Jakarta, Padangkita.com - Nilai ekspor produk jamu atau biofarmaka Indonesia tahun 2020 meningkat hingga 14,08 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini terjadi pada periode Januari-September 2020.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Perdagangan Agus Suparmanto. Menurutnya, pencapaian ini cukup menggembirakan, terutama di tengah perlambatan ekonomi global akibat pandemi Covid-19.
“Setelah menurun selama periode lima tahun terakhir (2015-2019) kecuali pada 2017, ekspor jamu atau biofarmaka Indonesia berhasil mencatatkan nilai USD9,64 juta pada Januari-September 2020. Nilai tersebut naik 14,08 persen dibandingkan pada periode yang sama (Januari-September) tahun lalu yang senilai USD8,45 juta," ujar Agus dalam siaran persnya, Minggu (13/12/2020)
Agus menjelaskan, negara tujuan ekspor produk jamu pada periode tersebut didominasi oleh India yang mencapai 62,30 persen, lalu Singapura sebesar 6,15 persen, Jepang 5,08 persen, Malaysia 3,75 persen, dan Vietnam 3,17 persen.
Pada 2019, kata Agus, Indonesia menempati urutan ke-19 negara pengekspor jamu atau biofarmaka ke dunia dengan pangsa pasar 0,61 persen. Adapun pemasok jamu atau biofarmaka dunia masih dikuasai oIeh India (33,46 persen), Tiongkok (27,54 persen), dan Belanda (6,05 persen).
Baca juga: Terbukti Mampu Dorong UMKM Bertahan di Tengah Pandemi, Banpres PEN Bakal Dilanjutkan Tahun 2021
Menurut Agus, untuk meningkatkan ekspor, Kemendag telah menyusun strategi peningkatan jangka pendek dan jangka menengah, salah satunya melalui pendekatan produk.
Produk yang dijadikan fokus antara lain produk makanan dan minuman olahan; alat-alat kesehatan; produk pertanian, produk perikanan; serta produk agroindustri.
“Produk jamu, suplemen kesehatan, rempah-rempah, kosmetik, spa, dan aromaterapi termasuk dalam kategori produk-produk yang menjadi fokus strategi peningkatan ekspor tersebut,” urai Mendag.
Produk biofarmaka menghadapi beberapa tantangan, antara lain akses pasar; kontinuitas dan ketepatan pengiriman; isu lingkungan; daya saing; sertifikasi organik; keberlanjutan; ketertelusuran; transparansi.
Kemudian, hilirisasi; pengamanan perdagangan; hambatan nontarif, biaya logistik yang tinggi; good agricultural practices (GAP) and good manufacture practices (GMP).
Kondisi pandemi juga memberikan dampak terhadap perdagangan Indonesia termasuk produk rempah, antara lain adanya peningkatan biaya logistik, perubahan pola perdagangan global, kerjasama perdagangan tidak berjalan efektif selama pandemi Covid-19, dan adanya ancaman resesi ekonomi global.
Untuk menanggulangi hal tersebut, lanjut Mendag, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, asosiasi, para pelaku usaha, maupun pihak swasta lainnya untuk mempertahankan dan meningkatkan ekspor Indonesia.
Sebagai contoh, penetrasi pasar melalui penyelesaian berbagai perundingan perjanjian perdagangan dan pengembangan pasar melalui kegiatan promosi. [*/try]