Padangkita.com - Kekerasan terhadap anak dan perempuan di Sumatera Barat menunjukan peningkatan setiap tahun. Kasus terakhir yang terjadi adalah dugaan perlakuan kekerasan seksual yang dilakukan pemuda terhadap belasan anak di Kabupaten Sijunjung.
Menyikapi hal ini, Padangkita.com melakukan wawancara dengan ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPS) Sumbar, Eri Gusman, beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana tanggapan Anda soal masih banyak kasus kekerasan terhadap anak di Sumatera Barat?
Aksi kekerasan terhadap anak memang terus berlangsung di Sumatera Barat. Dari catatan LPA pada 2014 ada 58 kasus yang dilaporkan ke LPA. Pada 2015 laporannya meningkat menjadi 117 kasus.
Pada 2016 turun sedikit menjadi 108, tetapi pelaku kekerasan dari kalangan anak itu sendiri meningkat.
Untuk tahun ini, hingga November jumlahnya tak jauh berbeda daripada tahun lalu, yakni mendekati angka 100. Angka-angka tersebut belum termasuk korban yang tidak melapor ke LPA. Selain LPA, juga ada tempat lain untuk melapor, seperti P2TP2A dan WCC Nurani Perempuan.
Siapa pelaku kekerasan ini?
Pelakunya rata-rata adalah orang-orang terdekat, seperti keluarga, lingkungan, dan sekolah. Umumnya mereka sudah saling mengenal. Artinya kejahatan itu, terutama kekerasan seksual, dilakukan dengan bujuk rayu, bukan dengan pemaksaan.
Apa saja bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak?
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan seksual, kekerasan secara fisik, dan kekerasan secara psikis. Kasus yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual yang jumlahnya mencapai 58 persen dari total kasus.
Menurut Anda, apa penyebabnya?
Maraknya kekerasan terjadi karena kurangnya perhatian orang tua terhadap anak karena terlalu sibuk mungkin. Orang tua kadang-kadang juga terlalu percaya dengan anak. Kemudian, orang tua juga mudah percaya dengan orang lain. Kadang-kadang menitipkan anak dengan siapa saja.
Selain itu, juga ada pengaruh kemajuan teknologi dan informasi. Kita siap menerima globalisasi, tapi tidak siap menghadapi. Kemudian juga, hilangnya norma-norma agama dan susila di dalam keluarga.
Bagaimana penanganan korban kekerasan sampai saat ini?
Jujur saja kita sebut pemerintah belum siap untuk itu. Sudah didirikan rumah perlindungan sosial anak (RPSA), tetapi anggarannya tidak disiapkan. Itu menjadi kendala, rumahnya ada tetapi anggarannya tidak ada, tentu operasionalnya tidak bisa jalan. Harusnya setiap RPSA punya psikolog, dokter, kesehatan anak, guru pendidikan agama, dan sebagainya.
Nah, ini tidak ada sama sekali. Akhirnya kebutuhan anak tidak terpenuhi. Ini kritik kita kepada pemerintah. Aturan dibuat, tapi tidak siap untuk menjalankannya. Dibuat segala macam upaya, tetapi implementasinya di lapangan tidak kita temukan. Selama ini korban kembali ke keluarganya.
Apa yang akan terjadi bila anak tidak direhabilitasi?
Biasanya anak akan mengalami trauma yang mendalam bila tidak direhabilitasi. Dalam kasus kekerasan seksual, anak perempuan akan rentan untuk kembali menjadi korban.
Sedangkan untuk korban anak laki-laki, rentan untuk menjadi pelaku. Cotohnya kasus sodomi, jika anak laki-laki sekarang disodomi, besok dia akan menjadi pelaku sodomi. Akibatnya kekerasan seksual ini terjadi secara berkesinambungan.
Nah, kita sangat butuh peran pemerintah di sini. Pemerintah memang sudah membuat aturan perundang-undangan dan sebagainya. Upaya penegakan juga sudah dilakukan. Cuma yang kita butuhkan sekarang untuk rehabilitasinya. Di samping itu, dibutuhkan kepastian hukum dalam penerapan hukumnya.
Kepastian hukum seperti apa?
Supaya pelaku jera, tentu perlu ditegakkan hukum terlebih dahulu. Contohnya sekarang ini terjadi pelecehan seksual di Sijunjung, ada nyali gak penegak hukum sekarang menjatuhkan hukuman mati atau hukuman kebiri.
Kalau belum pernah terjadi di Indonesia, sekarang mulailah. Pelakunya predator anak kan? Sudah berapa itu korbannya. Pertama 17, kemudian diindikasikan ada 20 lagi. Itu kan sudah banyak, sudah predator itu. Nah, jatuhkanlah hukuman mati.
Di dalam UU perlindungan anak, orang bisa dihukum kastrasi (kebiri) itu—kan predator sifatnya—adalah orang yang sudah melakukan kejahatan berulang kali, jadi dilemahkan syahwatnya. Atau seberat-beratnya pelaku dijatuhi hukuman mati. Nah, kita tunggulah siapa yang berani menerapkan pasal-pasal itu. Supaya ada efek jera.
Sejauh mana peran LPA dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak?
Kita selalu melakukan advokasi. Jadi kalau ada kejadian kita bantu advokasi. Tapi, kalau sudah ditangani suatu lembaga, kita tidak ikut lagi, biarlah lembaga itu menangani. Paling-paling kita hanya memantau dan mengawasi apakah penanganannya sudah sesuai atau belum.
Di samping itu, kita juga sosialisasi ke masyarakat kalau ada kasus-kasus kekerasan terhadap anak, masyarakat harus berani melaporkan.
Apakah Sumbar bisa dikatakan darurat kekerasan terhadap anak?
Sudah. Apalagi dengan kasus yang ada di Sijunjung ini. Sudah termasuk kasus kelas satu itu.
Harapan Anda terhadap upaya menekan tindak kekerasan terhadap anak?
Kita mengharapkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal ini agar lebih serius lagi memahami UU tentang perlindungan anak. Kemudian, melihat tata cara pergaulan anak tadi, seperti kita di Sumbar, Minangkabau yang katanya beradat, mari kita perlihatkan adat apa yang akan kita tanamkan pada generasi berikutnya.
Jadi jangannya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, seperti yang ada di dalam slogan saja. Sebetulnya kalau slogan itu diterapkan di dalam masyarakat, tidak akan muncul tindak kekerasan terhadap anak ini. Sekarang kan jadi slogan saja. Nilai-nilai dalam slogan itu harus kita terapkan kembali, harus direformasi kembali.