yang bisa Maharrani. Jadi, mereka berpikir lebih baik menjahit sendiri dan untuk apa memperkaya orang lain, begitu cara pikirnya, padahal kan kita mengupayakan kesejahteraan bersama,” kata wanita kelahiran 5 Maret 1990 itu.
Diakui Elsa, tantangan itu sempat membuat ia berpikir untuk melakukan produksi di Jawa saja, selain lebih mudah mendapatkan penjahit juga karena ongkos produksi.
“Sempat ditawari oleh teman untuk produksi di Purbalingga, karena ongkos produksi di sini juga lebih mahal dibandingkan Jawa. Kita bisa mendapatkan penjahit dengan upah yang lebih rendah,” ujar Elsa.
Namun kembali lagi pada tujuan awalnya menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain, Elsa menghalau pikiran untuk mencari penjahit di luar Jawa.
Lambat laun usaha Elsa mendekati penjahit di sekitar rumahnya membuahkan hasil. Penjahit itu kemudian yakin dengan upah yang mungkin relatif murah akan sebanding dengan orderan yang terus-menerus.
“Ada penjahit kita awalnya, dia disarankan oleh tetangganya untuk ke sini, ia bahkan bolak balik tiga kali untuk menanyakan upah. Walaupun berat hati ia menyanggupi upah tersebut, sekarang ia malah semangat bahkan melarang kami menerima penjahit baru,” kisah Elsa.
Sekarang Elsa telah memberdayakan 15 orang penjahit dan 7 orang tenaga admin dan operasional dengan upah yang sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumbar, sekitar Rp2,5 juta sebulan. Serta 150 orang telah bergabung menjadi reseller Maharrani Hijab.
Satu tahun lebih berjalan, Maharrani Hijab memberikan pekerjaan untuk perempuan, perempuan yang suaminya menjadi korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan perempuan dengan ekonomi lemah.
Lokasi rumah Elsa tidak jauh dari Batang Kuranji. Di kawasan ini, penghasilan warga pada umumnya dari tambang batu kali. Mereka menerima upah dari bekerja sebagai pemecah batu, pekerjaan ini juga dilakoni oleh kaum perempuan.
“Di sini perempuan yang kerja adalah perempuan yang suaminya tidak bekerja atau korban PHK. Ada juga perempuan yang suaminya bekerja sebagai driver ojek online, yang pendapatannya menurun selama pandemi, dan mereka dulunya bekerja jadi pemecah batu,” katanya.
Selain itu, mereka juga dapat bekerja dari rumah sembari menjalankan kewajiban sebagai ibu rumah tangga.
“Bekerja di Maharrani dapat mereka lakukan dari rumah sehingga tidak mengesampingkan keluarga mereka,” ucap Elsa.
Maharrani di Tengah Pandemi
Pandemi membuat daya beli masyarakat anjlok. Banyak sektor UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) yang mengalami penurunan permintaan hingga mengurangi karyawan. Di tengah situasi yang tak pasti, bisnis konveksi Elsa mampu bertahan. Bagaimana kiat yang dilakukan Elsa? Amanah untuk tetap memberikan pekerjaan pada pekerja membuat Elsa berhati-hati dalam menganalisis pasar.
“Kondisi pandemi membuat kita tidak bisa meluncurkan produk baru. Di awal (pandemi) Corona sempat produk kita tidak jalan sama sekali,” imbuhnya.Hati-hati melangkah, Elsa kemudian memilih memproduksi pakaian PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau Pemda (Pemerintah Daerah) berbentuk gamis. Pertimbangannya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak begitu mengalami goncangan pemasukan karena pandemi.
“Sekarang produk unggulan kita yaitu baju gamis untuk PNS dan Pemda, karena pendapatan mereka tidak terpengaruh pandemi” ucapnya.
Selain itu gamis model baju PNS menjadi unggulan karena baju model gamis lebih nyaman daripada atasan dan bawahan. Hal ini karena juga mendengar pelanggan yang kerap mengeluhkan pakaian PNS yang atasan dan bawahan kerap tidak nyaman apalagi bagi PNS yang sedang hamil.
Selain baju PNS model gamis, Maharrani juga memproduksi hijab, gamis, mukena, sarimbit keluarga, baju koko ayah dan anak, dan pashmina instan. Mereka mengusung pakaian yang berkualitas dengan harga yang terjangkau.
Bakat Tertempa Sejak Anak-anak
Melihat Elsa hari ini, tidak ada adil rasanya jika tidak melihat usahanya di masa lalu. Maharrani Hijab adalah hasil dari perjuangan dan perjalanan panjang yang dimulai Elsa sejak kanak-kanak dulu. Keterampilan berwirausaha tidak seperti wahyu yang datang dari langit. Ia ditempa dari banyak latihan dan gagal.
Impitan ekonomi sebagai anak kedua dari 10 saudara membuat Elsa kecil harus ikut membantu perekonomian keluarga. Ayahnya bekerja sebagai PNS golongan rendah di kantor kelurahan. Gaji ayahnya kerap tidak cukup, karena dipotong untuk membayar utang.
Mental usahanya itu dipupuk ketika ikut menjajakan kue mangkuk buatan sang ibu keliling kampung. Elsa juga membawa kue tersebut ke sekolah. Aktivitas ini ia lakoni berdua dengan kakak laki-lakinya.
“Waktu itu tahun 1998, karena krisis dan gaji Papa dipotong, karena kondisi sulit lalu saya ikut membantu ibu menjual kue mangkuk. Tak jarang dulu juga sempat dimarahi guru karena berjualan di kelas,” kenang Elsa.
Naluri membantu ibu itu kemudian menjadi “candu”. Sejak hari itu Elsa terus belajar untuk menghasilkan uang sendiri. Dimulai dengan menjual hasil kebun ibu ke pasar, menjual jilbab pada teman di sekolah. Serta menjajakan sandal dari pintu kontrakan mahasiswa di sekitar rumahnya.
Kegigihan Elsa dalam berjualan membuatnya dapat mencukupi kebutuhannya untuk mendaftarkan diri mengikuti persiapan menghadapi seleksi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Kemudian tidak hanya mampu membayar bimbel persiapan penerimaan seleksi masuk PTN, Elsa juga mampu membayar biaya SPP dan kebutuhannya selama berkuliah di Universitas Andalas.
“Papa hanya membiayai uang sekolah, jadi motivasi berjualan itu juga dari hal sederhana seperti ingin mengakses bimbel (bimbingan belajar) karena dulu teman-teman di sekolah belajar di bimbel sepulang sekolah,” kenang Elsa.
Impian Membangun Kampung Jahit
Elsa kini menyongsong mimpi barunya. Dengan “Semangat Memajukan Indonesia”, ia ingin menjadikan kelurahan Ambacang tempat warehouse Maharrani sebagai kampung jahit. Ia bertekad ingin membuka 1.000 lapangan pekerja.
“Dulu di sini disebut kampung cyber, karena ini lokasi kos mahasiswa Unand jadi warnet banyak. Sekarang saya bermimpi menjadikan kampung ini sebagai kampung jahit dan membuka 1.000 lapangan kerja,” harapnya.
Baca juga: Harapan Penyandang Disabilitas dan Komitmen KPU Sumbar Soal Pilkada yang Ramah Disabilitas
Sementara itu, atas perjuangan dan dedikasi Elsa di masyarakat ia diganjar dengan berbagai penghargaan. Pada tahun 2019 ia berkesempatan menjadi Finalis Wirausaha Muda Mandiri, Wirausaha Binaan Bank Mandiri, dan menjadi satu dari 70 orang pemuda yang meraih Satu Indonesia Award dari Astra Indonesia pada tahun 2020. [sonia/pkt]